1.PENGANTAR
Sedekah merupakan ibadah sosial bagi umat Islam. Sedekah mempunyai kaitan yang erat dengan orang lain. Adapun alasan umat Islam bersedekah karena mereka mempunyai sifat kemanusiaan. Agama Islam mengajarkan kebaikan kepada sesama bagi para pemeluknya. Perbuatan baik itu dapat diwujudkan dalam bentuk pengorbanan dan pemberian, baik harta benda, tenaga, pikiran dan lain sebagainya yang berguna bagi siapa pun. Akan tetapi, pemberian sedekah bagi orang lain harus mengikuti etika yang ada dalam aturan dan pedoman agama Islam. Di samping sedekah, ada juga ibadah sosial lainya yang memuat makna yang sama dengan sedekah yakni zakat dan infak. Pemberian zakat dan infak juga mempunyai etika tertentu yang sudah diatur dalam hukum. Perbedaan sedekah dengan zakat dan infak akan dibahas secara singkat dalam paper ini. Pembahasan utama dalam paper ini adalah tentang sedekah dengan segala persoalannya.
2.PENGERTIAN SEDEKAH DAN DASARNYA
2.1.Pengertian Sedekah
Kata sedekah berasal dari bahasa Arab yakni sadokah yang berarti pemberian sesuatu dari seorang muslim kepada yang berhak menerimanya secara ikhlas dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah. Dengan memberikan sedekah seorang muslim yakin bahwa dia akan memperoleh pahala dari Allah. Apabila seorang muslim bersedekah, maka Allah ridha kepadanya dengan apa yang ia sedekahkan. Sedekah dalam konsep Islam memiliki arti yang lebih luas, tidak terbatas kepada pemberian sesuatu yang sifatnya materil tetapi juga mencakup semua perbuatan kebaikan,baik bersifat fisik maupun nonfisik. Misalnya, menolong orang yang terdesak oleh kebutuhan, manahan diri dari kejahatan, mendamaikan dua orang yang bermusuhan dengan cara adil, menolong seseorang untuk menaiki binatang tunggangannya, mengangkat barang-barang orang lain ke atas kendaraan, menyingkirkan rintangan dari jalan, mengerjakan shalat, senyum, mengucapkan atau membacakan zikir kepada Allah, seperti tasbih subhanallah (Mahasuci Allah) , takbir allahhuakbar (Mahabesar Allah), tahmid alhamdulillah (segala puji bagi Allah), tahlil laa ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah) dan istigfar astaghfirullaaahal adziim (aku memohon ampunan kepada Allah yang Mahaagung), menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kemungkaran, membimbing orang yang tuli, bisu serta menunjuki orang yang meminta petunjuk tentang sesuatu seperti alamat rumah dan lain sebagainya. Sedekah hukumnya sunah dengan dalil ayat Al-Quran dan hadits. Sedekah boleh diberikan dengan rahasia dan boleh diumumkan sebagaimana diatur dalam Al-Quran dan hadits.
2.2.Sedekah dalam Al-Quran
Dalam Al-Quran ada lima kitab yang berbicara mengenai sedekah yakni Al-Baqarah, Ali Imran, Saba, Ash-Shaff dan Al-Insan. Dalam kitab Al-Baqarah ada 11 bagian yang berbicara mengenai sedekah. Pertama dalam QS Al-Baqarah 2:254: “Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafaat. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.”
Kedua, dalam QS Al-Baqarah 2:261: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih atau biji yang
menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi maha Mengetahui.”
Ketiga dalam QS Al-Baqarah 2:262: “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka
memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Keempat dalam QS Al-Baqarah 2:263: “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Mahakaya lagi Mahapenyantun.”
Kelima dalam QS Al-Baqarah 2:264: “Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan ia tidak beriman kepada Allah dan harikemudian. Maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah ia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
Keenam dalam QS Al-Baqarah 2:265: “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Mahamelihat apa yang kamu perbuat.”
Ketujuh dalam QS Al-Baqarah 12:268: “Wahai orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang ami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk, lalu kamu nafkahkan darinya, padahal kamu sendri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan
ketahuilah, bahwa Allah Mahakaya lagi Mhaterpuji. Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan(kikir), sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan dari pada-Nya dan karunia. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahamengetahui.”
Kedelapan dalam QS Al-Baqarah 2:271: “jika kamu menampakkan sedekah (-mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan
menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui yang kamu kerjkan.”
Kesimbalan dalam QS Al-Baqarah 2:272: “Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup, sedang kamu sedikit pun tidak akan dianiaya.”
Kesepuluh dalam QS Al-Baqarah 2:273: “Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Mahamengetahui.”
Kesebelas dalam QS Al-Baqarah 2:274: “Orang-orang yang
menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.’
Dalam kitab Ali Imran ada dua bagian yang berbicara mengenai sedekah:
Pertama dalam QS Ali Imran 3:92: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Kedua dalam QS Ali Imran 3:133-134: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan
kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun di waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Kemudian, dalam QS Saba 34:39 ada juga disinggung mengenai sedekah: “Katakanlah sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya
di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya). Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.”
Dalam QS Ash-Shaff 61:10-11 ada juga disinggung mengenai sedekah: “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku
tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari siksa yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Terakhir, dalam kitab QS Al-Insan 76:8-9: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu hanyalah untuk
mengharapkan keridhaan Allah,kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.”
2.3.Sedekah dalam Hadits Rasulullah
Dalam hadits Rasulullah ada 3 bagian yang berbicara mengenai sedekah.
Pertama, HR Muslim: “Dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Tiadalah harta itu berkurang karena sedekah. Allah tidak akan menambahkan kepada seseorang yang suka memaafkan melainkan kemuliaan. Dan tiadalah seseorang yang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah yang Mahamulia lagi Mahaagung akan mengangkat derajatnya.” HR Abu Daud:
“Peliharalah harta bendamu dengan cara mengeluarkan zakat. Dan obatilah penyakitmu dengan sedekah. Dan hadapilah cobaan yang datang bertubi-tubi dengan doa dan merendahkan diri kepada Allah.”
Kemudian menurut Mutafaq ‘alaih: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah mulai suatu hari melainkan pada pagi harinya turun dua malaikat. Malaikat yang satu berdoa, ‘Ya Allah, berilah pada orang yang
membelanjakan hartanya di jalan Allah itu pengantin. Sedangkan malaikat yang kedua berdoa, ‘Ya Allah, timpakan kebinasaan atau kemusnahan bagi yang kikir.”
3.PERBEDAAN ZAKAT, INFAK DAN SEDEKAH
Ada lima perbedaan besar antara zakat, infak dan sedekah.
1.Pendasaran Hukum
Sedekah hukumnya sunah tanpa ada syarat apa pun. Zakat hukumnya wajib sebagaimana ditentukan dalam syariat. Sementara infak hukumnya ada yang wajib dan ada yang tidak wajib
2.Materi
Materi untuk sedekah dan infak lebih luas dibandingkan dengan zakat. Materi untuk sedekah dan infak bisa dengan harta benda maupun amalan, inspirasi, motivasi bahkan juga senyuman. Sementara materi untuk zakat terbatas pada harta benda saja.
3.Waktu Pelaksanaan
Sedekah dan infak tidak mempunyai batas waktu tertentu. Sedekah dan infak bisa diberikan kapan dan dimana saja. Sementara zakat terbatas pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan ketentuan syariat.
4.Obyek Penerima
Obyek penerima sedekah adalah siapa saja yang berhak menerima. Obyek penerima infak ada yang ditentukan dan ada juga yang tidak ditentukan. Sementara obyek penerima zakat sudah ditentukan oleh syariat.
5.Tata Cara Penyerahan
Penyerahan sedekah boleh diumumkan tetapi harus menggunakan bahasa yang sehalus mungkin untuk menjaga perasaan si penerima tetapi akan lebih baik jika dilakukan dengan rahasia. Penyerahan infak boleh secara terbuka boleh juga secara tersembunyi. Sementara penyerahan zakat harus diumumkan sebagaimana ditentukan dalam syariat.
4.SEDEKAH: AMALAN, SYARAT DAN PERSOALANNYA
4.1. Amalan yang Termasuk Sedekah
Ada 7 yang menjadi amalan sedekah.
- Memberi makan
Memberikan makanan kepada orang lain, termasuk tamu merupakan perbuatan sedekah dan terpuji. Dengan memberikan makan kepada orang lain, seseorang memasukkannya ke dalam surga. Selain itu, memberi makan kepada orang lain juga merupakan suatu amalan yang dapat menghapus dosa dan mendatangkan rahmat Allah. Di samping itu, memberi makan kepada orang yang berpuasa pahalanya sama dengan orang yang berpuasa yang diberi makan itu. Pahala itu bisa diperoleh dengan hanya memberi seteguk air, sepotong roti, sebiji kurma, sebungkus nasi, sepotong roti, semangkok agar-agar dan pemberian kecil lainnya.
- Memberi air Minum
Kebutuhan semua makhluk hidup terhadap air tidak akan pernah berhenti karena air adalah sumber kehidupan. Nabi menganjurkan memberi minum dan menjadikannya sebagai sedekah yang utama. Anjuran memberi minumkepada yang kehausan tidak hanya kepada manusia, tetapi juga terhadap makhlukyang menjadikan air sebagai sumber hidupnya.
- Memberi Pinjaman dan Memudahkan Pembayarannya
Memberikan pinjaman kepada orang yang membutuhkannya merupakan salah satu bentuk pertolongan orang muslim. Dengan memberikan pinjaman beban seseorang akan berkurang. Supaya pahala peminjaman berlipat ganda, hendaklah yang memberi pinjaman bersabar dan bersikap santun serta memberikan kemudahan kepada orang yang meminjam.
- Menunjukkan Jalan
Dalam HR At-Tirmidzi, Rasulullah bersabda: “memberikan petunjuk kepada orang yang tersesat adalah sedekah bagimu. Menunjukkan orang yang kurang baik penglihatannya adalah sedekah bagimu.”
- Menjelaskan Perkataan Orang yang Tidak Jelas Perkataannya
Tidak memahami perkataan seseorang bisa karena cedal (tidak jelas perkataannya), atau bisa juga tidak urut dalam berbicara sehingga sulit dipahami apa kunci pokok pembicaraan atau juga karena beda bahasa. Oleh karena itu, menjelaskan perkataan orang yang tidak jelas perkataannya merupakan sedekah bagi umat muslim.
- Bersedekah pada Bulan Ramadhan
Bulan Ramadhan merupakan bulan yang agung bagi kaum muslimin, bulan yang selalu ditunggu-tunggu kedatangannya. Bulan Ramadhan adalah bulan terkumpulnya kebaikan. Di bulan ini kaum muslimin melaksanakan ibadah puasa wajib. Bulan Ramadhan adalah bulan sedekah. Puasa dan sedekah bila dilaksanakan bersama-sama akan menghapus dosa dan menjauhkan diri dari api neraka jahanam. Materi yang disedekahkan pada bulan Ramadhan dapat berupa beras, lauk-pauk, sembako, bisa juga pakaian, sepatu, sarung dan lain sebagainya.
- Bersedekah pada Bulan Muharam
Bulan Muharam adalah bulan santunan atau bulan berderma. Pada bulan Muharam, kaum muslimin banyak mengadakan pengajian, baik di mushalla, masjid, balai desa, kelurahan dan di sekolah-sekolah yang berbasis agama. Setelah selesai pengajian, mereka mengadakan santunan kepada anak-anak yatim, fakir miskin, para lansia dan janda.
4.2.Syarat Diterimanya Sedekah
Ada lima syarat supaya sedekah berkenan kepada Allah:
- Bertujuan untuk mencari ridha Allah
- Dilakukan secara sembunyi-sembunyi
- Sedekah hendaknya diambilkan dari harta yang baik dan halal
- Sedekah itu hendaknya diberikan dengan wajah yang ramah, gembira dan tidak terpaksa
- Pendistribusian sedekah hendaknya harus tepat sasaran
4.3. Pahala Orang yang Bersedekah
Ada empat pengelompokan sedekah berdasarkan pahala:
- Sedekah yang berpahala sepuluh adalah sedekah yang diberikan kepada fakir miskin
- Sedekah yang berpahala tujuh puluh adalah sedekah yang diberikan kepada sanak kerabat
- Sedekah yang berpahala tujuh ratus adalah sedekah yang diberikan kepada saudara-saudara (kakak, adik, kerabat dan lain-lain)
- Sedekah yang berpahala tujuh ribu adalah sedekah yang diberikan kepada orang-orang yang menuntut ilmu.
4.4.Orang-orang yang Berhak Menerima Sedekah
Orang-orang yang berhak menerima sedekah adalah orangtua , kerabat, yatim piatu, tetangga, pengemis, teman akrab, janda, orangtua renta yang membutuhkan pertolongan,orang kafir, orang miskin, amil zakat (orang yang mengurus zakat), mualaf (orang yang baru masuk Islam), hamba (budak), gharim (orang yang mempunyai utang untuk keperluan agama Islam), fi sabillah (para sukarelawan perang) dan musafir.
4.5.Membangkitkan Potensi Umat untuk Bersedekah
Ada empat dasar untuk membangkitkan potensi umat untuk bersedekah yakni,
- Iman
Untuk menumbuhkan kesadaran umat dalam bersedekah pertama-tama harus ditanamkan iman. Iman dijadikan prasyarat utama di dalam bersedekah agar orang-orang yang bersedekah itu memperoleh ganjaran atau upah sesuai amal mereka. Tanpa iman, usaha atau apa saja yang mereka sedekahkan tidak ada nilainya di sisi Allah. Iman dari seseorang bisa bertumbuh, berkembang dan menurun. Supaya tidak menurun, iman perlu dijaga dengan berbagai penyuluhan, penerangan, pendidikan, media cetak atau elektronik dan sebagainya sesuai dengan kondisi mereka.
- Kemanusiaan
Pada dasarnya, manusia mempunyai sikap kasih sayang kepada sesamanya. Kita sebagai manusia harus cepat tanggap menyalurkan sedekahnya kepada orang yang membutuhkan baik berupa makanan, minuman, alas kaki dan pakaian dan lain sebagainya.
- Jujur
Kejujuran adalah tanda-tanda keimanan dan kesucian jiwa serta pertanda keselamatan bagi diri seseorang. Kejujuran adalah keindahan sifat dan ketinggian moral seseorang. Kejujuran membentu seseorang menjadi cinta kepada Allah, Rasulullah dan cinta kepada hamba-hamba yang mukmin. Dengan mempunyai kejujuran, orang lain juga akan menaruh cinta kepadanya. Oleh karena itu, setiap orang muslim diminta bertakwa kepada Allah dan senantiasa berlaku jujur. Karena kejujuranlah kunci segala kebaikan dan jalan menuju keridhaan Allah untuk masuk surga. Setiap orang diminta untuk menjauhi kebohongan karena kebohongan adalah kunci dari segala kejahatan dan jalan menuju kemurkaan Allah dan menuju neraka.
- Program
Walaupun sedekah dianjurkan dalam agama Islam, namun masih banyak umat muslim yang enggan untuk bersedekah. Hal ini diakibatkan karena lemahnya program. Kalau suatu program berantakan, acak-acakan, kurang profesional, asal-asalan orang juga akan apatis dan tidak mau mendukung program. Jika lembaga ingin menampung sedekah atau infak dari masyarakat, maka dibutuhkan program yang jelas dan jelas pula sasaran yang ingin diraih.
5.HIKMAH SEDEKAH
Ada dua belas hikmah sedekah:
- Mendapat naungan Allah pada hari kiamat
- Sedekah dapat menghilangkan kesulitan
- Sedekah sebagai obat
- Sedekah sebagai pelindung dari api neraka
- Sedekah dapat memadamkan murka Allah dan menjauhkan seseorang dari su’ul khatimah (kematian yang jelek)
- Sedekah dapat mempererat persaudaraan
- Sedekah dapat menambah umur seseorang
- Sedekah sebagai amal yang mengalir sampai wafat
- Sedekah membuat harta berkah dan bertambah
- Sedekah dapat menghapuskan dosa besar
- Sedekah dapat menghilangkan siksa kubur
- Sedekah dapat menolak bencana
6.KESALAHAN DALAM SEDEKAH
Ada 100 kesalahan dalam bersedekah. 100 kesalahan itu dapat dikelompokkan menjadi 7 bagian yakni:
- Kekeliruan pada niat (motivasi sedekah)
Kekeliruan dalam niat (motivasi) dalam bersedekah adalah riya, tidak beriman kepada Allah dan hari akhirat, karena selain Allah, tidak mengharap ridha Allah, keteguhan jiwa, menunda-nunda sedekah, tidak tulus, takut miskin ketika bersedekah, tidak membuat niat sedekah lebih spesifik, tidak berniat untuk kesembuhan ketika sakit, tidak bersedekah pada binatang atau makhluk Allah yang lain, tidak berniat untuk diberi keturunan, tidak berniat untuk memperpanjang umur, terhindar dari mati mengenaskan, menghilangkn sikap sombong dan angkuh, tidak berniat untuk menolak bala dan tidak mensyukuri nikmat pada momen yang tepat.
- Kesalahan dalam cara mendapatkan yang disedekahkan
Kesalahan dalam cara mendapatkan apa yang disedekahkan adalah sebagai berikut: sedekah dengan harta yang tidak halal, memilih yang buruk-buruk, usaha yang tidak halal, benda haram, mengumumkan sedekah melebihi batas, bendanya tidak bermanfaat, benda cacat, benda milik orang lain dan bendanya syubhat (samar kehalalannya).
- Kesalahan dalam cara menyerahkan sedekah
Kesalahan dalam cara menyerahkan sedekah apabila sedekah disertai dengan manna. , membangga-banggakan yang disedekahkan, menceritakan kembali sesuatu yang disedekahkan setelah berselang waktu, disertai adza , menolak sedekah dengan perkataan yang tidak baik, bersedekah dengan tangan kiri, tidak menyalami penerima sedekah, menyerahkan sambil memalingkan muka, mendoakan yang tidak baik kepada penerima, tidak minta didoakan dan mengiming-imingi sedekah.
- Kekeliruan dalam memilih penerima sedekah
Ada beberapa kekeliruan dalam memilih penerima sedekah yakni, tidak memprioritaskan kerabat, tidak memprioritaskan fakir dan miskin, tidak memprioritaskan orang tua, tidak memprioritaskan fakir yang sakit,tidak memprioritaskan fakir yang terancam karena jihad, tidak memilih orang saleh, tidak mendahulukan orang yang berutang, memprioritaskan non-muslim, penerima tidak berterima kasih, penerimanya tidak mendoakan, penerima tidak memanfaatkan sedekah dengan benar, menyedekahkan semua harta, penerimanya menggerutu terhadap sedekah, kekeliruan niat penerima, tidak memprioritaskan yang sedang menuntut ilmu dan fisabilillah dan tidak memprioritaskan janda, pelayan serta orang yang ditawan.
- Kelalaian tidak bersedekah pada waktu-waktu yang afdhal (yang dianjurkan dan lebih utama)
Ada beberapa kelalaian tidak bersedekah pada waktu-waktu yang adfal yakni, tidak bersedekah pada kala sehat, kikir, takut miskin, ingin kaya, bersedekah kala nafas sudah di tenggorokan, tidak bersedekah pada saat aqiqah, tidak bersedekah pada bulan ramadhan, idul fitri dan idul adha, tidak memprioritaskan anak yatim dan tidak bersedekah pada tanggal 9 dan 10 muharram.
- Kelalaian pasca bersedekah
Ada dua kelalaian pasca bersedekah yakni tidak silaturahim setelah bersedekah dan banyakbergunjing.
- Beberapa kelalaian dalam aspek-aspek lain
Selain kesalahan dan kelalaian di atas ada juga kesalahan dan kelalaian dalam aspek-aspek lain yakni, tidak memahami motivasi bersedekah, selingkuh, tidak bersedekah pada saat gerhana matahari, tidak menjamu tamu dengan baik, bersedekah di luar kemampuan, ada juga beberapa tindakan ringan yang bernilai sedekah, setiap sendi manusia berpotensi sedekah, menyia-nyiakan sedekah kepada tamu, menunda tempo pembayaran utang pada orang yang kesulitan dan bersedekah atas nama orang yang meninggal.
7.KESIMPULAN
Harta adalah milik Allah dan manusia hanya diberi kuasa untuk mengatur, memanfaatkan dan menyalurkan secara sebaik-baiknya. Umat muslim melalui para pemimpinnya mengajarkan kepada para pemeluknya untuk berbuat kebaikan kepada sesamanya, dalam bentuk pengorbanan harta beda, berderma dan bersedekah kepada siapa pun. Islam selalu menganjurkan kepada pemeluknya untuk beramal sedekah, baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun secara tersembunyi.
Sedekah merupakan ibadah sosial karena berkaitan dengan orang lain. Oleh karena itu seorang muslim harus tahu bagaimana cara-cara memberikan sedekah yang benar yakni mencari ridha Allah tanpa mengharapkan balasan apa pun dari si penerima. Di samping itu, harus dihindari juga cara bersedekah yang salah, seperti dengan cara kasar atau tidak sopan yang membuat penerima tersinggung, dengan rasa pamer supaya dikira dermawan atau supaya tenar. Amalan-amalan yang dianggap sedekah adalah memberi makan, memberi minum, memberi pinjaman, menyumbang ke masjid, menunjukkan jalan orang yang sesat, menjelaskan perkataan yang tidak jelas, senyum dan lain sebagainya. Motovasi orang bersedekah haruslah berdasar pada iman. Dengan demikian orang-orang yang bersedekah akan mendapat harta yang bertambah, mendapat naungan Allah pada hari kiamat, terhindar dari bencana.
8.PENUTUP
Sedekah merupakan suatu tanda cinta kepada Allah yang kita salurkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Sedekah akan membawa rahmat berlimpah kalau dilakukan dengan iman yang teguh dan dengan cara yang benar sebagaimana diridohi oleh Allah. Dengan bersedekah harta dimanfaatkan dengan baik. Jangan pernah menunda untuk bersedekah. Bersedekahlah supaya kita berkenan kepada Allah dan juga kepada sesama manusia.
Daftar Pustaka
Adz Dzahabi, Syamsuddin. 75 Dosa Besar. Surabaya: Media Idaman Press, 1996.
Akhmad Sangid, H. Dahsyatnya Sedekah: Kunci Sukses Hidup Kaya dan Berkah. Jakarta: Qultummedia, 2008.
Al Ghazali, Imam. Ringkasan Ihya Ulumiddin. Surabaya: Gitamedia Press, 2003.
Dalimunthe,Reza Pahlevi. 100 Kesalahan dalam Sedekah: Sedekah yang Tepat, Pahala pun Berlipat. Jakarta: Qultummedia, 2010.
John Donald Simamora
Tugas-tugas
Kamis, 02 Maret 2017
Kamis, 16 Februari 2017
Legenda Simamora Na Oto
Pada zaman dahulu Simamora terkenal sebagai pedagang garam. Ia sering bepergian untuk waktu yang lama meninggalkan keluarganya untuk berdagang garam. Garam - garam ini diambilnya pesisir barat Sumatera untuk dijualnya ke beberapa pasar yang dilaluinya seperti Pahae, Sipirok, Silindung, Doloksanggul dan jika dagangan masih tersisa, ia akan menjualnya di Bakkara di pinggir Danau Toba. Bakul tempat garamnya diletakkan di atas kuda beban yang menjadi tunggangannya.
Simamora adalah orang yang ramah, dan jujur dalam berdagang. Banyak dari orang – orang yang bertemu dengan dia merasa senang berdagang kepadanya. Oleh karena itu, Simamora punya banyak langganan dan kenalan.
Berdagang garam tidaklah selalu mudah. Hujan menjadi masalah yang paling utama. Ketika hujan turun, kuda – kuda akan menjadi bebal dan tidak mau melanjutkan perjalanan. Dan bakul tempat garam pun tidaklah cukup bagus. Bakul itu terbuat dari anyaman daun kelapa sehingga kurang aman dari air. Kalau sudah begini, Simamora biasanya harus menginap di rumah – rumah warga di kampung yang dilaluinya.
Suatu hari, Simamora bertemu dengan dua orang yang sama – sama berdagang garam. Seiring berjalan waktu, ia semakin kompak dengan keduanya dan sering pergi berjualan bersama. Simamora sendiri merasa beruntung mempunyai teman berdagang, selain dia punya teman untuk diajak bicara selama perjalanan, ia juga merasa terbantu untuk hal lain. Terkadang jika musim hujan tiba, sungai – sungai meluap. Untuk menyebrangi sungai, mereka harus menarik kuda beban karena kuda tidak mau menyebrangi sungai. Terkadang kuda ini sangat bebal sehingga harus ditarik oleh dua orang atau lebih.
Sepanjang perjalanan, Simamora mendapat pelanggan lebih banyak dari kedua rekannya, karena Simamora dianggap orangnya lebih jujur dan jualannya juga tidak terlalu mahal. Hal ini mengundang kecemburuan bagi kedua rekannya. Sering keduanya menggerutu karena tidak mendapat pelanggan. Terkadang mereka harus menunggu sampai dagangan simamora habis, baru mereka kebagian pelanggan.
Kekesalan ini semakin memuncak sampai suatu ketika mereka merencanakan untuk memberi Simamora pelajaran.
Pada suatu sore, Simamora bersama kedua rekannya terpaksa menginap di warung kopi di satu desa sebelum masuk pasar Doloksanggul karena hujan sedang turun. Warung itu kosong pada malam hari. Pemiliknya tinggal di kampung lain, agak jauh dari tempat itu. Setelah bakul garam diturunkan dari punggung kuda, mereka menambatkan kuda-kudanya di dekat rerumputan sekitar warung. Mereka bercengkrama sambil melinting tongkol jagung yang dijadikan rokok.
Kedua rekannya yang sudah lama mencari kesempatan untuk mencelakai Simamora merasa kalau inilah waktunya untuk memberinya pelajaran. Mereka berencana untuk mencuri kuda dan garam – garam Simamora selagi dia tidur. Dengan demikian, ia tidak bisa berjualan garam lagi. Berkuranglah saingan.
Malamnya, kedua rekannya itu menyarankan agar sebaiknya mereka bergantian jaga. Dua orang tidur sedangkan seorang lagi jaga. Demikian lah bergantian hingga pagi tiba.
“Apa perlu begini ? Toh, selama ini juga tidak pernah terjadi apa-apa” kata Simamora.
“Itu tidak menjamin kalau disini aman selamanya.” Jawab mereka.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita menyembunyikan garam masing-masing.” Usul Simamora.
“Dimanapun kau menyembunyikannya, garammu pasti bisa ditemukan di warung yang sekecil ini.”
“Tidak mungkin bisa ditemukan.” Jamin Simamora.
“Aku tidak yakin. Bagaimana kalau aku bisa menemukan garammu?” Tanya seorang.
“Garamku menjadi milik kalian.”
“Kalau tidak ?” Tanya seorang lagi.
“Garam kalian menjadi milikku.”
“Baik.” Ketiganya pun sepakat. “Sembunyikanlah garammu.” Kata mereka.
Lalu simamora pergi membawa garamnya. Tidak sampai dua menit ia sudah kembali. Kedua rekannya lalu menyalaminya tanda perjanjian sah.
“Bagaimana kalau kuda kita pertaruhkan juga?” Usul mereka berdua karena merasa yakin garam tersebut tidak jauh disembunyikan mengingat waktu yang diambil Simamora tidak lama.
“Boleh juga” tantang Simamora
“Baiklah” sambut mereka.
Malam itu Simamora tidur dengan lelapnya. Seperti tidak ada yang sedang dipikirkannya. Berbeda dengan kedua rekannya yang tidak sabar menunggu pagi tiba. Mereka yakin sekali garam itu disembunyikan di dapur. Mereka ingin sekali langsung mencari garam tersebut dan membawa kuda Simamora pergi. Tapi mereka harus berlaku adil sesuai perjanjian.
Pagi – pagi benar mereka sudah bangun. Ingin rasanya cepat – cepat menemukan garam tersebut. Akan tetapi untuk menunjukkan kalau mereka berlaku adil, mereka menunggu hingga Simamora bangun. Setelah simamora bangun, ketiganya melinting rokok. Lalu masing – masing menikmatinya tanpa ada yang berselera memulai bicara. Rokok semakin pendek dan setelah api rokok menyentuh jari, keduanya mengingatkan simamora tentang kesepakatan mereka.
“Silahkan cari.” Kata simamora singkat.
“Sebaiknya kita naikkan dulu beban kuda kita.” Kata seorang
“Bagus juga.” Balas yang seorang lagi. “Kuda yang ketiga tinggal dimuat lalu dituntun.”
“Aku khawatir kalian tidak kembali lagi karena malu.” Simamora tersenyum simpul.
Keduanya tidak menjawab. Mereka langsung bergegas. Mereka memulainya dengan menyisir dapur, sekitar rumah, hingga kebun. Dapur penuh dengan barang – barang yang ditumpuk begitu saja. Ternyata tidak ada. Di kebun, sekitar sumur hingga sekitar kampung juga tidak ada. Mereka kembali ke dapur membongkar barang-barang yang ditumpuk. Tetapi tetap tidak ketemu.
“Dua menit. Mungkinkah keluar kampung?” Tanya yang satu.
“Kalau berlari, bisa juga…” sahut yang satu sambil menggaruk – garuk kepalanya.
Lalu mereka memeriksa bambu bambu pembatas kampung. Tetapi tetap saja tidak ada. Semak belukar, tumpukan sampah juga tidak lepas dari penggeledahan mereka. Tanpa disadari mereka sudah cukup jauh keluar dari desa.
Setelah menunggu cukup lama, Simamora memeriksa. Tetapi rekannya belum kembali juga. Hanya ada tukang warung yang baru sampai dan sedang menjerangkan air dari sumur. Si Tukang warung merasa heran melihat banyaknya barang yang berantakan di dapur. Sebelum ia sempat menanyakan tentang barang – barang tersebut, Simamora telah pergi membawa kedua kuda dan garam – garam rekannya itu.
Walau kaget dengan kondisi dapur yang berantakan, si pemilik warung tidak langsung memeriksanya. Ia terlebih dahulu menjerangkan air karena pagi – pagi biasanya banyak pengunjung yang ingin minum kopi. Tukang warung memeriksa dapur yang diobrak – abrik entah oleh siapa. Dan entah untuk apa. Ia tidak melihat adanya barang – barang yang hilang. Untuk memastikan perasaannya, ia menghitung seluruh jumlah karung padi di lumbung, kemudian alat – alat pertanian, tidak ada yang hilang. Sambil mengira – ngira apa yang telah terjadi, ia merapikan barangnya.
Air telah mendidih dan dia segera melayani langganannya. Tanpa menceritakan kejadian di dapurnya. Tak lama kedua pedagang yang kalah taruhan telah kembali. Mereka mendapati kalau Simamora sudah pergi bersama kuda – kuda dan keempat bakul garam yang telah dimenangkannya.
Saat itu di warung sedang ada desas desus antara pengunjung. Keduanya yang tidak tahu apa yang sedang terjadi tidak terlalu memperdulikannya.
“Kopi dua !” pesan mereka.
Tak lama berselang seseorang diantara pengunjung angkat bicara.
“Koq kopinya asin?” katanya
Kedua pedagang yang mendengar hal itu saling berpandangan. Seperti akan mengatakan sesuatu. Buru – buru keduanya mencicipi kopi mereka.
“Benar ! Kopinya asin !”
“Sungguh, disini tidak ada tempat garam.” Kata yang punya warung. “Gelas dan sendok sudah saya cuci. Mana mungkin bisa asin?”
“Jangan – jangan…” gumam seorang pedagang itu.
“Jangan – jangan simamora menyembunyikan garam di dalam sumur !”
Keduanya langsung melompat dari tempat duduknya dan memeriksa sumur di belakang warung. Galah dijulurkan ke dalam dan dua buah bakul berhasil diangkat dari dalam. Warga di sekitar mengenali bakul tersebut sebagai bakul garam yang biasa dibawa Simamora.
“Lihat !” Kata salah satu pedagang tersebut. “Ini bakul Simamora. Dia benar – benar bodoh, menyembunyikan garam di dalam sumur.”
“Kenapa ?” Tanya seorang dari kerumunan itu.
“Karena dia takut garamnya dicuri orang.” Jawab rekan pedagang itu.
“Bodoh benar (oto ma i)” pikir orang – orang di warung itu.
“Memang bodoh” ucap kedua pedagang itu. Mereka melakukannya untuk menyembunyikan kemalangan mereka yang telah kalah taruhan.
Berita tentang garam masuk sumur ini langsung cepat menyebar. Kedua pedagang ini juga menceritakan tentang “simamora yang bodoh” (Simamora na oto) kepada setiap orang yang ditemuinya. Namun tidak pernah menceritakan bahwa Simamora yang membodohi mereka.
Simamora adalah orang yang ramah, dan jujur dalam berdagang. Banyak dari orang – orang yang bertemu dengan dia merasa senang berdagang kepadanya. Oleh karena itu, Simamora punya banyak langganan dan kenalan.
Berdagang garam tidaklah selalu mudah. Hujan menjadi masalah yang paling utama. Ketika hujan turun, kuda – kuda akan menjadi bebal dan tidak mau melanjutkan perjalanan. Dan bakul tempat garam pun tidaklah cukup bagus. Bakul itu terbuat dari anyaman daun kelapa sehingga kurang aman dari air. Kalau sudah begini, Simamora biasanya harus menginap di rumah – rumah warga di kampung yang dilaluinya.
Suatu hari, Simamora bertemu dengan dua orang yang sama – sama berdagang garam. Seiring berjalan waktu, ia semakin kompak dengan keduanya dan sering pergi berjualan bersama. Simamora sendiri merasa beruntung mempunyai teman berdagang, selain dia punya teman untuk diajak bicara selama perjalanan, ia juga merasa terbantu untuk hal lain. Terkadang jika musim hujan tiba, sungai – sungai meluap. Untuk menyebrangi sungai, mereka harus menarik kuda beban karena kuda tidak mau menyebrangi sungai. Terkadang kuda ini sangat bebal sehingga harus ditarik oleh dua orang atau lebih.
Sepanjang perjalanan, Simamora mendapat pelanggan lebih banyak dari kedua rekannya, karena Simamora dianggap orangnya lebih jujur dan jualannya juga tidak terlalu mahal. Hal ini mengundang kecemburuan bagi kedua rekannya. Sering keduanya menggerutu karena tidak mendapat pelanggan. Terkadang mereka harus menunggu sampai dagangan simamora habis, baru mereka kebagian pelanggan.
Kekesalan ini semakin memuncak sampai suatu ketika mereka merencanakan untuk memberi Simamora pelajaran.
Pada suatu sore, Simamora bersama kedua rekannya terpaksa menginap di warung kopi di satu desa sebelum masuk pasar Doloksanggul karena hujan sedang turun. Warung itu kosong pada malam hari. Pemiliknya tinggal di kampung lain, agak jauh dari tempat itu. Setelah bakul garam diturunkan dari punggung kuda, mereka menambatkan kuda-kudanya di dekat rerumputan sekitar warung. Mereka bercengkrama sambil melinting tongkol jagung yang dijadikan rokok.
Kedua rekannya yang sudah lama mencari kesempatan untuk mencelakai Simamora merasa kalau inilah waktunya untuk memberinya pelajaran. Mereka berencana untuk mencuri kuda dan garam – garam Simamora selagi dia tidur. Dengan demikian, ia tidak bisa berjualan garam lagi. Berkuranglah saingan.
Malamnya, kedua rekannya itu menyarankan agar sebaiknya mereka bergantian jaga. Dua orang tidur sedangkan seorang lagi jaga. Demikian lah bergantian hingga pagi tiba.
“Apa perlu begini ? Toh, selama ini juga tidak pernah terjadi apa-apa” kata Simamora.
“Itu tidak menjamin kalau disini aman selamanya.” Jawab mereka.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita menyembunyikan garam masing-masing.” Usul Simamora.
“Dimanapun kau menyembunyikannya, garammu pasti bisa ditemukan di warung yang sekecil ini.”
“Tidak mungkin bisa ditemukan.” Jamin Simamora.
“Aku tidak yakin. Bagaimana kalau aku bisa menemukan garammu?” Tanya seorang.
“Garamku menjadi milik kalian.”
“Kalau tidak ?” Tanya seorang lagi.
“Garam kalian menjadi milikku.”
“Baik.” Ketiganya pun sepakat. “Sembunyikanlah garammu.” Kata mereka.
Lalu simamora pergi membawa garamnya. Tidak sampai dua menit ia sudah kembali. Kedua rekannya lalu menyalaminya tanda perjanjian sah.
“Bagaimana kalau kuda kita pertaruhkan juga?” Usul mereka berdua karena merasa yakin garam tersebut tidak jauh disembunyikan mengingat waktu yang diambil Simamora tidak lama.
“Boleh juga” tantang Simamora
“Baiklah” sambut mereka.
Malam itu Simamora tidur dengan lelapnya. Seperti tidak ada yang sedang dipikirkannya. Berbeda dengan kedua rekannya yang tidak sabar menunggu pagi tiba. Mereka yakin sekali garam itu disembunyikan di dapur. Mereka ingin sekali langsung mencari garam tersebut dan membawa kuda Simamora pergi. Tapi mereka harus berlaku adil sesuai perjanjian.
Pagi – pagi benar mereka sudah bangun. Ingin rasanya cepat – cepat menemukan garam tersebut. Akan tetapi untuk menunjukkan kalau mereka berlaku adil, mereka menunggu hingga Simamora bangun. Setelah simamora bangun, ketiganya melinting rokok. Lalu masing – masing menikmatinya tanpa ada yang berselera memulai bicara. Rokok semakin pendek dan setelah api rokok menyentuh jari, keduanya mengingatkan simamora tentang kesepakatan mereka.
“Silahkan cari.” Kata simamora singkat.
“Sebaiknya kita naikkan dulu beban kuda kita.” Kata seorang
“Bagus juga.” Balas yang seorang lagi. “Kuda yang ketiga tinggal dimuat lalu dituntun.”
“Aku khawatir kalian tidak kembali lagi karena malu.” Simamora tersenyum simpul.
Keduanya tidak menjawab. Mereka langsung bergegas. Mereka memulainya dengan menyisir dapur, sekitar rumah, hingga kebun. Dapur penuh dengan barang – barang yang ditumpuk begitu saja. Ternyata tidak ada. Di kebun, sekitar sumur hingga sekitar kampung juga tidak ada. Mereka kembali ke dapur membongkar barang-barang yang ditumpuk. Tetapi tetap tidak ketemu.
“Dua menit. Mungkinkah keluar kampung?” Tanya yang satu.
“Kalau berlari, bisa juga…” sahut yang satu sambil menggaruk – garuk kepalanya.
Lalu mereka memeriksa bambu bambu pembatas kampung. Tetapi tetap saja tidak ada. Semak belukar, tumpukan sampah juga tidak lepas dari penggeledahan mereka. Tanpa disadari mereka sudah cukup jauh keluar dari desa.
Setelah menunggu cukup lama, Simamora memeriksa. Tetapi rekannya belum kembali juga. Hanya ada tukang warung yang baru sampai dan sedang menjerangkan air dari sumur. Si Tukang warung merasa heran melihat banyaknya barang yang berantakan di dapur. Sebelum ia sempat menanyakan tentang barang – barang tersebut, Simamora telah pergi membawa kedua kuda dan garam – garam rekannya itu.
Walau kaget dengan kondisi dapur yang berantakan, si pemilik warung tidak langsung memeriksanya. Ia terlebih dahulu menjerangkan air karena pagi – pagi biasanya banyak pengunjung yang ingin minum kopi. Tukang warung memeriksa dapur yang diobrak – abrik entah oleh siapa. Dan entah untuk apa. Ia tidak melihat adanya barang – barang yang hilang. Untuk memastikan perasaannya, ia menghitung seluruh jumlah karung padi di lumbung, kemudian alat – alat pertanian, tidak ada yang hilang. Sambil mengira – ngira apa yang telah terjadi, ia merapikan barangnya.
Air telah mendidih dan dia segera melayani langganannya. Tanpa menceritakan kejadian di dapurnya. Tak lama kedua pedagang yang kalah taruhan telah kembali. Mereka mendapati kalau Simamora sudah pergi bersama kuda – kuda dan keempat bakul garam yang telah dimenangkannya.
Saat itu di warung sedang ada desas desus antara pengunjung. Keduanya yang tidak tahu apa yang sedang terjadi tidak terlalu memperdulikannya.
“Kopi dua !” pesan mereka.
Tak lama berselang seseorang diantara pengunjung angkat bicara.
“Koq kopinya asin?” katanya
Kedua pedagang yang mendengar hal itu saling berpandangan. Seperti akan mengatakan sesuatu. Buru – buru keduanya mencicipi kopi mereka.
“Benar ! Kopinya asin !”
“Sungguh, disini tidak ada tempat garam.” Kata yang punya warung. “Gelas dan sendok sudah saya cuci. Mana mungkin bisa asin?”
“Jangan – jangan…” gumam seorang pedagang itu.
“Jangan – jangan simamora menyembunyikan garam di dalam sumur !”
Keduanya langsung melompat dari tempat duduknya dan memeriksa sumur di belakang warung. Galah dijulurkan ke dalam dan dua buah bakul berhasil diangkat dari dalam. Warga di sekitar mengenali bakul tersebut sebagai bakul garam yang biasa dibawa Simamora.
“Lihat !” Kata salah satu pedagang tersebut. “Ini bakul Simamora. Dia benar – benar bodoh, menyembunyikan garam di dalam sumur.”
“Kenapa ?” Tanya seorang dari kerumunan itu.
“Karena dia takut garamnya dicuri orang.” Jawab rekan pedagang itu.
“Bodoh benar (oto ma i)” pikir orang – orang di warung itu.
“Memang bodoh” ucap kedua pedagang itu. Mereka melakukannya untuk menyembunyikan kemalangan mereka yang telah kalah taruhan.
Berita tentang garam masuk sumur ini langsung cepat menyebar. Kedua pedagang ini juga menceritakan tentang “simamora yang bodoh” (Simamora na oto) kepada setiap orang yang ditemuinya. Namun tidak pernah menceritakan bahwa Simamora yang membodohi mereka.
Rabu, 01 Februari 2017
PARTISIPASI KATOLIK DALAM PEMBENTUKAN PAPUA MODERN
Pengantar
Letak geografis Indonesia bagian timur membuat kontak regional dan internasional sulit. Di bagian tenggara (Flores, Sumba dan Timor menjadi pulau yang paling penting) dan Maluku dengan ratusan pulau yang berbukit-bukit yang tersebar di wilayah yang luas, komunikasi merupakan sesuatu yang sulit dan mahal. Geografi dari kolonial Belanda menunjukkan bahwa Papua barat adalah wilayah yang sangat menantang. Di sana hidup suku Marind-anim, suku terbesar. Pada awal tahun 1900, diperkirakan ada 8.500 jiwa di pantai dan 6.000 jiwa di pedalaman. Mereka yang hidup di dataran tinggi hanya memiliki sedikit bahkan tidak ada kontak dengan dunia luar. Imam Jesuit, P. C. Van der Heijden bergabung dengan dua ekspedisi yang berangkat dari Langgur pada bulan Oktober dan November 1892, dipimpin oleh resident Ternate. Ekspedisi ini berupaya mendirikan pos pemerintahan, termasuk misi Katolik di Selerika. Akan tetapi, mereka frustrasi dengan kerumunan orang Papua yang mencuri semua materi yang ditujukan untuk bangunan pertama.
Inisiatif berikutnya untuk menghadirkan Katolik di Papua barat dilaksanakan oleh pastor legendaris, P. Cornelis Le Cocq d’Armandville. Setelah kesuksesannya di Flores (Sikka), Le Cocq memulai misi di Bomfia pada tahun 1891 di kaki bukit Seram timur, jauh dari penduduk muslim pantai. Pada tahun 1893, ia memulai misi baru di Watubela, pulau Kesui dengan melakukan perjalanan bolak-balik antara Bomfia dan misi baru ini. Untuk beberapa waktu, P. W. Hellings bergabung dengan Le Cocq di Kesui bersama dengan saudaranya J. Zinken seorang tukang. Di Watebula dan Kesui sebagaimana di wilayah timur lainnya, persaingan antara misionaris Katolik dan bertambahnya penduduk muslim menyebabkan banyak ketegangan. Hellings segera kembali ke Jawa ketika mengetahui dengan jelas bahwa Kesui tidak cocok untuk menjadi stasi besar dalam memulai ekspansi ke Papua Nugini. Le Cocq menetapkan suatu harapan di suatu tempat di pantai Papua Nugini untuk menghindari suatu persaingan yang terus-menerus dengan Islam di kepulauan kecil ini. Pada bulan Mei 1894 ia membuat sebuah misi eksplorasi ke pantai barat Papua, Kepala Burung Peninsula dan wilayah selatan (Fak-Fak sebagai desa yang paling menonjol). Pada tanggal 22 Mei hingga tanggal 1 Juni, ia membaptis 73 anak di desa Sekeru (Sekru) dekat Fak-Fak. Setelah persiapan di Kai, Le Cocq tiba dengan dua Jesuit bersaudara (Zinken dan Te Boekhorst) pada bulan April 1895 di pantai Kepala Burung, mungkin di Kapaur di pulau Bone. Mereka menemukan bahwa pedagang muslim sudah tiba di Sekeru dan telah memulai bisnis dan karena itu, mereka tidak bisa menghindari persaingan panjang antara Islam dan kekristenan. Mereka mulai membangun rumah dan menjalin kontak dengan penduduk setempat. Pada tahun pertama Le Cocq mampu menyusun 1.200 daftar kata di wilayah pantai antara Fak-Fak dan Kokas. Seorang guru Protestan dari Ambon Christianus Peletimu yang sudah mendirikan sekolah membantu Le Cocq, sementara saudara Zinken menemukan karakter Katolik yang tepat dari 16 anak sekolah di sebuah asrama kecil.
Dalam minggu terakhir bulan Juli 1895, Le Cocq melakukan perjalanan dengan kapal pemerintah, Khampuis ke pulau Geser untuk menjaga komunitas Katolik Kesui dan Bomfia di Seram. Dia kembali ke Kapaur pada tanggal 1 November dan hanya menemukan 1 anak laki-laki yang tersisa di sekolah. Berkat keutamaan dalam penyembuhan, Le Cocq mempengaruhi orang-orang sekali lagi untuk mempercayakan 10 anak laki-laki ke sekolah. Melalui kedatangan muslim dari wilayah kepulauan lain, Le Cocq frustrasi karena harapannya dia menemukan orang-orang yang murni supaya dapat dikonversi dalam totalitasnya dan menjadikan pusat katolik di wilayah itu. Oleh karena itu, dengan kapal Sekunar ia menjelajahi wilayah ke bagian timur untuk dijadikan tempat ideal. Dia telah memperhatikan bahwa orang-orang Papua di Kapaur adalah wilayah perburuan kepala, sebagai suatu reaksi terhadap orang-orang jahat yang datang dari luar wilayah. Seorang pengusaha Arab, Abdullah Baadillah, seorang keluarga protestan di Banda, Ahmad bin Abdullah Attamimi dari Geser juga ikut serta dalam ekspedisi dengan mengunakan kapal Sekunar Al Bahanasa dan seorang kapten Belanda, Pieter Salomon. Ekspedisi ini dimulai pada tanggal 5 Maret 1896. Pada pertengahan bulan Mei, mereka mencapai Mimika, pantai selatan Papua. Le Cocq tinggal di sana kira-kira 10 hari dan telah memulai kontak dengan orang-orang Papua. Dia memilih dua anak laki-laki untuk sekolah di Kapaur. Meskipun cuaca buruk, Le Cocq kembali ke Kapaur dengan menggunakan perahu pada tanggal 27 Mei. Namun perahu kecil yang dia tumpangi terbalik karena gelombang besar, akhirnya misionaris tenggelam di pantai Mimika.
Dengan kematian tragis legendaris Le Cocq, upaya untuk memulai misi Belanda di bagian Papua Nugini berhenti. Kapten Sekunar kembali ke Kapaur pada tanggal 18 Juni 1896 dan melaporkan kematian imam Le Cocq kepada kedua Jesuit bersaudara. Kemudian, kedua Jesuit itu meninggalkan stasi Kapaur.
Upaya pertama misi Katolik, pada kenyataannya tidak jauh dari stasi pertama misi Protestan yang telah memulai misi jauh lebih awal. Pada tanggal 5 Februari 1855, dua pekerja misi Protestan yang disebut dengan pekerja Goesner tiba di Mansiman, dekat dengan pelabuhan Manokwari, di bagian timur laut semenanjung Mata Burung. Antara tahun 1862 dan 1900tidak kurang dari 18 misionaris datang ke wilayah ini, semua dikirim oleh Utrechtsche Zendingsvereeniging, UZV. Misi ini memiliki awal yang sangat lambat karena beberapa misionaris meninggal segera setelah mereka tiba. Pada tahun 1879 J. J. P. Tomahue, guru pertama tiba dari Ambon dan diikuti oleh seorang guru dari Sangir, Andreas Palewey pada tahun 1881. Mereka mengikuti metode mendirkan sekolah-sekolah dimana siswa akan dididik dalam tradisi Kristen. Dalam dekade empat pertama, hasilnya kurang. Sampai pada tahun 1905, ketika UZV memutuskan bahwa dekat dengan misi Manokwari, hanya 150 orang yang telah dibaptis. Namun, keputusan yang dikeluarkan pada tahun 1905 berakhir tanpa ada usaha yang dilaksanakan. Pada tahun 1907, orang pertama Papua yang telah dilatih di sekolah teologi Protestan di Depok kembali ke Manokwari dan dia adalah yang pertama dari serangkaian panjang penginjil Papua yang membagikan pekerjaan di pantai utara bagian barat Papua. Permintaan dari Gereja Anglikan Inggris untuk memulai misi gabungan di Merauke ditolak oleh pemerintah kolonial Belanda, karena takut bahwa hal ini dapat digunakan untuk memperluas pengaruh Inggris di pantai selatan. Perkembangan ini kemudian menyumbangkan wilayah pulau yang sangat luas: daerah utara untuk Protestan dan wilayah selatan untuk Katolik. Seperti misi Protestan, pejabat pemerintah pertama kali tiba di pantai bagian barat laut pulau. Pada tahun 1898 pemerintah Belanda menempatkan pemerintahan di Fak-Fak dan Manokwari.
Pada bulan Desember 1892, posthouder pertama beserta 10 tentara asli menetap di Sarire dekat Merauke. Ia meninggalkan tempat ini pada bulan Januari karena ada masalah besar dengan penduduk setempat. Pada bulan Februari 1902 pejabat kolonial lainnya dikirm ke Merauke untuk menjawab keluhan dari William McGregor, Gubernur Inggris bagian tenggara Papua tentang perburuan kepala dari wilayah Belanda. Pejabat pertama, Asisten Residen J. Kroesen, didampingi oleh 160 tentara dengan aparat polisi dan narapidana untuk dipaksa menjadi buruh tiba di wilayah itu. Setelah beberapa konflik berdarah antara Papua dari suku Marind dengan penduduk baru yang menempati tempat itu, penduduk asli mengakui kecanggihan senjata kolonial, oleh karena itu mereka menerima pemukiman baru di pantai. Merauke akan menjadi pusat utama untuk pemerintah dan misi di pantai selatan. Pada tahun 1902 salah satu warga Katolik yang paling menonjol pada masa itu pedagang Cina, Baba Geo telah menetap di pesisir selatan ini. Larangan terhadap kegiatan misionaris Katolik di bagian selatan secara resmi diumumkan pada tahun 1912. Promulgasi ini menciptakan kesepakatan bahwa misi Protestan berada di bagian utara dan selatan, sementara misi Katolik di bagian barat Papua, setidaknya sampai tahun 1930. Stasi pertama Katolik dibuka di sebuah kota baru di Merauke sepanjang sungai Maro.
Bahkan sebelum para misionaris MSC tiba di Kai pada bulan November 1903, pejabat kolonial pertama dari Merauke, Kroesen, sudah melakukan kontak dengan MSC di Belanda. dalam perjalan pertama ke wilayah Inggris di Papua Nugini, Kroesen bertemu dengan saudara MSC Belanda, Alexis Henkelman, yang bekerja di pulau Thursday sebagai kapten kapal misi Katolik. Melaluinya, dia membuat kontak dengan ordo MSC di Tilburg dan memulai sebuah korespondensi. Kroesen sangat senang mendengar bahwa MSC direncanakan akan bekerja di Kai dan Papua barat. Dengan suasana hati yang sangat positif dia menulis bahwa situasi menuntut kehadiran mereka, kondisinya aman dan menguntungkan dan mereka sangat menyambut. Dia juga memperingatkan laporan pers tentang kesulitan dan problem yang tidak mencerminkan realitas di wilayah yang menjanjikan ini.
Vicaris Apostolik Langgur, Matthias Neyens, mengunjungi Merauke pada tahun 1904 dan tahun 1905. Dia tidak mau pergi ke desa-desa Papua dengan pengawalan militer karena akan membatasi perjalannya dalam kunjungan singkat ke desa-desa dekat Merauke. Dia dikenal dari pakainnya yang tidak biasa dan janggutnya. Selain nama misnorei (setelah misionaris) dia menerima nama hosse-anim atau “orang berjenggot” dan dia diingat karena membawa beberapa obat dan melayani orang sakit di beberapa desa.
Misionaris MSC pertama yang bekerja di Papua barat, tidak datang langsung dari Belanda, sebaliknya dua imam (Philip Braun, Henricus Nollen) dan dua bruder (Dionysius van Roessel, Melchior Oomen) pindah ke Papua dari misi di pulau Thursday. Mereka sebelumnya teah bekerja di wiayah Jerman Neu Pommern, dan karena tidak ada kontak hubungan langsung, mereka harus melakukan perjalanan melalui Sydney dan Batavia, dari bulan April hingga Agustus tahun 1905. Selama bulan pertama di Merauke, mereka tinggal di sebuah rumah yang disediakan oleh Asisten-Residen J. Kroesen. Selama periode ini, rumah misi dibangun dengan kerja paksa tahanan yang datang ke Merauke untuk tujuan ini dengan para pejabat dan tentara. Philip Braun dan saudara Dionysius van Roessel dipindahkan ke Kai pada tahun 1906 dan Nollen pada tahun 1910 (sebagai superior seluruh misi MSC). Saudara Oomen meninggal pada tahun 1906. Pada dekade pertama dilihat ada perubahan yang cepat dalam staf, dengan empat sampai enam pekerja misi yang bekerja di Papua pada waktu tertentu. Perintis yang paling menonjol adalah imam Belgia, Peter Vertenten yang bekerja di Merauke dan Okaba antara tahun 1909 dan 1925 (ketika dia dipanggil untuk melayani misi MSC di kolonial Belgia di Kongo).
Pesisir tenggara wilayah Belanda di Papua Nugini di dominasi oleh suku Marind. Mereka juga biasa dipanggil Marind-Anim (anim berarti laki-laki). Disana tidak ada desa yang besar, apalagi kota. Orang-orang anim tinggal dengan tersebar di wilayah yang sangat jarang penduduknya (sekitar satu penduduk per kilometer persegi).Kota baru Merauke bukanlah sebuah desa tradisional Papua.Ini adalah ciptaan pemerintah, dimana ada lima pejabat kolonial Eropa, beberapa pedagang Eropa dan orang-orang Cina dan pedagang asli Indonesia tinggal, bersama dengan satu batalion tentara dengan sekitar seratus tentara asli demikian juga jumlah tahanan, semua berasal dari luar daerah. Aktivitas pertama yang membedakan personil misi dari pendatang baru lainnya adalah kebersihan dan perawatan kesehatan. Setelah beberapa bulan di Merauke, saudara Dionysius menulis bahwa orang asli Papuasecarateratur datang untuk minum air bersih yang segar dan mereka yang memiliki luka-luka disembuhkan. Misi juga bekerja untuk pemeliharaan sendiri, termasuk penanaman kebun sayur dan ternak babi, kambing, ayam dan bahkan beberapa sapi.
Pada awal dekade, misionaris fokus di daerah pesisir. Selain Merauke, sebuah stasi dibangun di Okaba yang dikelola antara bulan Juli 1910 dan September tahun 1915 dan kemudian dibuka kembali pada tahun 1922. Okaba telah memiliki pos pemerintah yang kedua dan polisi permanen sejak bulan Juni 1907: dalam beberapa tahun misionaris mengikuti perluasan pemerintah kolonial di pesisir. Dari Merauke dan Okaba para misionaris melakukan penjelajahan di wilayah itu, melakukan kontak awal, belajar bahasa, dan berusaha memahami teka-teki agama dan budaya lokal. Mereka mengetahui praktek perburuan kepala yang dilarang oleh pemerintah kolonial yang masih berlanjut di desa-desa yang tidak di bawah kendali langsung pemerintah. Perlahan-lahan mereka juga menemukan kekayaan mitologi dan praktek ritual lokal.
Misionaris pertama sedikit terbantu dari penelitian linguistik sebelumnya.Pada tahun 1890, Montague seorang petualang-misionaris Inggris telah menetap di pantai selatan wilayah Belanda. Dia datang dari teritorial Inggris. Pertama, dia telah membuat daftar kata-kata. Daftar kata-kata yang telah dibuat oleh Montague ini diperluas oleh petugas kelautan H. Bauer pada tahun 1897. Kemudian, kapten Bik dan Syene Kok pada bulan Mei 1901 menulis versi lain tentang perkembangan kata-kata suku Marind. Misionaris pertama dapat menggunakan materi ini. Para imam, H. Nollen dan E. Cappers dan kemudian J. van der Kooij dan J. Viegen menambahkan materi yang telah dipersiapkan untuk publikasikan pejabat pemerintah oleh J. van der Kolk dan Peter Vertenten pada tahun 1918. Pada tahun 1926 H. Geurtjens menerbitkan tata bahasa suku Marind dan pada tahun 1933 menerbitkan kamus Marind-Belanda dengan bantuan J. van der Kolk dan J. van der Kooij. Sarjana linguistik terbesar dalam pelayanan misi adalah Peter Drabbe yang tiba pada tahun 1935 dan menerbitkan banyak penelitian tentang bahasa dan dialek. Rekannya sarjana muda Jan Boelaars menuliskan disertasi doktoral pada tahun 1950 dengan membandingkan bahasa daerah. Beberapa terjemahan pertama dikerjakan oleh pedagang Cina yang menikah dengan perempuan Marind yang dekat dengan masyarakat Papua. Pada tahun 1916 Baba Geong disebutkan sebagai penerjemah katekismus Melayu bersama dengan pastor Vertenten.
Budaya dan agama Papua barat jauh lebih sulit dipahami dari pada praktek-praktek non-Kristen di bagian lain dari Indonesia. Di daerah lain kita sering mendengar nada hormat dan simpati dalam mendeskripsikan budaya tradisional.Dalam pemujaan leluhur dan roh nenek moyang, pada abad ke 20 misionaris Katolik biasanya tidak mempunyai masalah untuk menemukan beberapa konsep tentang Tuhan yang Mahatinggi. Di atas, kita telah melihat contoh-contoh ini di Flores, terutama Manggarai juga di Sumba dan Kai. Pertemuan dengan budaya Papua ini sangat berbeda. Tidak ada konsep di budaya Papua yang dapat dengan mudah dihubungkan dengan kepercayaan kristiani di dalam Tuhan yang menciptakan dunia.Ada beberapa laporan praktek magis, beberapa bahkan tentang keyakinan, tetapi dalam deskripsi ini kita tidak menemukan gambaran tentang pujian dari kepercayaan pagan seperti dalam kasus di Manggarai. Salah satu deskripsi paling menonjol dibuat oleh Peter Vertenten yang tiba pada tahun 1910 dan menulis pada tahun 1912:
Hanya ateis modern yang tidak berdoa. Orang-orang Marind berdoa juga. Doa dalam bentuk yang paling sederhana adalah doa makhluk-makhluk yang lebih tinggi untuk mendapatkan sesuatu atau menghalau diri dari kejahatan. Sampai sekarang, saya tidak pernah menemukan dua bentuk doa yang lebih tinggi dari pujian dan syukur yang kurang egosentris dari pada permintaan dilindungi.Namun, mungkin juga mereka tahu bentuk yang lebih tinggi dari berdoa. Orang-orang Marind berdoa terutama ketika mereka ingin menghilangkan yang jahat. Karena itu doa mereka menyerupai sebuah kutukan atau mantra. Mereka juga berdoa untuk menghalau hujan dan guntur, penyakit dan roh.Dalam semua ini mereka mengekspresikan perasaan ketergantungan mereka pada makhluk-makhluk yang lebih tinggi, yang mereka sebut dema yang diyakini memiliki kekuatan mengatasi semua makhluk. Kita menyebut ini takhayul. Untuk mereka inilah iman yang benar. Iman ini tampak kepada saya tanpa terhalang tetapi mempunyai arti yang kuat untuk menemukan cara beriman yang benar.
Dua aspek dari budaya dunia Papua menjijikkan bagi misionaris (serta pejabat pemerintah): perburuan kepala (pengayauan) dan persetubuhan dengan siapa saja pada tahap inisiasi dan ritual perkawinan.P. Jos van de Kolk yang telah bekerja di Merauke dan Okaba antara tahun 1910 dan 1915 menyebut bahwa pandangan akan dunia Papua adalah sebuah teka-teki, sebuah misteri yang tidak dapat dia mengerti. Dia menyebut ini sebagai salib terbesar yang harus mereka panggul. Keinginan kuat untuk melanjutkan perburuan kepala adalah suatu bukti bahwa orang Marind tidak mengetahui ide tentang tujuan yang paling dalam dari misi para misionaris.
Sampai pada tahun 1913 perburuan kepala tidak secara aktif dilarang oleh komunitas kecil kolonial di Merauke, yang gembira dimana mereka dilihat ditolerir oleh penduduk setempat, bisa bertahan hidup dan tidak mengalami terlalu banyak kekerasan dari sisi Papua. Pada tahun 1913, Asisten-residen L. M. F. Plate memulai pertama tindakan tegas terhadap perburuan kepala.Salah satu alasan yang didengar oleh para misionaris dalam praktek perburuan kepala adalah keinginan orang-orang Marind untuk memiliki nama bagi anak-anak mereka. Nama-nama itu telah dikomunikasikan oleh korban perburuan kepala. Alasan lain adalah permintaan yang sangat besar untuk anak-anak. Anak-anak diambil dengan cara diteror dari desa; anak-anak ini diadopsi oleh keluarga pesisir, dihargai dan benar-benar dicintai seolah-olah mereka adalah anak-anak mereka sendiri. Para misionaris segera mengerti bahwa orang-orang Marind di pesisir tidak menganggap suku pedalaman sebagai manusia nyata seperti diri mereka sendiri. Hal ini dijadikan sebagai alasan untuk membunuh manusia lain.
Salah satu misionaris yang paling tertarik pada mitos-mitos dan ritual yang berhubungan dengan peburuan kepala adalah P. Jos Viegen yang telah bekerja di Merauke antara tahun 1909 dan tahun 1915. Ia mengumpulkan banyak bahan, beberapa di antaranya dengan bergabung pada kelompok-kelompok yang menggerebek perburuan kepala. Dia adalah orang pertama yang menuliskan mitos sosom dan sebuah gambaran dari kultus Mayo dan Imo. Dia berbicara secara terbuka mengenai elemen seksual dan makna dari beberapa mitos dan ritual. Ketika ia kembali ke Belanda pada tahun 1920 (setelah periode lima tahun di Kai), pemimpin MSC Belanda diperingatkan oleh Nollen, pemimpin misi di Langgur bahwa:
Orang ini ingin menerbitkan tulisannya mengenai Papua. Ia harus dicegah melakukan hal itu, karena ide-idenya tidak dapat dikritik dan kita tidak mengerti bagaimana dia menciptakannya. Ia harus mengikuti ide yang terbentuk sebelumnya sebagai matriks penjelasan dan klasifikasi. Kita akan membuat hal-hal yang konyol dan banyak orang akan berpikir: betapa kotor pikiran imam ini yang harus menggambarkan hal-hal yang kotor. Jadi, cegah dia untuk menerbitkannya.
Imam dan antropolog Jan Boelaars menulis pada tahun 1990 tentang masalah pemahaman, hal ini tidak mengherankan mengingat gaya hidup victoria dari hari-hari indah dan sisi problematis sisi kehidupan seksual antara suku Marind dan antara para misionaris sendiri, tidak bisa dirumuskan dengan cukup jelas dalam catatan Viegen. Sampai pada tahun 1920, para misionaris masih ada yang belum menggunakan pendekatan yang terbaik, dan harus menghabiskan banyak waktu untuk belajar bahasa dan budaya. Dari awal tahun 1920 kepentingan mereka secara bertahap berubah dari kajian kebudayaan suku Marind-anim asli ke kemajuan misionaris, hasil dari perubahan dalam masyarakat Marind sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk memfokuskan orang-orang di desa baru dengan rumah keluarga sendiri. Hal ini tidak begitu banyak melawan praktek perburuan kepala tetapi melawan teka-teki budaya yang lain yang dihadapkan dengan misionaris, praktek seksual pada ritual suku Marind-anim.
Kesulitan untuk memahami budaya dan agama suku Marind bukanlah hanya masalah untuk awal misi. Sejak dimulai pada tahun 1903-1905 di Kai, Tanimbar dan akhirnya Papua barat, misi MSC terhambat oleh konflik antara Prefek Apostolik Neyens dan pemimpin MSC Belanda.Tidak dalam bab sebelumnya, hal ini akhirnya menyebabkan pemecatan Neyens sebagai prefek misi pada tahun 1915.Lagi dan lagi ada harapan, bahwa misi dapat menghasilkan uang sendiri melalui peternakan dan budidaya kelapa secara khusus.Semua upaya ini (beberapa kali melibatkan pengiriman pekerja terpercaya dari Kai ke pantai selatan Papua Nugini) gagal, meningkatkan masalah keuangan mereka. Pada tahun 1907-1908 ada kasus di pengadilan Ambon yang mana Neyens dan seluruh misi berada dalam bahaya bangkrut atas permintaan dari seorang pedagang Cina yang telah membebaskan banyak barang untuk misi. Dalam perdebatan tentang keuangan misi “ditahan Belanda” misionaris dihina rekan Belanda mereka dengan mengatakan bahwa” untuk mereka ordo MSC adalah tujuan pertama dan misi hanyalah kepentingan kedua”.
Efek samping dari konflik ini adalah kebijakan MSC Belanda setelah tahun 1908 tidak mengirim lebih misionaris ke wilayah itu. Hal ini menunda perkembangan misi. Ketika permasalahan keuangan diselesaikan pada tahun 1915, Perang Dunia I melarang untuk mengirim misionaris yang baru sampai pada tahun 1919. Oleh karena itu, periode 1905-1920 dapat dilihat sebagai sebuah periode orientasi oleh hal-hal yang buruk tetapi sebagian besar sangat berdedikasi dan menjadi perintis yang bekerja keras. Salah satu efek samping dari situasi ekonomi yang buruk membuat misionaris takut memproduksi hal-hal yang berkaitan dengan sastra. Dengan menulis artikel untuk jurnal dan majalah di Hindia timur, mereka bisa sedikit memperbaiki kondisi keuangan mereka yang buruk. Dengan cara ini, Peter Vertenten menjadi nama yang akrab di percetakan Hindia timur. Pada awal tahun 1919 ia memulai serangkaian artikel yang menarik perhatian publik terhadap masalah-masalah di pantai selatan Papua barat, berharap untuk mendapatkan dukungan demi rencananya untuk menyelamatkan orang. Slogannya adalah Zuid-Nieuw Guinea sterf uit (Papua barat sedang sekarat).Pada akhir tahun 1920 ia diundang untuk menemani Asisten-Residen Merauke (H. M. Lublink Weddik) ke Batavia untuk menghadiri pertemuan semua penduduk kolonial. Meskipun tinggal di daerah yang sangat terpencil di kepulauan yang luas, Vertenten sudah dikenal di Batavia dan di Bogor. Ia menerima sambutan yang hangat, ada perhatian besar kepada pidatonya pada awal tahun 1921 dan membawa kembali banyak uang: tidak kurang dari 3.000 gulden.
Januari 1921: P. Vertenten sebagi Juruselamat Marind-anim
Salah satu sistem utama dari agama Marind adalah kultus Mayo, yang
dilarang oleh pemerintah kolonial pada tahun 1911 dan kemudian dilakukan
secara rahasia dan dalam bentuk yang ringkas.Kultus Mayo mempunyai
inisiasi yang lama dan rumit, serangkaian latihan yang intensif dan
ritual selama periode kira-kira enam bulan, biasanya ini dilakukan di
musim kemarau antara bulan Mei dan Desember. Dalam beberapa latihan dan
ritual, sperma manusia digunakan. Ini diperoleh dari otiv-bombari,
hubungan satu atau lebih wanita dengan semua orang yang berpartisipasi
dalam perayaan.Beberapa pengamat menggunakan kata orgy (pesta pora)
untuk ini, tetapi mereka dikritik oleh antropologis yang lebih obyektif,
yang menulis bahwa orgy terutama ritus kesenangan.Peranan para wanita
dalam praktek otiv-bombari adalah sedikit menuntut supaya mereka diberi
rasa kepuasan. Ada tradisi lain dari budaya dan agama Marind yang
disebut aneh dan liar yakni ritual persetubuhan. Hal ini cepat
menyebabkan penyebaran penyakit kelamin setelah tahun 1905.Penyakit yang
paling serius adalah granumola kelamin. Penyakit ini mungkin datang
pada tahun 1905 melalui nelayan Filipina yang membawanya ke wilayah
Merauke dari Queensland di Australia.Bersama dengan angin Spanyol pada
tahun 1918, penyakit ini menewaskan sekitar sepertiga dari penduduk
pesisir suku Marind antara tahun 1915 dan 1919. Jumlah kelahiran hampir
nol. Misionaris dan pejabat-pejabat kolonial takut bahwa suku Marind
(pada waktu itu diperkirakan sekitar 8.000 jiwa) akan hilang sama
sekali.Letak geografis Indonesia bagian timur membuat kontak regional dan internasional sulit. Di bagian tenggara (Flores, Sumba dan Timor menjadi pulau yang paling penting) dan Maluku dengan ratusan pulau yang berbukit-bukit yang tersebar di wilayah yang luas, komunikasi merupakan sesuatu yang sulit dan mahal. Geografi dari kolonial Belanda menunjukkan bahwa Papua barat adalah wilayah yang sangat menantang. Di sana hidup suku Marind-anim, suku terbesar. Pada awal tahun 1900, diperkirakan ada 8.500 jiwa di pantai dan 6.000 jiwa di pedalaman. Mereka yang hidup di dataran tinggi hanya memiliki sedikit bahkan tidak ada kontak dengan dunia luar. Imam Jesuit, P. C. Van der Heijden bergabung dengan dua ekspedisi yang berangkat dari Langgur pada bulan Oktober dan November 1892, dipimpin oleh resident Ternate. Ekspedisi ini berupaya mendirikan pos pemerintahan, termasuk misi Katolik di Selerika. Akan tetapi, mereka frustrasi dengan kerumunan orang Papua yang mencuri semua materi yang ditujukan untuk bangunan pertama.
Inisiatif berikutnya untuk menghadirkan Katolik di Papua barat dilaksanakan oleh pastor legendaris, P. Cornelis Le Cocq d’Armandville. Setelah kesuksesannya di Flores (Sikka), Le Cocq memulai misi di Bomfia pada tahun 1891 di kaki bukit Seram timur, jauh dari penduduk muslim pantai. Pada tahun 1893, ia memulai misi baru di Watubela, pulau Kesui dengan melakukan perjalanan bolak-balik antara Bomfia dan misi baru ini. Untuk beberapa waktu, P. W. Hellings bergabung dengan Le Cocq di Kesui bersama dengan saudaranya J. Zinken seorang tukang. Di Watebula dan Kesui sebagaimana di wilayah timur lainnya, persaingan antara misionaris Katolik dan bertambahnya penduduk muslim menyebabkan banyak ketegangan. Hellings segera kembali ke Jawa ketika mengetahui dengan jelas bahwa Kesui tidak cocok untuk menjadi stasi besar dalam memulai ekspansi ke Papua Nugini. Le Cocq menetapkan suatu harapan di suatu tempat di pantai Papua Nugini untuk menghindari suatu persaingan yang terus-menerus dengan Islam di kepulauan kecil ini. Pada bulan Mei 1894 ia membuat sebuah misi eksplorasi ke pantai barat Papua, Kepala Burung Peninsula dan wilayah selatan (Fak-Fak sebagai desa yang paling menonjol). Pada tanggal 22 Mei hingga tanggal 1 Juni, ia membaptis 73 anak di desa Sekeru (Sekru) dekat Fak-Fak. Setelah persiapan di Kai, Le Cocq tiba dengan dua Jesuit bersaudara (Zinken dan Te Boekhorst) pada bulan April 1895 di pantai Kepala Burung, mungkin di Kapaur di pulau Bone. Mereka menemukan bahwa pedagang muslim sudah tiba di Sekeru dan telah memulai bisnis dan karena itu, mereka tidak bisa menghindari persaingan panjang antara Islam dan kekristenan. Mereka mulai membangun rumah dan menjalin kontak dengan penduduk setempat. Pada tahun pertama Le Cocq mampu menyusun 1.200 daftar kata di wilayah pantai antara Fak-Fak dan Kokas. Seorang guru Protestan dari Ambon Christianus Peletimu yang sudah mendirikan sekolah membantu Le Cocq, sementara saudara Zinken menemukan karakter Katolik yang tepat dari 16 anak sekolah di sebuah asrama kecil.
Dalam minggu terakhir bulan Juli 1895, Le Cocq melakukan perjalanan dengan kapal pemerintah, Khampuis ke pulau Geser untuk menjaga komunitas Katolik Kesui dan Bomfia di Seram. Dia kembali ke Kapaur pada tanggal 1 November dan hanya menemukan 1 anak laki-laki yang tersisa di sekolah. Berkat keutamaan dalam penyembuhan, Le Cocq mempengaruhi orang-orang sekali lagi untuk mempercayakan 10 anak laki-laki ke sekolah. Melalui kedatangan muslim dari wilayah kepulauan lain, Le Cocq frustrasi karena harapannya dia menemukan orang-orang yang murni supaya dapat dikonversi dalam totalitasnya dan menjadikan pusat katolik di wilayah itu. Oleh karena itu, dengan kapal Sekunar ia menjelajahi wilayah ke bagian timur untuk dijadikan tempat ideal. Dia telah memperhatikan bahwa orang-orang Papua di Kapaur adalah wilayah perburuan kepala, sebagai suatu reaksi terhadap orang-orang jahat yang datang dari luar wilayah. Seorang pengusaha Arab, Abdullah Baadillah, seorang keluarga protestan di Banda, Ahmad bin Abdullah Attamimi dari Geser juga ikut serta dalam ekspedisi dengan mengunakan kapal Sekunar Al Bahanasa dan seorang kapten Belanda, Pieter Salomon. Ekspedisi ini dimulai pada tanggal 5 Maret 1896. Pada pertengahan bulan Mei, mereka mencapai Mimika, pantai selatan Papua. Le Cocq tinggal di sana kira-kira 10 hari dan telah memulai kontak dengan orang-orang Papua. Dia memilih dua anak laki-laki untuk sekolah di Kapaur. Meskipun cuaca buruk, Le Cocq kembali ke Kapaur dengan menggunakan perahu pada tanggal 27 Mei. Namun perahu kecil yang dia tumpangi terbalik karena gelombang besar, akhirnya misionaris tenggelam di pantai Mimika.
Dengan kematian tragis legendaris Le Cocq, upaya untuk memulai misi Belanda di bagian Papua Nugini berhenti. Kapten Sekunar kembali ke Kapaur pada tanggal 18 Juni 1896 dan melaporkan kematian imam Le Cocq kepada kedua Jesuit bersaudara. Kemudian, kedua Jesuit itu meninggalkan stasi Kapaur.
Upaya pertama misi Katolik, pada kenyataannya tidak jauh dari stasi pertama misi Protestan yang telah memulai misi jauh lebih awal. Pada tanggal 5 Februari 1855, dua pekerja misi Protestan yang disebut dengan pekerja Goesner tiba di Mansiman, dekat dengan pelabuhan Manokwari, di bagian timur laut semenanjung Mata Burung. Antara tahun 1862 dan 1900tidak kurang dari 18 misionaris datang ke wilayah ini, semua dikirim oleh Utrechtsche Zendingsvereeniging, UZV. Misi ini memiliki awal yang sangat lambat karena beberapa misionaris meninggal segera setelah mereka tiba. Pada tahun 1879 J. J. P. Tomahue, guru pertama tiba dari Ambon dan diikuti oleh seorang guru dari Sangir, Andreas Palewey pada tahun 1881. Mereka mengikuti metode mendirkan sekolah-sekolah dimana siswa akan dididik dalam tradisi Kristen. Dalam dekade empat pertama, hasilnya kurang. Sampai pada tahun 1905, ketika UZV memutuskan bahwa dekat dengan misi Manokwari, hanya 150 orang yang telah dibaptis. Namun, keputusan yang dikeluarkan pada tahun 1905 berakhir tanpa ada usaha yang dilaksanakan. Pada tahun 1907, orang pertama Papua yang telah dilatih di sekolah teologi Protestan di Depok kembali ke Manokwari dan dia adalah yang pertama dari serangkaian panjang penginjil Papua yang membagikan pekerjaan di pantai utara bagian barat Papua. Permintaan dari Gereja Anglikan Inggris untuk memulai misi gabungan di Merauke ditolak oleh pemerintah kolonial Belanda, karena takut bahwa hal ini dapat digunakan untuk memperluas pengaruh Inggris di pantai selatan. Perkembangan ini kemudian menyumbangkan wilayah pulau yang sangat luas: daerah utara untuk Protestan dan wilayah selatan untuk Katolik. Seperti misi Protestan, pejabat pemerintah pertama kali tiba di pantai bagian barat laut pulau. Pada tahun 1898 pemerintah Belanda menempatkan pemerintahan di Fak-Fak dan Manokwari.
Pada bulan Desember 1892, posthouder pertama beserta 10 tentara asli menetap di Sarire dekat Merauke. Ia meninggalkan tempat ini pada bulan Januari karena ada masalah besar dengan penduduk setempat. Pada bulan Februari 1902 pejabat kolonial lainnya dikirm ke Merauke untuk menjawab keluhan dari William McGregor, Gubernur Inggris bagian tenggara Papua tentang perburuan kepala dari wilayah Belanda. Pejabat pertama, Asisten Residen J. Kroesen, didampingi oleh 160 tentara dengan aparat polisi dan narapidana untuk dipaksa menjadi buruh tiba di wilayah itu. Setelah beberapa konflik berdarah antara Papua dari suku Marind dengan penduduk baru yang menempati tempat itu, penduduk asli mengakui kecanggihan senjata kolonial, oleh karena itu mereka menerima pemukiman baru di pantai. Merauke akan menjadi pusat utama untuk pemerintah dan misi di pantai selatan. Pada tahun 1902 salah satu warga Katolik yang paling menonjol pada masa itu pedagang Cina, Baba Geo telah menetap di pesisir selatan ini. Larangan terhadap kegiatan misionaris Katolik di bagian selatan secara resmi diumumkan pada tahun 1912. Promulgasi ini menciptakan kesepakatan bahwa misi Protestan berada di bagian utara dan selatan, sementara misi Katolik di bagian barat Papua, setidaknya sampai tahun 1930. Stasi pertama Katolik dibuka di sebuah kota baru di Merauke sepanjang sungai Maro.
Bahkan sebelum para misionaris MSC tiba di Kai pada bulan November 1903, pejabat kolonial pertama dari Merauke, Kroesen, sudah melakukan kontak dengan MSC di Belanda. dalam perjalan pertama ke wilayah Inggris di Papua Nugini, Kroesen bertemu dengan saudara MSC Belanda, Alexis Henkelman, yang bekerja di pulau Thursday sebagai kapten kapal misi Katolik. Melaluinya, dia membuat kontak dengan ordo MSC di Tilburg dan memulai sebuah korespondensi. Kroesen sangat senang mendengar bahwa MSC direncanakan akan bekerja di Kai dan Papua barat. Dengan suasana hati yang sangat positif dia menulis bahwa situasi menuntut kehadiran mereka, kondisinya aman dan menguntungkan dan mereka sangat menyambut. Dia juga memperingatkan laporan pers tentang kesulitan dan problem yang tidak mencerminkan realitas di wilayah yang menjanjikan ini.
Vicaris Apostolik Langgur, Matthias Neyens, mengunjungi Merauke pada tahun 1904 dan tahun 1905. Dia tidak mau pergi ke desa-desa Papua dengan pengawalan militer karena akan membatasi perjalannya dalam kunjungan singkat ke desa-desa dekat Merauke. Dia dikenal dari pakainnya yang tidak biasa dan janggutnya. Selain nama misnorei (setelah misionaris) dia menerima nama hosse-anim atau “orang berjenggot” dan dia diingat karena membawa beberapa obat dan melayani orang sakit di beberapa desa.
Misionaris MSC pertama yang bekerja di Papua barat, tidak datang langsung dari Belanda, sebaliknya dua imam (Philip Braun, Henricus Nollen) dan dua bruder (Dionysius van Roessel, Melchior Oomen) pindah ke Papua dari misi di pulau Thursday. Mereka sebelumnya teah bekerja di wiayah Jerman Neu Pommern, dan karena tidak ada kontak hubungan langsung, mereka harus melakukan perjalanan melalui Sydney dan Batavia, dari bulan April hingga Agustus tahun 1905. Selama bulan pertama di Merauke, mereka tinggal di sebuah rumah yang disediakan oleh Asisten-Residen J. Kroesen. Selama periode ini, rumah misi dibangun dengan kerja paksa tahanan yang datang ke Merauke untuk tujuan ini dengan para pejabat dan tentara. Philip Braun dan saudara Dionysius van Roessel dipindahkan ke Kai pada tahun 1906 dan Nollen pada tahun 1910 (sebagai superior seluruh misi MSC). Saudara Oomen meninggal pada tahun 1906. Pada dekade pertama dilihat ada perubahan yang cepat dalam staf, dengan empat sampai enam pekerja misi yang bekerja di Papua pada waktu tertentu. Perintis yang paling menonjol adalah imam Belgia, Peter Vertenten yang bekerja di Merauke dan Okaba antara tahun 1909 dan 1925 (ketika dia dipanggil untuk melayani misi MSC di kolonial Belgia di Kongo).
Pesisir tenggara wilayah Belanda di Papua Nugini di dominasi oleh suku Marind. Mereka juga biasa dipanggil Marind-Anim (anim berarti laki-laki). Disana tidak ada desa yang besar, apalagi kota. Orang-orang anim tinggal dengan tersebar di wilayah yang sangat jarang penduduknya (sekitar satu penduduk per kilometer persegi).Kota baru Merauke bukanlah sebuah desa tradisional Papua.Ini adalah ciptaan pemerintah, dimana ada lima pejabat kolonial Eropa, beberapa pedagang Eropa dan orang-orang Cina dan pedagang asli Indonesia tinggal, bersama dengan satu batalion tentara dengan sekitar seratus tentara asli demikian juga jumlah tahanan, semua berasal dari luar daerah. Aktivitas pertama yang membedakan personil misi dari pendatang baru lainnya adalah kebersihan dan perawatan kesehatan. Setelah beberapa bulan di Merauke, saudara Dionysius menulis bahwa orang asli Papuasecarateratur datang untuk minum air bersih yang segar dan mereka yang memiliki luka-luka disembuhkan. Misi juga bekerja untuk pemeliharaan sendiri, termasuk penanaman kebun sayur dan ternak babi, kambing, ayam dan bahkan beberapa sapi.
Pada awal dekade, misionaris fokus di daerah pesisir. Selain Merauke, sebuah stasi dibangun di Okaba yang dikelola antara bulan Juli 1910 dan September tahun 1915 dan kemudian dibuka kembali pada tahun 1922. Okaba telah memiliki pos pemerintah yang kedua dan polisi permanen sejak bulan Juni 1907: dalam beberapa tahun misionaris mengikuti perluasan pemerintah kolonial di pesisir. Dari Merauke dan Okaba para misionaris melakukan penjelajahan di wilayah itu, melakukan kontak awal, belajar bahasa, dan berusaha memahami teka-teki agama dan budaya lokal. Mereka mengetahui praktek perburuan kepala yang dilarang oleh pemerintah kolonial yang masih berlanjut di desa-desa yang tidak di bawah kendali langsung pemerintah. Perlahan-lahan mereka juga menemukan kekayaan mitologi dan praktek ritual lokal.
Misionaris pertama sedikit terbantu dari penelitian linguistik sebelumnya.Pada tahun 1890, Montague seorang petualang-misionaris Inggris telah menetap di pantai selatan wilayah Belanda. Dia datang dari teritorial Inggris. Pertama, dia telah membuat daftar kata-kata. Daftar kata-kata yang telah dibuat oleh Montague ini diperluas oleh petugas kelautan H. Bauer pada tahun 1897. Kemudian, kapten Bik dan Syene Kok pada bulan Mei 1901 menulis versi lain tentang perkembangan kata-kata suku Marind. Misionaris pertama dapat menggunakan materi ini. Para imam, H. Nollen dan E. Cappers dan kemudian J. van der Kooij dan J. Viegen menambahkan materi yang telah dipersiapkan untuk publikasikan pejabat pemerintah oleh J. van der Kolk dan Peter Vertenten pada tahun 1918. Pada tahun 1926 H. Geurtjens menerbitkan tata bahasa suku Marind dan pada tahun 1933 menerbitkan kamus Marind-Belanda dengan bantuan J. van der Kolk dan J. van der Kooij. Sarjana linguistik terbesar dalam pelayanan misi adalah Peter Drabbe yang tiba pada tahun 1935 dan menerbitkan banyak penelitian tentang bahasa dan dialek. Rekannya sarjana muda Jan Boelaars menuliskan disertasi doktoral pada tahun 1950 dengan membandingkan bahasa daerah. Beberapa terjemahan pertama dikerjakan oleh pedagang Cina yang menikah dengan perempuan Marind yang dekat dengan masyarakat Papua. Pada tahun 1916 Baba Geong disebutkan sebagai penerjemah katekismus Melayu bersama dengan pastor Vertenten.
Budaya dan agama Papua barat jauh lebih sulit dipahami dari pada praktek-praktek non-Kristen di bagian lain dari Indonesia. Di daerah lain kita sering mendengar nada hormat dan simpati dalam mendeskripsikan budaya tradisional.Dalam pemujaan leluhur dan roh nenek moyang, pada abad ke 20 misionaris Katolik biasanya tidak mempunyai masalah untuk menemukan beberapa konsep tentang Tuhan yang Mahatinggi. Di atas, kita telah melihat contoh-contoh ini di Flores, terutama Manggarai juga di Sumba dan Kai. Pertemuan dengan budaya Papua ini sangat berbeda. Tidak ada konsep di budaya Papua yang dapat dengan mudah dihubungkan dengan kepercayaan kristiani di dalam Tuhan yang menciptakan dunia.Ada beberapa laporan praktek magis, beberapa bahkan tentang keyakinan, tetapi dalam deskripsi ini kita tidak menemukan gambaran tentang pujian dari kepercayaan pagan seperti dalam kasus di Manggarai. Salah satu deskripsi paling menonjol dibuat oleh Peter Vertenten yang tiba pada tahun 1910 dan menulis pada tahun 1912:
Hanya ateis modern yang tidak berdoa. Orang-orang Marind berdoa juga. Doa dalam bentuk yang paling sederhana adalah doa makhluk-makhluk yang lebih tinggi untuk mendapatkan sesuatu atau menghalau diri dari kejahatan. Sampai sekarang, saya tidak pernah menemukan dua bentuk doa yang lebih tinggi dari pujian dan syukur yang kurang egosentris dari pada permintaan dilindungi.Namun, mungkin juga mereka tahu bentuk yang lebih tinggi dari berdoa. Orang-orang Marind berdoa terutama ketika mereka ingin menghilangkan yang jahat. Karena itu doa mereka menyerupai sebuah kutukan atau mantra. Mereka juga berdoa untuk menghalau hujan dan guntur, penyakit dan roh.Dalam semua ini mereka mengekspresikan perasaan ketergantungan mereka pada makhluk-makhluk yang lebih tinggi, yang mereka sebut dema yang diyakini memiliki kekuatan mengatasi semua makhluk. Kita menyebut ini takhayul. Untuk mereka inilah iman yang benar. Iman ini tampak kepada saya tanpa terhalang tetapi mempunyai arti yang kuat untuk menemukan cara beriman yang benar.
Dua aspek dari budaya dunia Papua menjijikkan bagi misionaris (serta pejabat pemerintah): perburuan kepala (pengayauan) dan persetubuhan dengan siapa saja pada tahap inisiasi dan ritual perkawinan.P. Jos van de Kolk yang telah bekerja di Merauke dan Okaba antara tahun 1910 dan 1915 menyebut bahwa pandangan akan dunia Papua adalah sebuah teka-teki, sebuah misteri yang tidak dapat dia mengerti. Dia menyebut ini sebagai salib terbesar yang harus mereka panggul. Keinginan kuat untuk melanjutkan perburuan kepala adalah suatu bukti bahwa orang Marind tidak mengetahui ide tentang tujuan yang paling dalam dari misi para misionaris.
Sampai pada tahun 1913 perburuan kepala tidak secara aktif dilarang oleh komunitas kecil kolonial di Merauke, yang gembira dimana mereka dilihat ditolerir oleh penduduk setempat, bisa bertahan hidup dan tidak mengalami terlalu banyak kekerasan dari sisi Papua. Pada tahun 1913, Asisten-residen L. M. F. Plate memulai pertama tindakan tegas terhadap perburuan kepala.Salah satu alasan yang didengar oleh para misionaris dalam praktek perburuan kepala adalah keinginan orang-orang Marind untuk memiliki nama bagi anak-anak mereka. Nama-nama itu telah dikomunikasikan oleh korban perburuan kepala. Alasan lain adalah permintaan yang sangat besar untuk anak-anak. Anak-anak diambil dengan cara diteror dari desa; anak-anak ini diadopsi oleh keluarga pesisir, dihargai dan benar-benar dicintai seolah-olah mereka adalah anak-anak mereka sendiri. Para misionaris segera mengerti bahwa orang-orang Marind di pesisir tidak menganggap suku pedalaman sebagai manusia nyata seperti diri mereka sendiri. Hal ini dijadikan sebagai alasan untuk membunuh manusia lain.
Salah satu misionaris yang paling tertarik pada mitos-mitos dan ritual yang berhubungan dengan peburuan kepala adalah P. Jos Viegen yang telah bekerja di Merauke antara tahun 1909 dan tahun 1915. Ia mengumpulkan banyak bahan, beberapa di antaranya dengan bergabung pada kelompok-kelompok yang menggerebek perburuan kepala. Dia adalah orang pertama yang menuliskan mitos sosom dan sebuah gambaran dari kultus Mayo dan Imo. Dia berbicara secara terbuka mengenai elemen seksual dan makna dari beberapa mitos dan ritual. Ketika ia kembali ke Belanda pada tahun 1920 (setelah periode lima tahun di Kai), pemimpin MSC Belanda diperingatkan oleh Nollen, pemimpin misi di Langgur bahwa:
Orang ini ingin menerbitkan tulisannya mengenai Papua. Ia harus dicegah melakukan hal itu, karena ide-idenya tidak dapat dikritik dan kita tidak mengerti bagaimana dia menciptakannya. Ia harus mengikuti ide yang terbentuk sebelumnya sebagai matriks penjelasan dan klasifikasi. Kita akan membuat hal-hal yang konyol dan banyak orang akan berpikir: betapa kotor pikiran imam ini yang harus menggambarkan hal-hal yang kotor. Jadi, cegah dia untuk menerbitkannya.
Imam dan antropolog Jan Boelaars menulis pada tahun 1990 tentang masalah pemahaman, hal ini tidak mengherankan mengingat gaya hidup victoria dari hari-hari indah dan sisi problematis sisi kehidupan seksual antara suku Marind dan antara para misionaris sendiri, tidak bisa dirumuskan dengan cukup jelas dalam catatan Viegen. Sampai pada tahun 1920, para misionaris masih ada yang belum menggunakan pendekatan yang terbaik, dan harus menghabiskan banyak waktu untuk belajar bahasa dan budaya. Dari awal tahun 1920 kepentingan mereka secara bertahap berubah dari kajian kebudayaan suku Marind-anim asli ke kemajuan misionaris, hasil dari perubahan dalam masyarakat Marind sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk memfokuskan orang-orang di desa baru dengan rumah keluarga sendiri. Hal ini tidak begitu banyak melawan praktek perburuan kepala tetapi melawan teka-teki budaya yang lain yang dihadapkan dengan misionaris, praktek seksual pada ritual suku Marind-anim.
Kesulitan untuk memahami budaya dan agama suku Marind bukanlah hanya masalah untuk awal misi. Sejak dimulai pada tahun 1903-1905 di Kai, Tanimbar dan akhirnya Papua barat, misi MSC terhambat oleh konflik antara Prefek Apostolik Neyens dan pemimpin MSC Belanda.Tidak dalam bab sebelumnya, hal ini akhirnya menyebabkan pemecatan Neyens sebagai prefek misi pada tahun 1915.Lagi dan lagi ada harapan, bahwa misi dapat menghasilkan uang sendiri melalui peternakan dan budidaya kelapa secara khusus.Semua upaya ini (beberapa kali melibatkan pengiriman pekerja terpercaya dari Kai ke pantai selatan Papua Nugini) gagal, meningkatkan masalah keuangan mereka. Pada tahun 1907-1908 ada kasus di pengadilan Ambon yang mana Neyens dan seluruh misi berada dalam bahaya bangkrut atas permintaan dari seorang pedagang Cina yang telah membebaskan banyak barang untuk misi. Dalam perdebatan tentang keuangan misi “ditahan Belanda” misionaris dihina rekan Belanda mereka dengan mengatakan bahwa” untuk mereka ordo MSC adalah tujuan pertama dan misi hanyalah kepentingan kedua”.
Efek samping dari konflik ini adalah kebijakan MSC Belanda setelah tahun 1908 tidak mengirim lebih misionaris ke wilayah itu. Hal ini menunda perkembangan misi. Ketika permasalahan keuangan diselesaikan pada tahun 1915, Perang Dunia I melarang untuk mengirim misionaris yang baru sampai pada tahun 1919. Oleh karena itu, periode 1905-1920 dapat dilihat sebagai sebuah periode orientasi oleh hal-hal yang buruk tetapi sebagian besar sangat berdedikasi dan menjadi perintis yang bekerja keras. Salah satu efek samping dari situasi ekonomi yang buruk membuat misionaris takut memproduksi hal-hal yang berkaitan dengan sastra. Dengan menulis artikel untuk jurnal dan majalah di Hindia timur, mereka bisa sedikit memperbaiki kondisi keuangan mereka yang buruk. Dengan cara ini, Peter Vertenten menjadi nama yang akrab di percetakan Hindia timur. Pada awal tahun 1919 ia memulai serangkaian artikel yang menarik perhatian publik terhadap masalah-masalah di pantai selatan Papua barat, berharap untuk mendapatkan dukungan demi rencananya untuk menyelamatkan orang. Slogannya adalah Zuid-Nieuw Guinea sterf uit (Papua barat sedang sekarat).Pada akhir tahun 1920 ia diundang untuk menemani Asisten-Residen Merauke (H. M. Lublink Weddik) ke Batavia untuk menghadiri pertemuan semua penduduk kolonial. Meskipun tinggal di daerah yang sangat terpencil di kepulauan yang luas, Vertenten sudah dikenal di Batavia dan di Bogor. Ia menerima sambutan yang hangat, ada perhatian besar kepada pidatonya pada awal tahun 1921 dan membawa kembali banyak uang: tidak kurang dari 3.000 gulden.
Januari 1921: P. Vertenten sebagi Juruselamat Marind-anim
Atas saran dari Residen baru dari Papua Nugini bagian selatan, C. Lulofs, P. Vertenten dikirim ke Batavia pada bulan Desember 1920 untuk membahas langkah-langkah praktis yang harus diambil demi keselamatan dan transformasi penduduk setempat. Tidak lama sebelum ini, dokter Cnopius telah menetapkan identitas penyakit dan obat-obatan yang efektif. Vertenten dikirim ke Batavia untuk membahas persetujuan akan rencana praktis yang dibuat untuk melakukan reorganisasi masyarakat Marind dan mencegah wabah penyakit yang baru. Vertenten banyak memberikan kuliah umum di Batavia dan Buitenzorg/Bogor.Pada tanggal 29 Januai 1921 ia mengadakan pertemuan dengan gubernur J. P. Graaf van Limburg Stirum, pertemuan juga dihadiri oleh Residen Lulofs. Inti proposal adalah membangun rumah-rumah untuk keluaga kecil di desa-desa, dibawah kontrol misi dan administrasi sipil. Gereja dan sekolah akan menjaadi pusat dari desa-desa baru ini. Rincian lebih lanjut adalah sebagai berikut:
- Empat desa yang lebih besar akan melayani sebagai pusat masyarakat Marind yang baru; selain itu, dua stasi yang lebih tua Merauke dan Okaba, Kumbe dan Wambi akan dimulai sebagai pusat karya misionaris.
- Semua anak harus bersekolah di pagi hari dan kembali ke keluarga mereka (nuklir) pada sore hari.
- Gotade, rumah panjang, dimana orang muda tinggal harus dihapuskan. Selain itu, pemisah rumah panjang antara pria dan wanita akan dihancurkan dan praktek seksual akan dihapuskan.
- Semua anak-anak harus tinggal bersama keluarga nuklir mereka sampai menikah. Di desa-desa yang baru, mereka harus membantu pembangunan sekolah dan rumah, dan bekerja di kebun sayur. Mereka harus kembali ke rumah orangtuanya setiap malam.
- Orang-orang yang telah menerima pakaian untuk dikenakan, pasangan yang baru menikah harus membentuk inti dari desa-desa yang baru, tetapi mereka yang terinfeksi dengan penyakit kelamin harus segera meninggalkan desa-desa baru ini.
- Hukuman berat diusulkan untuk semua orang yang menentang tindakan baru ini, terutama mereka yang mengancam untuk menggunakan sihir.
- Untuk anak-anak yang mampu mengikuti pendidikan yang lebih baik dari pada sekolah biasa tiga tahun di desa, asrama di pusat desa akan dibangun.
- Untuk membiayai program ini, saudara-saudara dan imam akan menerima masing-masing 100 gulden per bulan, semua anak-anak yang di asrama 8 gulden per bulan dalam bentuk subsidi, sementara para guruakan menerima 35 gulden per bulan dari pemerintah pusat. Untuk membangun sekolah-sekolah, peraturan khusus akan dibuat.
Penggabungan rencana misi dan pemerintah telah disetujui oleh keputusan Gubernur Jenderal pada tanggal 27 April 1921. Pentingnya rencana ini untuk misi Papua adalah untuk rencana perluasan Katolik di pulau-pulau Flores-Timor. Hal ini memberi misi suatu harapan dan optimisme yang besar.
Penulis biografi Vertenten menyebut pahlawannya sebagai “juruselamat Marind-anim”. Hal ini mungkin agak dibesar-besarkan. Rencana yang dipertahankan oleh Vertenten di Batavia adalah hasil dari diskusi antara misionaris, adsministrator kolonial, dan pelayanan medis. Dalam laporan yang berikutnya, dokter M. Thierfelder (melayani antara tahun 1922 dan 1926) bersama dengan Cnopius yang dilihat sebagai figur utama dalam mengidentifikasi penyakit kelamin dan menetapkan obat yang sesuai. Rencana misi Katolik dirumuskan dan dipertahankan oleh Vertenten yang dianggap sebagai suatu inisiatif besar untuk membawa perubahan yang radikal dalam masyarakat Marind. Ini adalah variasi yang lebih intensif dari program-progam yang serupa untuk Flores, Timor dan kepulauan Kai walaupun kemudian tidak mempunyai persetujuan yang resmi dan formal. Pada tahun 1939 Jan van Baal, controleur Merauke antara tahun 1936 dan 1938 menulis:
Mau kemana suku Marind? Untuk suku Marind sebagai bangsa hanya ada satu jalan keluar yakni menerima secara lengkap kekristenan, yaitu Katolik Roma. Jalan menuju paganisme ditutup karena kebobrokan dan sifat budaya mereka yang tidak bisa diperbaiki, kedua, karena apa yang terjadi pada mereka setelah tahun 1910.
Ini tidak ditulis oleh seorang misionaris Katolik yang bersemangat dan berprasangka, tetapi oleh seorang pemerintah resmi Protestan yang taat, seorang antropologis terlatih membela kebijakan pemerintah. Pada kenyataannya mungkin tidak di wilayah Indonesia pada abad ke-20 dimana pemerintah mendukung konversi kepada kekristenan sekuat di Papua barat daya.Tidak ada ekslusifitas yang nyata dalam kontrak pada tahun 1921, seperti halnya dalam kontrak pada tahun 1913 mengenai Flores dan Timor, tetapi dengan tidak adanya disebut pihak lain setidaknya ada disarankan bahwa akan ada fasilitas yang eksklusif di wilayah Marind untuk misi Katolik.
Efek samping yang lain dari kebijakan baru ini adalah pengecualian banyak pedagang dari bagian lain Indonesia, dari Timor, Maluku dan Sulawesi selatan (Bugis). Dalam bahasa Belanda mereka biasannya disebut ruilers yakni orang-orang yang bekerja melalui perjanjian barter. Mereka menjual peralatan besi seperti kapak untuk kopra (kelapa kering). Sekitar tahun 1920 Vertenten menghitung 30 pedagang dalam sebuah desa yang dihuni oleh kurang lebih 300 masyarakat Marind. Pedagang itu sendiri berada dalam kemiskinan, tetapi mereka tergantung dan meningkatkan kemiskinan di antara penduduk setempat. Setelah perjanjian pada tahun 1921 mereka tidak lagi diizinkan untuk tinggal di desa-desa Papua yang baru dan difokuskan pada desa-desa yang lebih besar, di wilayah tertentu, dimana mereka diizinkan untuk memanen kopra di sepanjang pantai. Dalam sumber-sumber kami, kami tidak menemukan tanda-tanda penyebaran Islam, atau bahkan kehadiran Muslim di wilayah Merauke sebelum tahun 1945. Sebagaimana dituliskan di atas, bahwa pada tahun 1890 Le Cocq d’Armandville mengalami persaingan religius oleh Muslim di Kapaur dan ia telah mengunjungi pantai selatan (tetapi hanya sampai Mimika) dalam kapal Sekunar milik seorang Arab.Haruskah kita menerima bahwa dalam persaingan antara Islam dan Kristen, wilayah Asmat dan Marind pertama sedikit dihubungi oleh Kristen sebelum kedatangan Muslim? Setelah tindakan tegas dalam menghadapi perburuan kepala mulai pada tahun 1913, wilayah ini menjadi lebih aman, sejumlah pedagang datang untuk mencari kulit indah dan bulu dari burung cendrawasih. Antara tahun 1914 hingga 1926 puluhan petualang melakukan ekspedisi darat, mereka sering disertai dengan pembantu lokal.Karena banyak masalah dengan berburu, maka tindakan ini dilarang pada tahun 1922; beberapa pemburu telah dibunuh, ketika mereka bersikap seolah-olah mereka bebas menguasai wilayah itu dan membunuh banyak orang asli.Beberapa burung yang tersisa akan diselamatkan. Alasan langsung dari larangan ini adalah penyebaran lebih lanjut granoloma kelamin melalui para pemburu.
Vertenten masih mengalami hasil pertama dari karyanya.Pada tahun 1921 pembangunan tiga sekolah dimulai dan dua tahun kemudian lima sekolah dibuka dengan tiga lagi masih proses pembangunan. Pada tahun 1924 dua belas sekolah telah berfungsi, guru-gurunya semua berasal dari Kai. Pada tahun 1933 jumlah sekolah di desa biasa dimana hanya keluarga nuklir hidup (di rumah-rumah kecil yang terpisah) meningkat menjadi 40. Pada tahun 1925 Vertenten dipanggil oleh pemimpin ordo MSC untuk meninggalkan misi ini menjadi pemimpin misi MSC yang baru di koloni Belgia Kongo.
Dari tahun 1921, Katolik di wilayah Marind menyebar dengan cepat. Pada bulan November 1921 dua guru pertama tiba dari Kai: Kasimirus Maturbongs (untuk Merauke) dan Adrianus Dumatubun (untuk Okaba). Pada tanggal 17 April 1922 orang dewasa Papua pertama dibaptis di Merauke. Pada tahun 1923 P. Johanes van der Kooij memulai periode kedua kerja di Papua barat (setelah periode di Kai dari tahun 1915 sampai 1923 karena kekurangan tenaga selama perang dunia I dan kurangnya kesempatan di Papua). Dia membuka Wendu sebagai stasi permanen yang ketiga dan pada tahun 1924 merayakan baptisan pertama, hasil dari pendirian sekolah: 16 anak laki-laki dan 18 anak perempuan. Wambi adalah stasi permanen yang keempat yang dikelola oleh pastor dan akan dibuka padatahun 1923. Ini adalah tanda-tanda kemajuan yang nyata. Meskipun ada beberapa halangan dari pejabat kolonial Merauke, perjanjian keuangan yang difasilitasi ekspansi yang spektakuler diperpanjang setelah tahun 1925.Dukungan yang besar antara orang-orang Eropa untuk bekerja di Papua barat dinyatakan oleh sebuah lotre di Hindia pada tahun 1928 yang meningkat 28.000 gulden untuk misi ini.
Pada tahun 1928, pertama, tiba 3 suster untuk membuka asrama dan sekolah di Merauke. Tiga gadis pertama tinggal di bangunan yang baru. Mereka adalah anak perempuan dari Digul yang telah diambil dalam penggerebekan perburuan kepala oleh suku Marind dan diserahkan kepada misi oleh pemerintah kolonial, yang telah melarang perburuan kepala. Untuk beberapa waktu mereka dididik di Langgur. Dalam waktu enam bulan para suster memiliki 17 gadis di asrama. Jumlah suster tetap tiga sampai serangan Jepang.
Persaingan dengan Misi Protestan di Wilayah Marind pada Tahun 1930
Pada tanggal 15 Mei 1930 misi Katolik Merauke merayakan ulang tahun yang ke 25 dengan cara yang gembira. Lima tahun sebelumnya sudah ditawarkan pandangan yang cerah dan ini menghasilkan panen pertama setelah melewati awal dekade yang sulit. Namun, bulan Mei 1930 dilihat juga sebagai sebuah pergolakan yang disebabkan oleh kedatangan Asisten Menteri A. Hessing dan 8 guru Protestan dari Ambon.Kedatangan ini adalah hasil dari konferensi di Ambon pada tahun 1929, tentang larangan “misi ganda” (yaitu Katolik dan Protestan di satu wilayah). Katolik paling sengit melawan kebijakan pelarangan misi ganda. Mereka merasa cukup senang ketika mereka bisa memulai misi mereka di Fak-Fak pada tahun 1930 dan kemudian juga di wilayah utara Papua barat. Tapi Katolik bukanlah satu-satunya yang mendapat keuntungan dari penghapusan larangan misi ganda. Pada tahun 1930 pendeta Hessing dikirim oleh Gereja Protestan Maluku dan menjadikan Merauke sebagai pusat utama, melayani jemaat kecil Protestan dari ibukota sampai dia dipecat pada tahun 1937 karena korupsi uang.Protestan hanya berhasil menempati desa-desa pedalaman, banyak dari antara mereka tinggal di hulu sungai Bulaka dan Bian. Pejabat kolonial Van Baal, dirinya pada waktu itu masih Protestan ortodoks menemukan retrospeksi yang tidak begitu buruk bagi masyarakat Marind dimana sistem keagamaan berlomba untuk menawarkan alternatif dari pandangan agama mereka sendiri. Pertama, mereka sudah mempunyai sistem agama yang kompleks yang sudah menyatu dengan mereka, dengan berbagi mitos dan ritual. Kedua, banyak dari mereka menyesuaikan diri dengan agama baru, tetapi mereka melanjutkan ritual lama mereka dengan diam-diam dalam bentuk yang ringkas.Untuk misi Katolik, bagaimanapun, “mencuri domba” akan menyebabkan banyak masalah.Hal ini menjadi rumit karena di beberapa tempat ada bestuurs-assistent dari Protestan Ambon, pejabat resmi yang paling rendah dalam birokrasi kolonial.Beberapa insiden kecil antara misionaris dan Asisten Bestuurs Lebelauw (Protestan Ambon) di Okaba secara khusus menyebabkan masalah di awal tahun 1930. Hal ini tidak hanya mencuri domba tetapi “membeli domba” dimana guru Kai Filippus Ulukyanan berhasil membujuk anak-anak ke sekolahnya melalui pemberian makanan ke desa Sangase dan memberikan pakaian yang lebih baik kepada mereka.
Misi Protestan dapat beruntung dari ikatan erat antara pemerintah dan misi Katolik, dimana Katolik benci dengan beberapa langkah-langkah yang diperintahkan oleh pihak berkuasa. Di beberapa daerah, guru-guru Protestan memungkinkan masyarakat untuk meninggalkan desa-desa baru dan kembali ke pemukiman seminomade dan rumah panjang mereka. Untuk alasan strategis, guru-guru Protestan juga lebih lunak dari pada Katolik, karena dalam membaptis mereka menyediakan catatan resmi untuk menulis dokumen dan surat keanggotaan agama baru mereka.Protestan mengaku bahwa mereka lebih dekat ke agama resmi kolonial karena ratu Belanda juga Protestan. Pada gilirannya misi Katolik menuduh Protestan memungkinkan hubungan poligami.
Dalam beberapa kasus, perlombaan antara Katolik dan Protestan menyebabkan persaingan yang panas. Pada awal tahun 1930, guru Katolik Eduardus Ulukyanan dikirim ke desa Kwel, jauh di pedalaman Merauke sepanjang sungai Maro. Padaa hari ia berangkat, Ulukyanan memperhatikan bahwa guru Protestan untuk desa yang sama memulai perjalanan dalam perahu yang sama. Kapal diberhentikan selama dua hari di desa Po. Ulukyanan menggunakan kesempatan ini untuk berjalan secepat dia bisa menuju Kwel, dimana ia tiba cukup lama sebelum koleganya Protestan, membuka surat-surat misi Protestan, menyalin nama penduduk, mengumpulkan orang, memberikan hadiah yang bagus dan mendorong masyarakat untuk membangun sekolah dan rumah untuk guru Katolik. Pemerintah resmi terdekat yakni, bestuursambtenaar Protestan Muting mencoba untuk mencegah tindakannya dan bahkan mengutuk dirinya untuk enam tahun penjara. Eduardus naik banding terhadap Asisten-Residen Merauke dan memenangkan kasusnya. Dalam dua tahun seluruh desa Kwel sudah menerima kekatolikan.
Para Guru di Sekolah
Kedatangan kolonialisme telah membawa banyak perubahan kepada masyarakat Papua. Pertama kali datang pedagang dari daerah yang lebih jauh, Cina dan Indonesia Timor dan bahkan lebih jauh. Setelah mereka, datang administrator kolonial dengan tentara dan tahanan untuk membangun pemukiman kolonial pertama. Mereka melarang perayaan upacara besar, melarang perburuan kepala, menutup rumah panjang dan gotade dan mmbangun rumah panjang khusus untuk sarjana. Keluarga nuklir didorong untuk tinggal di rumah kecil, dibangun setelah gaya Maluku. Mereka diperintahkan untuk hidup bersama-sama di desa-desa sekitar sekolah, sejauh mungkin jauh dari pohon sagu mereka. Para tahanan baik pribumi maupun dari luar daerah diperintahkan untuk bekerja di jalan dan jembatan sebagai buruh paksa. Antropolog berpengalaman dan pejabat pemerintah Merauke, mengamati bahwa ada depresi antara masyarakat di akhir tahun 1930 dan ia mengira bahwa ini terjadi karena mereka telah kehilangan rasa arti hidup.Salah satu elemen paling mencolok yang diperkenalkan dalam proses transformasi ini adalah sekolah. Disini anak-anak dibentuk untuk masyarakat yang baru pada masa yang akan datang.
Pelajaran sepenuhnya diberikan dalam bahasa Melayu dan oleh karena itu, dua tahun pertama ditujukan untuk mengajar murid-murid mengenai bahasa yang baru yang kemudian menjadi bahasa nasional Indonesia. Sekolah ini juga dikaitkan dengan pengenaan pakaian, simbol utama dari masyarakat baru.
Anak-anak sekolah mengumpulkan kelapa yang diolah menjadi kopra untuk dijual. Dari keuntungan bisnis ini anak-anak sekolah menerima pakaian mereka. Ini adalah aturan umum bahwa pada hari Minggu para guru memakai pakaian yang rapi. Hal inimembuat sekolah menjadi faktor penentu dalam kehidupan anak-anak. Pada umumnya anak-anak hadir ke sekolah dengan disiplin yang baik. Di daerah pesisir yang lebih sadar diri, ketidakhadiran agak lebih tinggi dibandingkan dengan desa-desa pedalaman. Meskipun sekolah masih lembaga di luar budaya tradisional, anak-anak melakukannya dengan sungguh, dan mereka melekat dengan guru mereka. Pasti, program sekolah yang terlalu menuntut intelektual tidak cocok untuk masyarakat ini. Kurikulum mencakup aritmatika, membaca, menulis, menyanyi, bermain seruling dan agama. Adalah sangat disayangkan bahwa pelajaran dalam bahasa Melayu hilang pada dua tahun pertama. Setiap kelas harus mengulang dan memakan waktu setidaknya dua tahun dan hanya sebuah kelompok kecil yang terpilih memiliki nilai yang lebih tinggi. Aritmatika adalah masalah terbesar. Pelajaran bernyanyi dan memainkan flute menuai sukses besar.
Kebanyakan para guru berasal dari Kai dan beberapa dari Tanimbar, dimana mereka tidak hanya instruktur untuk sekolah dasar pertama di wilayah mereka. Mereka memiliki obat-obatan dasar untuk semua penduduk dan kadang-kadang melayani sebagai pekerja kesehatan. Mereka memperkenalkan metode baru pertanian, membuka tanah bersama dengan murid untuk menanam sayur, buah-buahan dan kadang-kadang padi. Posisi para guru mirip dengan posisi kepala desa. Mereka harus mencegah pertengkaran dan berjuang tanpa senjata apapun. Mereka tergantung pada kefasihan mereka, dan mengingatkan masyarakat bahwa pada suatu waktu (setidaknya beberapa minggu atau bulan kemudian) polisi akan datang untuk memulihkan ketertiban. Para guru juga sering melayani sebagai perantara antara pejabat kolonial dengan orang-orang yang dari desa untuk peningkatan kesejahteraan umum. Guru juga menjabat sebagai pemimpin komunitas religius. Secara otomatis, rumah para guru menjadi pusat dari desa yang baru. Dalam tahun pertama, para murid sering tinggal tidak dengan orang tua mereka, tetapi dengan guru. Perlu diingat bahwa pada tahun awal ini usia para murid bervariasi: mulai dari enam sampai enam belas tahun. Ini adalah keyakinan kuat para misionaris bahwa para guru adalah kekuatan pendorong di belakang penyebaran agama Katolik. Di desa-desa baru, guru meskipun orang luar, lebih dihormati dan memiliki pengaruh yang lebih dari pada kepala desa. Nora atau istri guru kadang-kadang memiliki pengaruh yang besar pada wanita dari desa. Guru-guru yang tinggal di daerah yang cukup terisolasi, banyak dari mereka di stasi pedalaman,dimana pejabat kolonial dan imamhanya bisa mengunjungi mereka setiap dua atau tiga bulan. Pejabat kolonial menggunakan mereka sebagai mediator dalam banyak urusan hukum dan ketertiban, perawatan kesehatan, kebersihan, makanan dan promosi pertanian. Imam dinominasikan sebagai inspektur sekolah dan memberikan perhatian khusus untuk pelajaran agama, memeriksa seberapa baik murid tahu doa dan katekismus, kemajuan tampak setelah dibuat kesempatan untuk menyanyikan himne gereja dan memainkan flute, dan kadang-kadang mereka diberi baptisan. Dalam kasus darurat atau sedang sakit, anak dibaptis oleh guru. Tidak seperti imam yang menghabiskan sebagian besar waktu mereka berkeliling untuk memeriksa stasi, guru kadang-kadang tinggal di satu tempat selama bertahun-tahun. Mereka menjadi kekuatan stabil di belakang kekristenan. Karena posisi guru sebagai perantara, pejabat kolonial kadang-kadang melihat mereka bertengkar. Akan tetapi dalam hal ini mereka masih dipertahankan oleh para imam. Imam suka menyalahkan pedagang yang telah memperkenalkan penyakit dan kejahatan, sementara guru dianggap sebagai agen nyata dari perubahan yang lebih baik.
Sebagian besar guru datang dari Kai. Mereka dianggap sangat handal dan serius, bahkan agak melankolis. Orang-orang Tanimbar mempunyai reputasi lebih ringan hati dan menyenangkan. Tidak semua guru berasal dari Kai dan Tanimbar. Augustinus Tuyu datang dari Minahasa. Ia lahir sebagai Protestan tetapi menjadi Katolik pada usia muda. Tempat pertamanya adalah Kaiburse di pesisir, bagian utara dari Wendu. Kemudian ia bertugas di tempat pedalaman, sepanjang sungai Maro. Pada tahun 1933 ia memimpin sekolah di Erambu, sepanjang sungai Maro dan membela kepentingan Katolik terhadap upaya yang dilakukan oleh guru Protestan untuk menarik anak-anak ke sekolah. Ia adalah anggota keluarga Manado yang saleh, karena dua anggota lain dari keluarga Tuyu bekerja di wilayah Merauke sebagai saudara MSC.
Karena persaingan dengan misi Protestan, jumlah sekolah yang didirikan oleh Katolik meningkat secara cepat pada tahun 1930. Ketika subsidi dari pemerintah datang untuk pembaharuan pada tahun 1931, hanya ada subsidi bagi sekolah yang didirikan sementara untuk menaikkan jumlah sekolah tidak diperbolehkan. Hal ini memperlihatkan bahwa jumlah semua sekolah Katolik pada tahun 1936 ada 175 tetapi hanya 35 yang menerima subsidi. Selain itu, jumlah stasi permanen meningkat setelah inisiatif dari Protestan. Pada tahun 1930 Muting didirikan sebagai pos misi formal dan pada tahun 1932 Wamal; pada tahun 1933 stasi Bupul dipilih untuk dilayani oleh P. Verchueren, sementara pada tahun 1936 Kimaam di Kolopom menerima staf permanen. Setelah masalah dengan Hessing pada tahun 1937, kegiatan misi Protestan menjadi tenang. Kegiatan resmi gereja Maluku dihentikan sama sekali, tetapi organisasi misionaris di Ambon bebas mengirim beberapa guru dari gereja Protestan.
Sekolah bukanlah satu-satunya institusi di desa. Misi Katolik mencoba untuk membuat pesta baru dan untuk mendirikan suatu kebijakan yang jelas bagi unsur-unsur upacara adat yang masih dipertahankan. Kebiasaan yang berkaitan dengan penguburan, kehamilan, kelahiran dan perkawinan, dibuat kebijakan yang konsisten dan seragam yang dirumuskan pada awal tahun 1930 yang di dalamnya dibedakan antara kekejian dan tradisi yang diperbolehkan. Di desa perayaan jamuan umum akan dimulai dengan berkat, sepotong roti besar panggang dengan sagu. Perahu-perahu baru juga dapat menerima berkat. Demikian pula, babi diizinkan disembelih untuk pesta penyelesaian sekolah baru, kapel dan gereja. baptisan, natal, paskah, kunjungan Vikar Apostolik dari Langgur, prosesi dengan Sakramen Suci; ini adalah suatu kesempatan ketika “depresi besar” yang diakibatkan oleh perubahan drastis dalam masyarakat, dapat menjadi perampingan dimana hal ini bisa menjadi suatu dorongan positif yang baru bagi kehidupan sehari-hari. Dalam kesempatan ini, misionaris dan guru juga mendorong ukiran kayu tradisional dan hiasan lain yang dipergunakan.
Tanah Merah: Kamp Tahanan dan Misi
Pada awal tahun 1927, setelah serangkaian pemberontakan yang diilhami pemberontakan komunis dan pasti dilabeli seperti itu oleh pemerintah kolonial, kamp tahanan dibuka di Tanah Merah, sekitar 450 km di hulu sungai Digul. Penduduknya sebagian besar tawanan dari Jawa dan Sumatera. Tahun 1930 jumlah mereka berkembang sekitar 2.000. Para tahanan ada di antara warga berpendidikan terbaik dari penjajahan Belanda dan ada kehidupan intelektual hidup di kamp tahanan. Muhammad Hatta yang dari tahun 1945 sampai 1956 adalah wakil presiden Republik Indonesia sering memberi pelajaran ekonomi dan menulis tidak hanya pamflet nasionalistik dan pengenalan terhadap ekonomi, tetapi juga sejarah singkat falsafah Yunani. Di antara beberapa orang Kristen yang di kamp ada Soekardjo Prawirojoedo dari Jawa. Dia adalah seorang petugas yang terlibat dalam pemberontakan di kapal laut De Zeven Provincien. Pemimpin nasionalis Sumatera Chalid Salim, anggota keluarga muslim yang sangat menonjol, menerima Kitab Suci Kristen dari Katolik Jawa ini. Pertama kali dia membaca Perjanjian Lama, dia sangat kecewa:
Tetapi teman saya Soekardjo tidak meyerah. Oleh karena itu dia memaksa saya juga untuk membaca Perjanjian Baru. Sementara membaca dokumen penting ini, saya sangat tersentuh oleh doktrin Kristus, doktrin yang berkonsentrasi pada ibadah kasih Tuhan dan praktek cinta kepada sesama. Ini adalah doktrin yang benar-benar memberi saya kepuasan setelah pencarian rohani yang lama. Bertahun-tahun sebelumnya, saya kagum akan pengorbanan besar yang telah dibuat oleh misionaris Katolik dan Protestan dalam pekerjaan sulit mereka di hutan Papua. Melalui iman mereka, mereka tidak takut di tengah-tengah bahaya kehidupan sehari-hari. Dalam keadaan yang paling sulit, mereka membantu orang-orang Papua yang miskin lagi dan lagi. Pelayanan kepada orang miskin mengembangkan sesama manusia, tanpa kepentingan pribadi, adalah sangat kontras dengan haji yang tinggal di kamp kami. Selama saya tinggal kurang lebih 15 tahun di kamp, saya jarang atau tidak pernah melihat salah satu dari mereka melayani orang lain. Saya harus tekankan bahwa ini adalah pengalaman pribadi saya.
Setelah beberapa waktu, Salim menjalin kontak dengan P. C. Meuwese, seorang pribadi yang sangat berbakat, ramah dan sensitif. C. Meuwese mencurahkan banyak waktu untu berbicara dengan Salim, yang benar-benar membutuhkan penghiburan dalam situasi putus asanya di kamp tahanan tanpa harapan yang hilang. Imam memberikan dia beberapa bantuan. Setelah beberapa kali kunjungan, Salim mulai untuk menghadiri Misa dan terpana oleh suasana mistik dari liturgi dan oleh orang-orang Papua yang bernyanyi musik Latin dengan begitu lancar dan melodius. Euwese tidak pernah memaksa dia untuk berubah. Setelah permintaan pertama Salim untuk menerima pelajaran katekismus, imam enggan dan memperingatkan dia akan konsekuensi yang mungkin terjadi terutama masalah dengan keluarganya. Chalid Salim akhirnya dibaptis pada tanggal 26 Desember 1942. Dalam otobiografinya dia mencatat bahwa keluarganya tidak mengkritik pertobatannya yang begitu kuat. Kemudian dalam hidup di Australia dan Eropa, Salim mengalami beberapa masalahdalam berhubungan dengan orang Kristen yang berkulitputih yang tidak selalu menerima dia sejajar. Ia juga belajar mengenai perbedaan yang menyakitkan antara teori dan praktek doktrin Katolik dan berkata dalam perjalanan agamanya: “berdasarkan hasil pemikiran religius saya, saya harus menyatakan bahwa saya akhirnya tetap manusia, percaya kepada Yahweh dengan cara beragama yang biasa.
Mimika
Pejabat kolonial resmi yang pertama menetap di wilayah Mimika pada tahun 1926 di Kokonao. Setelah dua kunjungan awal pada tahun 1927, imam MSC Jerman Francis Xavier Kowatzki membuka stasi permanen di sana pada tahun berikutnya. Dia membawa enam guru bersama dia dari Merauke, dan kemudian pada tahun 1928 ia pergi ke Langgur untuk menyewa lima lagi.Di sini juga, sekolah adalah dasar nyata untuk memperluas misi. Sampai ekspedisi militer yang besar-besaran pada tahun 1931, ada ketakutan pemburu kepala dari wilayah Mimika timur. Pada tahun 1929 dua orang guru kehilangan semua barang-barang mereka dan hampir tidak selamat dari serangan. Pada bulan Desember 1929, P. H. Tillemans bergabung dengan koleganya dan membuka sebuah stasi agak lebih ke barat di Uta. Meskipun perekonomian menurun dari awal 1930, subsidi untuk wilayah ini tidak berkurang, dan jumlah sekolah dalam misi Mimika meningkat selama tahun 1930 dari 20 menjadi 30 lebih.
Lebih ke barat, misi Katolik berhadapan dengan konflik dari perluasan misi Protestan. Bestuursambtenaarmendengar pada tahun 1931 misi Katolik ingin menempatkan guru di Urama, dekat dengan Kaimana. Dia mengutus bawahannya ke sana, untuk memesan desa bagi gereja Protestan dan menghubungi Ambon untuk mengirim seorang guru secepat mungkin. Dengan cara ini, tahun 1930 dilihat sebagai penciptaan batas-batas religius, yang sering kali melalui sebuah insiden kecil. Namun, setelah tahun 1937, inisiatif Protestan melambat dalam pendidikan tidak hanya di kawasan Merauke-Okaba tetapi juga di Mimika.Pejabat pemerintah berpangkat rendah (bestuursassistent) yang beragama Protestan dari Ambon terus mendorong misi Protestan.
Pada bulan Oktober tahun 1933, perayaan baptis pertama dari 40 orang dewasa dirayakan di bawah kerumunan 5.000 orang, dari seluruh wilayah. Agama baru tidak hanya membawa ritual baru tetapi dihiasi dengan potongan-potongan budaya tradisional seperti motif ukiran kayu yang digunakan pada salib raksasa dan didirikan di depan dua rumah tamu besar yang dibangun untuk acara di Kokonao, disini juga diperkenalkan musik dan tarian yang baru. Musik dan tarian ini diadaptasi dari budaya Kai karena perancang utama ritual adalah guru sekolah yang tertarik untuk memperkenalkan musik dan tarian Kai di wilayah baru mereka. Upacara pembaptisan pada tahun 1933 menunjukkan perubahan yang cepat di wilayah: di Merauke ada keberhasilan nyata pada periode tahun 1905-1920, tetapi setelah periode itu, penerimaan kepada Katolik terjadi tidak hanya di pusat kolonial utama tetapi juga di tempat lain.
Dari pemukiman tepi pantai Mimika (Kokonao dan Uta) eksplorasi lebih lanjut dilakukan. Pada tahun 1931, P. Tillemans pergi ke pegunungan tinggi utara Kokonao. Pada tahun 1935 ia diminta untuk bergabung dengan ekspedisi yang dilakukan oleh Dr. H. Bijlmer. Segera, orang-orang pedalaman setuju untuk berpartisipasi di sekolah-sekolah.Mereka tinggal lama di satu tempat dan itu lebih mudah dibujuk untuk tinggal di desa sehingga mungkin untuk mereka mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah. Pada tahun 1937 diperkenalkan jenis sekolah yang baru dan sederhana beschavingsschool (peradaban sekolah), dengan persyaratan bahwa jumlah murid lebih dan tingkat pengajaran lebih rendah. Jenis sekolah ini lebih memberikan banyak perhatian pada pekerjaan fisik dalam pertanian dan kurang untuk ketrampilan untuk membaca, menulis dan matematika.Beschavingsschool yang baru mengakibatkan peningkatan anggaran secara keseluruhan untuk pendidikan.
Pada tahun 1939, tiga guru pertama ditempatkan di pegununganwilayah danau Paniai (juga disebut danau Wissel setelah insinyur Belanda F. Wissel menemukan danau itu pada tahun 1937). Pada tahun 1940, 10 guru bekerja di wilayah yang sangat menjanjikan ini dengan danau yang luas, tetapi karena perang dunia II dimulai, mereka akhirnya dipanggil ke pesisir. Pada bulan Oktober, tahun 1941, situasi sudah lebih stabil dan izin diberikan kepada mereka yang mau kembali ke pegunungan lepas pantai Mimika. Tetapi pada saat itu gereja Protestan bertindak lebih cepat dari pada gereja Katolik, dan guru mereka tiba lebih awal. Di area lain, persaingan antara Katolik dan Protestan telah dimulai.
Perjuangan untuk Izin Misi dan Kedatangan Misi Fransiskan di Fak-Fak pada Tahun 1925-1942
Bagian barat laut Papua barat, dimana Le Cocq d’Armandville telah
memulai misinya yang pertama pada tahun 1894-1895 telah ditutup untuk
inisiatif Katolik sampai pada tahun 1930. Daerah ini dimana Islam dan
Kristen berlomba karena ada hubungan lama dengan kesultanan Ternate dan
Tidore akan menjadi wilayah mayoritas Protestan.- Empat desa yang lebih besar akan melayani sebagai pusat masyarakat Marind yang baru; selain itu, dua stasi yang lebih tua Merauke dan Okaba, Kumbe dan Wambi akan dimulai sebagai pusat karya misionaris.
- Semua anak harus bersekolah di pagi hari dan kembali ke keluarga mereka (nuklir) pada sore hari.
- Gotade, rumah panjang, dimana orang muda tinggal harus dihapuskan. Selain itu, pemisah rumah panjang antara pria dan wanita akan dihancurkan dan praktek seksual akan dihapuskan.
- Semua anak-anak harus tinggal bersama keluarga nuklir mereka sampai menikah. Di desa-desa yang baru, mereka harus membantu pembangunan sekolah dan rumah, dan bekerja di kebun sayur. Mereka harus kembali ke rumah orangtuanya setiap malam.
- Orang-orang yang telah menerima pakaian untuk dikenakan, pasangan yang baru menikah harus membentuk inti dari desa-desa yang baru, tetapi mereka yang terinfeksi dengan penyakit kelamin harus segera meninggalkan desa-desa baru ini.
- Hukuman berat diusulkan untuk semua orang yang menentang tindakan baru ini, terutama mereka yang mengancam untuk menggunakan sihir.
- Untuk anak-anak yang mampu mengikuti pendidikan yang lebih baik dari pada sekolah biasa tiga tahun di desa, asrama di pusat desa akan dibangun.
- Untuk membiayai program ini, saudara-saudara dan imam akan menerima masing-masing 100 gulden per bulan, semua anak-anak yang di asrama 8 gulden per bulan dalam bentuk subsidi, sementara para guruakan menerima 35 gulden per bulan dari pemerintah pusat. Untuk membangun sekolah-sekolah, peraturan khusus akan dibuat.
Penggabungan rencana misi dan pemerintah telah disetujui oleh keputusan Gubernur Jenderal pada tanggal 27 April 1921. Pentingnya rencana ini untuk misi Papua adalah untuk rencana perluasan Katolik di pulau-pulau Flores-Timor. Hal ini memberi misi suatu harapan dan optimisme yang besar.
Penulis biografi Vertenten menyebut pahlawannya sebagai “juruselamat Marind-anim”. Hal ini mungkin agak dibesar-besarkan. Rencana yang dipertahankan oleh Vertenten di Batavia adalah hasil dari diskusi antara misionaris, adsministrator kolonial, dan pelayanan medis. Dalam laporan yang berikutnya, dokter M. Thierfelder (melayani antara tahun 1922 dan 1926) bersama dengan Cnopius yang dilihat sebagai figur utama dalam mengidentifikasi penyakit kelamin dan menetapkan obat yang sesuai. Rencana misi Katolik dirumuskan dan dipertahankan oleh Vertenten yang dianggap sebagai suatu inisiatif besar untuk membawa perubahan yang radikal dalam masyarakat Marind. Ini adalah variasi yang lebih intensif dari program-progam yang serupa untuk Flores, Timor dan kepulauan Kai walaupun kemudian tidak mempunyai persetujuan yang resmi dan formal. Pada tahun 1939 Jan van Baal, controleur Merauke antara tahun 1936 dan 1938 menulis:
Mau kemana suku Marind? Untuk suku Marind sebagai bangsa hanya ada satu jalan keluar yakni menerima secara lengkap kekristenan, yaitu Katolik Roma. Jalan menuju paganisme ditutup karena kebobrokan dan sifat budaya mereka yang tidak bisa diperbaiki, kedua, karena apa yang terjadi pada mereka setelah tahun 1910.
Ini tidak ditulis oleh seorang misionaris Katolik yang bersemangat dan berprasangka, tetapi oleh seorang pemerintah resmi Protestan yang taat, seorang antropologis terlatih membela kebijakan pemerintah. Pada kenyataannya mungkin tidak di wilayah Indonesia pada abad ke-20 dimana pemerintah mendukung konversi kepada kekristenan sekuat di Papua barat daya.Tidak ada ekslusifitas yang nyata dalam kontrak pada tahun 1921, seperti halnya dalam kontrak pada tahun 1913 mengenai Flores dan Timor, tetapi dengan tidak adanya disebut pihak lain setidaknya ada disarankan bahwa akan ada fasilitas yang eksklusif di wilayah Marind untuk misi Katolik.
Efek samping yang lain dari kebijakan baru ini adalah pengecualian banyak pedagang dari bagian lain Indonesia, dari Timor, Maluku dan Sulawesi selatan (Bugis). Dalam bahasa Belanda mereka biasannya disebut ruilers yakni orang-orang yang bekerja melalui perjanjian barter. Mereka menjual peralatan besi seperti kapak untuk kopra (kelapa kering). Sekitar tahun 1920 Vertenten menghitung 30 pedagang dalam sebuah desa yang dihuni oleh kurang lebih 300 masyarakat Marind. Pedagang itu sendiri berada dalam kemiskinan, tetapi mereka tergantung dan meningkatkan kemiskinan di antara penduduk setempat. Setelah perjanjian pada tahun 1921 mereka tidak lagi diizinkan untuk tinggal di desa-desa Papua yang baru dan difokuskan pada desa-desa yang lebih besar, di wilayah tertentu, dimana mereka diizinkan untuk memanen kopra di sepanjang pantai. Dalam sumber-sumber kami, kami tidak menemukan tanda-tanda penyebaran Islam, atau bahkan kehadiran Muslim di wilayah Merauke sebelum tahun 1945. Sebagaimana dituliskan di atas, bahwa pada tahun 1890 Le Cocq d’Armandville mengalami persaingan religius oleh Muslim di Kapaur dan ia telah mengunjungi pantai selatan (tetapi hanya sampai Mimika) dalam kapal Sekunar milik seorang Arab.Haruskah kita menerima bahwa dalam persaingan antara Islam dan Kristen, wilayah Asmat dan Marind pertama sedikit dihubungi oleh Kristen sebelum kedatangan Muslim? Setelah tindakan tegas dalam menghadapi perburuan kepala mulai pada tahun 1913, wilayah ini menjadi lebih aman, sejumlah pedagang datang untuk mencari kulit indah dan bulu dari burung cendrawasih. Antara tahun 1914 hingga 1926 puluhan petualang melakukan ekspedisi darat, mereka sering disertai dengan pembantu lokal.Karena banyak masalah dengan berburu, maka tindakan ini dilarang pada tahun 1922; beberapa pemburu telah dibunuh, ketika mereka bersikap seolah-olah mereka bebas menguasai wilayah itu dan membunuh banyak orang asli.Beberapa burung yang tersisa akan diselamatkan. Alasan langsung dari larangan ini adalah penyebaran lebih lanjut granoloma kelamin melalui para pemburu.
Vertenten masih mengalami hasil pertama dari karyanya.Pada tahun 1921 pembangunan tiga sekolah dimulai dan dua tahun kemudian lima sekolah dibuka dengan tiga lagi masih proses pembangunan. Pada tahun 1924 dua belas sekolah telah berfungsi, guru-gurunya semua berasal dari Kai. Pada tahun 1933 jumlah sekolah di desa biasa dimana hanya keluarga nuklir hidup (di rumah-rumah kecil yang terpisah) meningkat menjadi 40. Pada tahun 1925 Vertenten dipanggil oleh pemimpin ordo MSC untuk meninggalkan misi ini menjadi pemimpin misi MSC yang baru di koloni Belgia Kongo.
Dari tahun 1921, Katolik di wilayah Marind menyebar dengan cepat. Pada bulan November 1921 dua guru pertama tiba dari Kai: Kasimirus Maturbongs (untuk Merauke) dan Adrianus Dumatubun (untuk Okaba). Pada tanggal 17 April 1922 orang dewasa Papua pertama dibaptis di Merauke. Pada tahun 1923 P. Johanes van der Kooij memulai periode kedua kerja di Papua barat (setelah periode di Kai dari tahun 1915 sampai 1923 karena kekurangan tenaga selama perang dunia I dan kurangnya kesempatan di Papua). Dia membuka Wendu sebagai stasi permanen yang ketiga dan pada tahun 1924 merayakan baptisan pertama, hasil dari pendirian sekolah: 16 anak laki-laki dan 18 anak perempuan. Wambi adalah stasi permanen yang keempat yang dikelola oleh pastor dan akan dibuka padatahun 1923. Ini adalah tanda-tanda kemajuan yang nyata. Meskipun ada beberapa halangan dari pejabat kolonial Merauke, perjanjian keuangan yang difasilitasi ekspansi yang spektakuler diperpanjang setelah tahun 1925.Dukungan yang besar antara orang-orang Eropa untuk bekerja di Papua barat dinyatakan oleh sebuah lotre di Hindia pada tahun 1928 yang meningkat 28.000 gulden untuk misi ini.
Pada tahun 1928, pertama, tiba 3 suster untuk membuka asrama dan sekolah di Merauke. Tiga gadis pertama tinggal di bangunan yang baru. Mereka adalah anak perempuan dari Digul yang telah diambil dalam penggerebekan perburuan kepala oleh suku Marind dan diserahkan kepada misi oleh pemerintah kolonial, yang telah melarang perburuan kepala. Untuk beberapa waktu mereka dididik di Langgur. Dalam waktu enam bulan para suster memiliki 17 gadis di asrama. Jumlah suster tetap tiga sampai serangan Jepang.
Persaingan dengan Misi Protestan di Wilayah Marind pada Tahun 1930
Pada tanggal 15 Mei 1930 misi Katolik Merauke merayakan ulang tahun yang ke 25 dengan cara yang gembira. Lima tahun sebelumnya sudah ditawarkan pandangan yang cerah dan ini menghasilkan panen pertama setelah melewati awal dekade yang sulit. Namun, bulan Mei 1930 dilihat juga sebagai sebuah pergolakan yang disebabkan oleh kedatangan Asisten Menteri A. Hessing dan 8 guru Protestan dari Ambon.Kedatangan ini adalah hasil dari konferensi di Ambon pada tahun 1929, tentang larangan “misi ganda” (yaitu Katolik dan Protestan di satu wilayah). Katolik paling sengit melawan kebijakan pelarangan misi ganda. Mereka merasa cukup senang ketika mereka bisa memulai misi mereka di Fak-Fak pada tahun 1930 dan kemudian juga di wilayah utara Papua barat. Tapi Katolik bukanlah satu-satunya yang mendapat keuntungan dari penghapusan larangan misi ganda. Pada tahun 1930 pendeta Hessing dikirim oleh Gereja Protestan Maluku dan menjadikan Merauke sebagai pusat utama, melayani jemaat kecil Protestan dari ibukota sampai dia dipecat pada tahun 1937 karena korupsi uang.Protestan hanya berhasil menempati desa-desa pedalaman, banyak dari antara mereka tinggal di hulu sungai Bulaka dan Bian. Pejabat kolonial Van Baal, dirinya pada waktu itu masih Protestan ortodoks menemukan retrospeksi yang tidak begitu buruk bagi masyarakat Marind dimana sistem keagamaan berlomba untuk menawarkan alternatif dari pandangan agama mereka sendiri. Pertama, mereka sudah mempunyai sistem agama yang kompleks yang sudah menyatu dengan mereka, dengan berbagi mitos dan ritual. Kedua, banyak dari mereka menyesuaikan diri dengan agama baru, tetapi mereka melanjutkan ritual lama mereka dengan diam-diam dalam bentuk yang ringkas.Untuk misi Katolik, bagaimanapun, “mencuri domba” akan menyebabkan banyak masalah.Hal ini menjadi rumit karena di beberapa tempat ada bestuurs-assistent dari Protestan Ambon, pejabat resmi yang paling rendah dalam birokrasi kolonial.Beberapa insiden kecil antara misionaris dan Asisten Bestuurs Lebelauw (Protestan Ambon) di Okaba secara khusus menyebabkan masalah di awal tahun 1930. Hal ini tidak hanya mencuri domba tetapi “membeli domba” dimana guru Kai Filippus Ulukyanan berhasil membujuk anak-anak ke sekolahnya melalui pemberian makanan ke desa Sangase dan memberikan pakaian yang lebih baik kepada mereka.
Misi Protestan dapat beruntung dari ikatan erat antara pemerintah dan misi Katolik, dimana Katolik benci dengan beberapa langkah-langkah yang diperintahkan oleh pihak berkuasa. Di beberapa daerah, guru-guru Protestan memungkinkan masyarakat untuk meninggalkan desa-desa baru dan kembali ke pemukiman seminomade dan rumah panjang mereka. Untuk alasan strategis, guru-guru Protestan juga lebih lunak dari pada Katolik, karena dalam membaptis mereka menyediakan catatan resmi untuk menulis dokumen dan surat keanggotaan agama baru mereka.Protestan mengaku bahwa mereka lebih dekat ke agama resmi kolonial karena ratu Belanda juga Protestan. Pada gilirannya misi Katolik menuduh Protestan memungkinkan hubungan poligami.
Dalam beberapa kasus, perlombaan antara Katolik dan Protestan menyebabkan persaingan yang panas. Pada awal tahun 1930, guru Katolik Eduardus Ulukyanan dikirim ke desa Kwel, jauh di pedalaman Merauke sepanjang sungai Maro. Padaa hari ia berangkat, Ulukyanan memperhatikan bahwa guru Protestan untuk desa yang sama memulai perjalanan dalam perahu yang sama. Kapal diberhentikan selama dua hari di desa Po. Ulukyanan menggunakan kesempatan ini untuk berjalan secepat dia bisa menuju Kwel, dimana ia tiba cukup lama sebelum koleganya Protestan, membuka surat-surat misi Protestan, menyalin nama penduduk, mengumpulkan orang, memberikan hadiah yang bagus dan mendorong masyarakat untuk membangun sekolah dan rumah untuk guru Katolik. Pemerintah resmi terdekat yakni, bestuursambtenaar Protestan Muting mencoba untuk mencegah tindakannya dan bahkan mengutuk dirinya untuk enam tahun penjara. Eduardus naik banding terhadap Asisten-Residen Merauke dan memenangkan kasusnya. Dalam dua tahun seluruh desa Kwel sudah menerima kekatolikan.
Para Guru di Sekolah
Kedatangan kolonialisme telah membawa banyak perubahan kepada masyarakat Papua. Pertama kali datang pedagang dari daerah yang lebih jauh, Cina dan Indonesia Timor dan bahkan lebih jauh. Setelah mereka, datang administrator kolonial dengan tentara dan tahanan untuk membangun pemukiman kolonial pertama. Mereka melarang perayaan upacara besar, melarang perburuan kepala, menutup rumah panjang dan gotade dan mmbangun rumah panjang khusus untuk sarjana. Keluarga nuklir didorong untuk tinggal di rumah kecil, dibangun setelah gaya Maluku. Mereka diperintahkan untuk hidup bersama-sama di desa-desa sekitar sekolah, sejauh mungkin jauh dari pohon sagu mereka. Para tahanan baik pribumi maupun dari luar daerah diperintahkan untuk bekerja di jalan dan jembatan sebagai buruh paksa. Antropolog berpengalaman dan pejabat pemerintah Merauke, mengamati bahwa ada depresi antara masyarakat di akhir tahun 1930 dan ia mengira bahwa ini terjadi karena mereka telah kehilangan rasa arti hidup.Salah satu elemen paling mencolok yang diperkenalkan dalam proses transformasi ini adalah sekolah. Disini anak-anak dibentuk untuk masyarakat yang baru pada masa yang akan datang.
Pelajaran sepenuhnya diberikan dalam bahasa Melayu dan oleh karena itu, dua tahun pertama ditujukan untuk mengajar murid-murid mengenai bahasa yang baru yang kemudian menjadi bahasa nasional Indonesia. Sekolah ini juga dikaitkan dengan pengenaan pakaian, simbol utama dari masyarakat baru.
Anak-anak sekolah mengumpulkan kelapa yang diolah menjadi kopra untuk dijual. Dari keuntungan bisnis ini anak-anak sekolah menerima pakaian mereka. Ini adalah aturan umum bahwa pada hari Minggu para guru memakai pakaian yang rapi. Hal inimembuat sekolah menjadi faktor penentu dalam kehidupan anak-anak. Pada umumnya anak-anak hadir ke sekolah dengan disiplin yang baik. Di daerah pesisir yang lebih sadar diri, ketidakhadiran agak lebih tinggi dibandingkan dengan desa-desa pedalaman. Meskipun sekolah masih lembaga di luar budaya tradisional, anak-anak melakukannya dengan sungguh, dan mereka melekat dengan guru mereka. Pasti, program sekolah yang terlalu menuntut intelektual tidak cocok untuk masyarakat ini. Kurikulum mencakup aritmatika, membaca, menulis, menyanyi, bermain seruling dan agama. Adalah sangat disayangkan bahwa pelajaran dalam bahasa Melayu hilang pada dua tahun pertama. Setiap kelas harus mengulang dan memakan waktu setidaknya dua tahun dan hanya sebuah kelompok kecil yang terpilih memiliki nilai yang lebih tinggi. Aritmatika adalah masalah terbesar. Pelajaran bernyanyi dan memainkan flute menuai sukses besar.
Kebanyakan para guru berasal dari Kai dan beberapa dari Tanimbar, dimana mereka tidak hanya instruktur untuk sekolah dasar pertama di wilayah mereka. Mereka memiliki obat-obatan dasar untuk semua penduduk dan kadang-kadang melayani sebagai pekerja kesehatan. Mereka memperkenalkan metode baru pertanian, membuka tanah bersama dengan murid untuk menanam sayur, buah-buahan dan kadang-kadang padi. Posisi para guru mirip dengan posisi kepala desa. Mereka harus mencegah pertengkaran dan berjuang tanpa senjata apapun. Mereka tergantung pada kefasihan mereka, dan mengingatkan masyarakat bahwa pada suatu waktu (setidaknya beberapa minggu atau bulan kemudian) polisi akan datang untuk memulihkan ketertiban. Para guru juga sering melayani sebagai perantara antara pejabat kolonial dengan orang-orang yang dari desa untuk peningkatan kesejahteraan umum. Guru juga menjabat sebagai pemimpin komunitas religius. Secara otomatis, rumah para guru menjadi pusat dari desa yang baru. Dalam tahun pertama, para murid sering tinggal tidak dengan orang tua mereka, tetapi dengan guru. Perlu diingat bahwa pada tahun awal ini usia para murid bervariasi: mulai dari enam sampai enam belas tahun. Ini adalah keyakinan kuat para misionaris bahwa para guru adalah kekuatan pendorong di belakang penyebaran agama Katolik. Di desa-desa baru, guru meskipun orang luar, lebih dihormati dan memiliki pengaruh yang lebih dari pada kepala desa. Nora atau istri guru kadang-kadang memiliki pengaruh yang besar pada wanita dari desa. Guru-guru yang tinggal di daerah yang cukup terisolasi, banyak dari mereka di stasi pedalaman,dimana pejabat kolonial dan imamhanya bisa mengunjungi mereka setiap dua atau tiga bulan. Pejabat kolonial menggunakan mereka sebagai mediator dalam banyak urusan hukum dan ketertiban, perawatan kesehatan, kebersihan, makanan dan promosi pertanian. Imam dinominasikan sebagai inspektur sekolah dan memberikan perhatian khusus untuk pelajaran agama, memeriksa seberapa baik murid tahu doa dan katekismus, kemajuan tampak setelah dibuat kesempatan untuk menyanyikan himne gereja dan memainkan flute, dan kadang-kadang mereka diberi baptisan. Dalam kasus darurat atau sedang sakit, anak dibaptis oleh guru. Tidak seperti imam yang menghabiskan sebagian besar waktu mereka berkeliling untuk memeriksa stasi, guru kadang-kadang tinggal di satu tempat selama bertahun-tahun. Mereka menjadi kekuatan stabil di belakang kekristenan. Karena posisi guru sebagai perantara, pejabat kolonial kadang-kadang melihat mereka bertengkar. Akan tetapi dalam hal ini mereka masih dipertahankan oleh para imam. Imam suka menyalahkan pedagang yang telah memperkenalkan penyakit dan kejahatan, sementara guru dianggap sebagai agen nyata dari perubahan yang lebih baik.
Sebagian besar guru datang dari Kai. Mereka dianggap sangat handal dan serius, bahkan agak melankolis. Orang-orang Tanimbar mempunyai reputasi lebih ringan hati dan menyenangkan. Tidak semua guru berasal dari Kai dan Tanimbar. Augustinus Tuyu datang dari Minahasa. Ia lahir sebagai Protestan tetapi menjadi Katolik pada usia muda. Tempat pertamanya adalah Kaiburse di pesisir, bagian utara dari Wendu. Kemudian ia bertugas di tempat pedalaman, sepanjang sungai Maro. Pada tahun 1933 ia memimpin sekolah di Erambu, sepanjang sungai Maro dan membela kepentingan Katolik terhadap upaya yang dilakukan oleh guru Protestan untuk menarik anak-anak ke sekolah. Ia adalah anggota keluarga Manado yang saleh, karena dua anggota lain dari keluarga Tuyu bekerja di wilayah Merauke sebagai saudara MSC.
Karena persaingan dengan misi Protestan, jumlah sekolah yang didirikan oleh Katolik meningkat secara cepat pada tahun 1930. Ketika subsidi dari pemerintah datang untuk pembaharuan pada tahun 1931, hanya ada subsidi bagi sekolah yang didirikan sementara untuk menaikkan jumlah sekolah tidak diperbolehkan. Hal ini memperlihatkan bahwa jumlah semua sekolah Katolik pada tahun 1936 ada 175 tetapi hanya 35 yang menerima subsidi. Selain itu, jumlah stasi permanen meningkat setelah inisiatif dari Protestan. Pada tahun 1930 Muting didirikan sebagai pos misi formal dan pada tahun 1932 Wamal; pada tahun 1933 stasi Bupul dipilih untuk dilayani oleh P. Verchueren, sementara pada tahun 1936 Kimaam di Kolopom menerima staf permanen. Setelah masalah dengan Hessing pada tahun 1937, kegiatan misi Protestan menjadi tenang. Kegiatan resmi gereja Maluku dihentikan sama sekali, tetapi organisasi misionaris di Ambon bebas mengirim beberapa guru dari gereja Protestan.
Sekolah bukanlah satu-satunya institusi di desa. Misi Katolik mencoba untuk membuat pesta baru dan untuk mendirikan suatu kebijakan yang jelas bagi unsur-unsur upacara adat yang masih dipertahankan. Kebiasaan yang berkaitan dengan penguburan, kehamilan, kelahiran dan perkawinan, dibuat kebijakan yang konsisten dan seragam yang dirumuskan pada awal tahun 1930 yang di dalamnya dibedakan antara kekejian dan tradisi yang diperbolehkan. Di desa perayaan jamuan umum akan dimulai dengan berkat, sepotong roti besar panggang dengan sagu. Perahu-perahu baru juga dapat menerima berkat. Demikian pula, babi diizinkan disembelih untuk pesta penyelesaian sekolah baru, kapel dan gereja. baptisan, natal, paskah, kunjungan Vikar Apostolik dari Langgur, prosesi dengan Sakramen Suci; ini adalah suatu kesempatan ketika “depresi besar” yang diakibatkan oleh perubahan drastis dalam masyarakat, dapat menjadi perampingan dimana hal ini bisa menjadi suatu dorongan positif yang baru bagi kehidupan sehari-hari. Dalam kesempatan ini, misionaris dan guru juga mendorong ukiran kayu tradisional dan hiasan lain yang dipergunakan.
Tanah Merah: Kamp Tahanan dan Misi
Pada awal tahun 1927, setelah serangkaian pemberontakan yang diilhami pemberontakan komunis dan pasti dilabeli seperti itu oleh pemerintah kolonial, kamp tahanan dibuka di Tanah Merah, sekitar 450 km di hulu sungai Digul. Penduduknya sebagian besar tawanan dari Jawa dan Sumatera. Tahun 1930 jumlah mereka berkembang sekitar 2.000. Para tahanan ada di antara warga berpendidikan terbaik dari penjajahan Belanda dan ada kehidupan intelektual hidup di kamp tahanan. Muhammad Hatta yang dari tahun 1945 sampai 1956 adalah wakil presiden Republik Indonesia sering memberi pelajaran ekonomi dan menulis tidak hanya pamflet nasionalistik dan pengenalan terhadap ekonomi, tetapi juga sejarah singkat falsafah Yunani. Di antara beberapa orang Kristen yang di kamp ada Soekardjo Prawirojoedo dari Jawa. Dia adalah seorang petugas yang terlibat dalam pemberontakan di kapal laut De Zeven Provincien. Pemimpin nasionalis Sumatera Chalid Salim, anggota keluarga muslim yang sangat menonjol, menerima Kitab Suci Kristen dari Katolik Jawa ini. Pertama kali dia membaca Perjanjian Lama, dia sangat kecewa:
Tetapi teman saya Soekardjo tidak meyerah. Oleh karena itu dia memaksa saya juga untuk membaca Perjanjian Baru. Sementara membaca dokumen penting ini, saya sangat tersentuh oleh doktrin Kristus, doktrin yang berkonsentrasi pada ibadah kasih Tuhan dan praktek cinta kepada sesama. Ini adalah doktrin yang benar-benar memberi saya kepuasan setelah pencarian rohani yang lama. Bertahun-tahun sebelumnya, saya kagum akan pengorbanan besar yang telah dibuat oleh misionaris Katolik dan Protestan dalam pekerjaan sulit mereka di hutan Papua. Melalui iman mereka, mereka tidak takut di tengah-tengah bahaya kehidupan sehari-hari. Dalam keadaan yang paling sulit, mereka membantu orang-orang Papua yang miskin lagi dan lagi. Pelayanan kepada orang miskin mengembangkan sesama manusia, tanpa kepentingan pribadi, adalah sangat kontras dengan haji yang tinggal di kamp kami. Selama saya tinggal kurang lebih 15 tahun di kamp, saya jarang atau tidak pernah melihat salah satu dari mereka melayani orang lain. Saya harus tekankan bahwa ini adalah pengalaman pribadi saya.
Setelah beberapa waktu, Salim menjalin kontak dengan P. C. Meuwese, seorang pribadi yang sangat berbakat, ramah dan sensitif. C. Meuwese mencurahkan banyak waktu untu berbicara dengan Salim, yang benar-benar membutuhkan penghiburan dalam situasi putus asanya di kamp tahanan tanpa harapan yang hilang. Imam memberikan dia beberapa bantuan. Setelah beberapa kali kunjungan, Salim mulai untuk menghadiri Misa dan terpana oleh suasana mistik dari liturgi dan oleh orang-orang Papua yang bernyanyi musik Latin dengan begitu lancar dan melodius. Euwese tidak pernah memaksa dia untuk berubah. Setelah permintaan pertama Salim untuk menerima pelajaran katekismus, imam enggan dan memperingatkan dia akan konsekuensi yang mungkin terjadi terutama masalah dengan keluarganya. Chalid Salim akhirnya dibaptis pada tanggal 26 Desember 1942. Dalam otobiografinya dia mencatat bahwa keluarganya tidak mengkritik pertobatannya yang begitu kuat. Kemudian dalam hidup di Australia dan Eropa, Salim mengalami beberapa masalahdalam berhubungan dengan orang Kristen yang berkulitputih yang tidak selalu menerima dia sejajar. Ia juga belajar mengenai perbedaan yang menyakitkan antara teori dan praktek doktrin Katolik dan berkata dalam perjalanan agamanya: “berdasarkan hasil pemikiran religius saya, saya harus menyatakan bahwa saya akhirnya tetap manusia, percaya kepada Yahweh dengan cara beragama yang biasa.
Mimika
Pejabat kolonial resmi yang pertama menetap di wilayah Mimika pada tahun 1926 di Kokonao. Setelah dua kunjungan awal pada tahun 1927, imam MSC Jerman Francis Xavier Kowatzki membuka stasi permanen di sana pada tahun berikutnya. Dia membawa enam guru bersama dia dari Merauke, dan kemudian pada tahun 1928 ia pergi ke Langgur untuk menyewa lima lagi.Di sini juga, sekolah adalah dasar nyata untuk memperluas misi. Sampai ekspedisi militer yang besar-besaran pada tahun 1931, ada ketakutan pemburu kepala dari wilayah Mimika timur. Pada tahun 1929 dua orang guru kehilangan semua barang-barang mereka dan hampir tidak selamat dari serangan. Pada bulan Desember 1929, P. H. Tillemans bergabung dengan koleganya dan membuka sebuah stasi agak lebih ke barat di Uta. Meskipun perekonomian menurun dari awal 1930, subsidi untuk wilayah ini tidak berkurang, dan jumlah sekolah dalam misi Mimika meningkat selama tahun 1930 dari 20 menjadi 30 lebih.
Lebih ke barat, misi Katolik berhadapan dengan konflik dari perluasan misi Protestan. Bestuursambtenaarmendengar pada tahun 1931 misi Katolik ingin menempatkan guru di Urama, dekat dengan Kaimana. Dia mengutus bawahannya ke sana, untuk memesan desa bagi gereja Protestan dan menghubungi Ambon untuk mengirim seorang guru secepat mungkin. Dengan cara ini, tahun 1930 dilihat sebagai penciptaan batas-batas religius, yang sering kali melalui sebuah insiden kecil. Namun, setelah tahun 1937, inisiatif Protestan melambat dalam pendidikan tidak hanya di kawasan Merauke-Okaba tetapi juga di Mimika.Pejabat pemerintah berpangkat rendah (bestuursassistent) yang beragama Protestan dari Ambon terus mendorong misi Protestan.
Pada bulan Oktober tahun 1933, perayaan baptis pertama dari 40 orang dewasa dirayakan di bawah kerumunan 5.000 orang, dari seluruh wilayah. Agama baru tidak hanya membawa ritual baru tetapi dihiasi dengan potongan-potongan budaya tradisional seperti motif ukiran kayu yang digunakan pada salib raksasa dan didirikan di depan dua rumah tamu besar yang dibangun untuk acara di Kokonao, disini juga diperkenalkan musik dan tarian yang baru. Musik dan tarian ini diadaptasi dari budaya Kai karena perancang utama ritual adalah guru sekolah yang tertarik untuk memperkenalkan musik dan tarian Kai di wilayah baru mereka. Upacara pembaptisan pada tahun 1933 menunjukkan perubahan yang cepat di wilayah: di Merauke ada keberhasilan nyata pada periode tahun 1905-1920, tetapi setelah periode itu, penerimaan kepada Katolik terjadi tidak hanya di pusat kolonial utama tetapi juga di tempat lain.
Dari pemukiman tepi pantai Mimika (Kokonao dan Uta) eksplorasi lebih lanjut dilakukan. Pada tahun 1931, P. Tillemans pergi ke pegunungan tinggi utara Kokonao. Pada tahun 1935 ia diminta untuk bergabung dengan ekspedisi yang dilakukan oleh Dr. H. Bijlmer. Segera, orang-orang pedalaman setuju untuk berpartisipasi di sekolah-sekolah.Mereka tinggal lama di satu tempat dan itu lebih mudah dibujuk untuk tinggal di desa sehingga mungkin untuk mereka mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah. Pada tahun 1937 diperkenalkan jenis sekolah yang baru dan sederhana beschavingsschool (peradaban sekolah), dengan persyaratan bahwa jumlah murid lebih dan tingkat pengajaran lebih rendah. Jenis sekolah ini lebih memberikan banyak perhatian pada pekerjaan fisik dalam pertanian dan kurang untuk ketrampilan untuk membaca, menulis dan matematika.Beschavingsschool yang baru mengakibatkan peningkatan anggaran secara keseluruhan untuk pendidikan.
Pada tahun 1939, tiga guru pertama ditempatkan di pegununganwilayah danau Paniai (juga disebut danau Wissel setelah insinyur Belanda F. Wissel menemukan danau itu pada tahun 1937). Pada tahun 1940, 10 guru bekerja di wilayah yang sangat menjanjikan ini dengan danau yang luas, tetapi karena perang dunia II dimulai, mereka akhirnya dipanggil ke pesisir. Pada bulan Oktober, tahun 1941, situasi sudah lebih stabil dan izin diberikan kepada mereka yang mau kembali ke pegunungan lepas pantai Mimika. Tetapi pada saat itu gereja Protestan bertindak lebih cepat dari pada gereja Katolik, dan guru mereka tiba lebih awal. Di area lain, persaingan antara Katolik dan Protestan telah dimulai.
Perjuangan untuk Izin Misi dan Kedatangan Misi Fransiskan di Fak-Fak pada Tahun 1925-1942
Semenanjung Kepala Burung (provinsi Kepala Burung) telah menjadi titik awal misi Protestan dengan Manokwari sebagai pusat.Pada tahun 1905 sudah ada 23 misionaris di bawah tanggung jawab Utrechtsche Zendingsvereeniging yang ortodoks, yang tidak suka baptisan cepat atau memudahkan akomodasi untuk budaya lokal.Hasil mereka statis, karena itu tidak begitu mengesankan, tetapi mereka telah memulai sebuah misi yang solid di daerah. Setelah peraturan divisi pada tahun 1912 antara Maluku dan Papua, bagian utara Protestan dan ruang untuk misi Katolik adalah wilayah selatan, Katolik fokus pada Pantai Selatan. Dalam hal ini mereka didukung oleh administrasi pemerintahan.
Selama awal kunjungan pada tahun 1904, prefek Neyens bertemu dengan tiga puluh orang di Fak-Fak yang mengklaim diri bahwa mereka adalah Katolik dan telah dibaptis oleh Le Cocq d' Armandville.Pada pertengahan tahun 1910 usaha-usaha baru dibuat untuk membuka sebuah stasi Katolik di Fak-Fak. Dalam hal ini, tidak begitu banyak persaingan dengan misi Protestan (terkonsentrasi di Manokwari), tetapi kegiatan umat Islam berkembang di wilayah itu.Neyens mengirim permintaan formal untuk membuka misi di Fak-Fak. Suratnya menerima balasan hampir dua tahun kemudian. Pada tanggal 12 Januari 1912 Gubernur Idenburg menjawab bahwa ia akan tetap berpegang pada peraturan divisi yang telah diikuti sejak tahun 1902, meskipun faktanya bahwa misi Protestan belum merasa mampu membuka stasi di Fak-Fak. Salah satu pertimbangannya adalah kurangnya hukum dan keteraturan, dan bahkan keamanan di wilayah itu. Pada tahun 1919, permintaan lain untuk memasuki wilayah Fak-Fak ditolak lagi oleh pemerintah pusat di Batavia.
Seperti halnya dengan invasi Protestan di wilayah Merauke di tahun 1930, ada juga pendekatan ceroboh mengenai agama dari sisi Katolik. Beberapa Katolik menetap di wilayah Fak-Fak, paling sering sebagai pejabat pemerintah peringkat rendah, petugas polisi dan tentara. Mereka sangat sedikit, tetapi mereka adalah dasar untuk izin (dan imbalan keuangan yang murah hati) untuk kunjungan pastoral ke wilayah ini, sebagian besar dilakukan oleh Mathieu Neyens setelah ia turun sebagai prefek apostolik pada tahun 1915.
Selama awal abad kedua puluh beberapa anak laki-laki dari Fak-Fak pergi ke Langgur atas inisiatif mereka sendiri, untuk menghadiri sekolah Katolik. Pada bulan Desember 1924 seorang pria yang bernama Suni, dari desa Sakertemin, datang ke Langgur untuk meyakinkan para misionaris dimana desanya ingin menjadi Katolik. Karena itu ia meminta adanya seorang misionaris. Imam MSCP. Cappers, yang mengunjungi Fak-Fak pada pastoral rutin pada awal tahun 1925, didekati oleh ketua Sakertemin dan tiga desa lainnya, yang meminta bahwa sekolah dibuka di desa-desa mereka.Gubernur Ambon dalam kasus ini memutuskan bahwa sekolah Katolik tidak harus dibuka di daerah yang sudah dikenal sebagai kawasan Protestan. Di desa-desa, penduduk setempat sudah mulai membangun sekolah. Bangunan di Sakertemin kemudian dihancurkan oleh pejabat pemerintahan kolonial.Dengan menggunakan teknologi yang ada pada masa itu, P. Cappers mengirim pesan telegram kepada Gubernur Ambon, dimana ia menerima jawaban dalam tiga jam: izin membangun sekolah-sekolah Katolik telah ditolak karena Papua Nugini bagian barat telah ditugaskan kepadaUtrechtsche Zendingsvereeniging. Pada pertengahan tahun 1925 Cappers mengirimpermintaan kepada Gubernur Jenderal, tapi sekali lagi ia menerima balasan yang untuk sementara waktu garis pemisah yang telah dibuat pada tahun 1912 akan dipertahankan.
Setelah diskusi panjang, termasuk perdebatan di parlemen Belanda, Gubernur Jenderal menyatakan secara formal, dalam sebuah surat tertanggal 28 November 1927, pasal 177 (sebelumnya pada tahun 1925 dikenal sebagai artikel 123) Konstitusi Hindia tidak boleh digunakan untuk pencegahan misi ganda.Hal ini mengakibatkan pertemuan di Ambon pada tanggal 12 Juli 1928 antara perwakilan misi Protestan dan misi Katolik, akan menemui Gubernur Jenderal Ambon, L.H.W. van Sandick. Pertemuan ini sebenarnya adalah ujung garis pemisah di antara dua misi, meskipun dalam tahun berikutnya banyak pertengkaran tentang pemberian izin.Pada akhir tahun 1928 P. Cappers mendapat izin untuk memulai misi Katolik di wilayah barat Papua Nugini, dengan pengecualian pulau burung. Pada bulan Agustus 1929 empat guru dari Kai tiba di empat desa di wilayah Fak-Fak untuk memulai sekolah Katolik di daerah yang sudah tujuh sekolah Protestan. Ukuran desa yang kecil(kurang lebih memiliki 100 penduduk) membuat mahal untuk melanjutkan persaingan ini.
Contoh mencolok yang menyakitkan persaingan antara Katolik dan Protestan adalah desa Manebui, berada pada garis pemisah antara Fak-Fak dan pulau burung Peninsula. Seorang delegasi dari desa itu berulang kali telah meminta sebuah sekolah Katolik. Tapi guru yang tiba pada bulan Mei 1931 ditangkap pada bulan Oktober 1931 oleh polisi atas permintaan GPM, Gereja Protestan Maluku, jemaat Protestan Maluku, yang telah mengambil alih tanggung jawab untuk wilayah ini dari Utrechtse Zendingsvereeniging pada tahun 1927.
Pada tahun 1935 hal ini telah diterima secara luas bahwa banyak yang memperdebatkan artikel 177 yang telah diformulasikan hanya untuk mencegah kerusuhan yang disebabkan oleh agama propaganda dan bukan untuk mencegah misi ganda.Residen Ambon yang baru, Dr. Bauke Haga, menggunakan pemahaman ini untuk prosedur baru “sebuah persetujuan umum”.Ia mencapai kesepakatan dengan uskup Aerts dari Langgur yang tidak akan mengirim misionaris baru tanpa perjanjian lisan antara uskup dan Residententang rencana baru untuk misi. Salah satu langkah pertama yang konkret diambil dengan menggunakan prosedur ini bahwa sekolah Katolik di desa Manebui, dibuka pada bulan Februari 1937.
Untuk mengintensifkan kegiatan-kegiatan Katolik di wilayah yang menjanjikan ini, di mana banyak desa masih belum dilayani oleh misi Protestan, ordo religius yang baru diundang, saudara Fransiscan. Saudara Fransiscan memulai bekerja di Indonesia pada tahun 1929 dengan membuka sebuah paroki di Jakarta (Kramat Raya, juga mengambil alih menjalankan panti asuhan Vincentius) dan memperluas karya di Jawa Barat, kemudian fokus pada Keuskupan Bogor. Mereka mulai bekerja di Papua barat pada permulaan tahun 1937, tiba dengan lima imam dan satu bruder. Pada saat itu, misi Papua masih merupakan bagian dari Vikariat Apostolik Maluku (dengan Vikar Apostolik berada di Langgur, Kepulauan Kai).Berbeda dengan prosedur sebelumnya, saudara Fransiscan harus bekerja di sini di bawah kepemimpinan MSC, uskup Aerts dari Langgur. Dalam beberapa bulan pertama, mereka memulai empat stasi permanen yang baru, Fak-Fak, Babo, Ternate dan Manokwari.
Statistik pada Tahun 1941
Stasi Katolik Baptis Sekolah
Distrik selatan:
Merauke,
Wendu,
Okaba,
Wamal,
Muting
6.324 793 66
Tanah Merah 1.375 506 23
Mimika 4.994 348 31
Fak-Fak 1.341 182 11
Total 14.034 1.829 131
- Pada tahun 1941 jumlah penduduk Papua selatan (distrik Merauke) adalah sekitar 15.000. Dari jumlah ini, 6.324 telah diterima sebagai Katolik, baik melalui baptisan atau dengan menerima pelajaran Katekismus dan dapat diinterpretasikan sebagai sekitar 40% diubah menjadi Katolik dan dipandang sebagai hal yang lebih baik karena yang dikonversi itu termasuk orang-orang muda. Pada tahun 1950 statistik sangat optimis mengklaim 95% dari penduduk menjadi Katolik. Pada akhir tahun 1960 Muskens melaporkan bahwa ada sekitar 50% Katolik di Keuskupan Agung Merauke (75.742 dari total 150.000). Peningkatan tajam jumlah Muslim (sekitar sepertiga tahun 2000) terjadi kebanyakan setelah tahun 1963.
- Sangat sedikit sekolah dengan lebih dari satu guru. Untuk 131 sekolah dasar pada tahun 1939, jumlah guru adalah 140. Dalam Statistik (seperti dalam situasi misionaris yang sebenarnya) tidak ada perbedaan antara guru dan katekis. Di paroki Merauke, sekolah dasar (volksscholen), ada 27 disubsidi oleh pemerintah, dan 38 sekolah tanpa subsididi yang didaftar pada tahun 1940, dikategorikan sebagai peradaban sekolah (beschavingsscholen). Jumlah ini mungkin berlaku untuk seluruh kawasan Merauke. Jumlah sekolah SD meningkat dari 131 menjadi 196. Di Merauke ada juga satu sekolah kejuruan untuk pertukangan dan menjahit di bawah pengawasan salah satu saudara MSC.
Selama awal kunjungan pada tahun 1904, prefek Neyens bertemu dengan tiga puluh orang di Fak-Fak yang mengklaim diri bahwa mereka adalah Katolik dan telah dibaptis oleh Le Cocq d' Armandville.Pada pertengahan tahun 1910 usaha-usaha baru dibuat untuk membuka sebuah stasi Katolik di Fak-Fak. Dalam hal ini, tidak begitu banyak persaingan dengan misi Protestan (terkonsentrasi di Manokwari), tetapi kegiatan umat Islam berkembang di wilayah itu.Neyens mengirim permintaan formal untuk membuka misi di Fak-Fak. Suratnya menerima balasan hampir dua tahun kemudian. Pada tanggal 12 Januari 1912 Gubernur Idenburg menjawab bahwa ia akan tetap berpegang pada peraturan divisi yang telah diikuti sejak tahun 1902, meskipun faktanya bahwa misi Protestan belum merasa mampu membuka stasi di Fak-Fak. Salah satu pertimbangannya adalah kurangnya hukum dan keteraturan, dan bahkan keamanan di wilayah itu. Pada tahun 1919, permintaan lain untuk memasuki wilayah Fak-Fak ditolak lagi oleh pemerintah pusat di Batavia.
Seperti halnya dengan invasi Protestan di wilayah Merauke di tahun 1930, ada juga pendekatan ceroboh mengenai agama dari sisi Katolik. Beberapa Katolik menetap di wilayah Fak-Fak, paling sering sebagai pejabat pemerintah peringkat rendah, petugas polisi dan tentara. Mereka sangat sedikit, tetapi mereka adalah dasar untuk izin (dan imbalan keuangan yang murah hati) untuk kunjungan pastoral ke wilayah ini, sebagian besar dilakukan oleh Mathieu Neyens setelah ia turun sebagai prefek apostolik pada tahun 1915.
Selama awal abad kedua puluh beberapa anak laki-laki dari Fak-Fak pergi ke Langgur atas inisiatif mereka sendiri, untuk menghadiri sekolah Katolik. Pada bulan Desember 1924 seorang pria yang bernama Suni, dari desa Sakertemin, datang ke Langgur untuk meyakinkan para misionaris dimana desanya ingin menjadi Katolik. Karena itu ia meminta adanya seorang misionaris. Imam MSCP. Cappers, yang mengunjungi Fak-Fak pada pastoral rutin pada awal tahun 1925, didekati oleh ketua Sakertemin dan tiga desa lainnya, yang meminta bahwa sekolah dibuka di desa-desa mereka.Gubernur Ambon dalam kasus ini memutuskan bahwa sekolah Katolik tidak harus dibuka di daerah yang sudah dikenal sebagai kawasan Protestan. Di desa-desa, penduduk setempat sudah mulai membangun sekolah. Bangunan di Sakertemin kemudian dihancurkan oleh pejabat pemerintahan kolonial.Dengan menggunakan teknologi yang ada pada masa itu, P. Cappers mengirim pesan telegram kepada Gubernur Ambon, dimana ia menerima jawaban dalam tiga jam: izin membangun sekolah-sekolah Katolik telah ditolak karena Papua Nugini bagian barat telah ditugaskan kepadaUtrechtsche Zendingsvereeniging. Pada pertengahan tahun 1925 Cappers mengirimpermintaan kepada Gubernur Jenderal, tapi sekali lagi ia menerima balasan yang untuk sementara waktu garis pemisah yang telah dibuat pada tahun 1912 akan dipertahankan.
Setelah diskusi panjang, termasuk perdebatan di parlemen Belanda, Gubernur Jenderal menyatakan secara formal, dalam sebuah surat tertanggal 28 November 1927, pasal 177 (sebelumnya pada tahun 1925 dikenal sebagai artikel 123) Konstitusi Hindia tidak boleh digunakan untuk pencegahan misi ganda.Hal ini mengakibatkan pertemuan di Ambon pada tanggal 12 Juli 1928 antara perwakilan misi Protestan dan misi Katolik, akan menemui Gubernur Jenderal Ambon, L.H.W. van Sandick. Pertemuan ini sebenarnya adalah ujung garis pemisah di antara dua misi, meskipun dalam tahun berikutnya banyak pertengkaran tentang pemberian izin.Pada akhir tahun 1928 P. Cappers mendapat izin untuk memulai misi Katolik di wilayah barat Papua Nugini, dengan pengecualian pulau burung. Pada bulan Agustus 1929 empat guru dari Kai tiba di empat desa di wilayah Fak-Fak untuk memulai sekolah Katolik di daerah yang sudah tujuh sekolah Protestan. Ukuran desa yang kecil(kurang lebih memiliki 100 penduduk) membuat mahal untuk melanjutkan persaingan ini.
Contoh mencolok yang menyakitkan persaingan antara Katolik dan Protestan adalah desa Manebui, berada pada garis pemisah antara Fak-Fak dan pulau burung Peninsula. Seorang delegasi dari desa itu berulang kali telah meminta sebuah sekolah Katolik. Tapi guru yang tiba pada bulan Mei 1931 ditangkap pada bulan Oktober 1931 oleh polisi atas permintaan GPM, Gereja Protestan Maluku, jemaat Protestan Maluku, yang telah mengambil alih tanggung jawab untuk wilayah ini dari Utrechtse Zendingsvereeniging pada tahun 1927.
Pada tahun 1935 hal ini telah diterima secara luas bahwa banyak yang memperdebatkan artikel 177 yang telah diformulasikan hanya untuk mencegah kerusuhan yang disebabkan oleh agama propaganda dan bukan untuk mencegah misi ganda.Residen Ambon yang baru, Dr. Bauke Haga, menggunakan pemahaman ini untuk prosedur baru “sebuah persetujuan umum”.Ia mencapai kesepakatan dengan uskup Aerts dari Langgur yang tidak akan mengirim misionaris baru tanpa perjanjian lisan antara uskup dan Residententang rencana baru untuk misi. Salah satu langkah pertama yang konkret diambil dengan menggunakan prosedur ini bahwa sekolah Katolik di desa Manebui, dibuka pada bulan Februari 1937.
Untuk mengintensifkan kegiatan-kegiatan Katolik di wilayah yang menjanjikan ini, di mana banyak desa masih belum dilayani oleh misi Protestan, ordo religius yang baru diundang, saudara Fransiscan. Saudara Fransiscan memulai bekerja di Indonesia pada tahun 1929 dengan membuka sebuah paroki di Jakarta (Kramat Raya, juga mengambil alih menjalankan panti asuhan Vincentius) dan memperluas karya di Jawa Barat, kemudian fokus pada Keuskupan Bogor. Mereka mulai bekerja di Papua barat pada permulaan tahun 1937, tiba dengan lima imam dan satu bruder. Pada saat itu, misi Papua masih merupakan bagian dari Vikariat Apostolik Maluku (dengan Vikar Apostolik berada di Langgur, Kepulauan Kai).Berbeda dengan prosedur sebelumnya, saudara Fransiscan harus bekerja di sini di bawah kepemimpinan MSC, uskup Aerts dari Langgur. Dalam beberapa bulan pertama, mereka memulai empat stasi permanen yang baru, Fak-Fak, Babo, Ternate dan Manokwari.
Statistik pada Tahun 1941
Stasi Katolik Baptis Sekolah
Distrik selatan:
Merauke,
Wendu,
Okaba,
Wamal,
Muting
6.324 793 66
Tanah Merah 1.375 506 23
Mimika 4.994 348 31
Fak-Fak 1.341 182 11
Total 14.034 1.829 131
- Pada tahun 1941 jumlah penduduk Papua selatan (distrik Merauke) adalah sekitar 15.000. Dari jumlah ini, 6.324 telah diterima sebagai Katolik, baik melalui baptisan atau dengan menerima pelajaran Katekismus dan dapat diinterpretasikan sebagai sekitar 40% diubah menjadi Katolik dan dipandang sebagai hal yang lebih baik karena yang dikonversi itu termasuk orang-orang muda. Pada tahun 1950 statistik sangat optimis mengklaim 95% dari penduduk menjadi Katolik. Pada akhir tahun 1960 Muskens melaporkan bahwa ada sekitar 50% Katolik di Keuskupan Agung Merauke (75.742 dari total 150.000). Peningkatan tajam jumlah Muslim (sekitar sepertiga tahun 2000) terjadi kebanyakan setelah tahun 1963.
- Sangat sedikit sekolah dengan lebih dari satu guru. Untuk 131 sekolah dasar pada tahun 1939, jumlah guru adalah 140. Dalam Statistik (seperti dalam situasi misionaris yang sebenarnya) tidak ada perbedaan antara guru dan katekis. Di paroki Merauke, sekolah dasar (volksscholen), ada 27 disubsidi oleh pemerintah, dan 38 sekolah tanpa subsididi yang didaftar pada tahun 1940, dikategorikan sebagai peradaban sekolah (beschavingsscholen). Jumlah ini mungkin berlaku untuk seluruh kawasan Merauke. Jumlah sekolah SD meningkat dari 131 menjadi 196. Di Merauke ada juga satu sekolah kejuruan untuk pertukangan dan menjahit di bawah pengawasan salah satu saudara MSC.
Langganan:
Postingan (Atom)
SEDEKAH MENURUT AGAMA ISLAM
1.PENGANTAR Sedekah merupakan ibadah sosial bagi umat Islam. Sedekah mempunyai kaitan yang erat dengan orang lain. Adapun alasan umat Isl...
-
PENDAHULUAN Dalam Roma 5:1-11 Paulus sangat menekankan kasih Allah yang menyelamatkan melalui Yesus Kristus Putera-Nya. Dengan demi...
-
A. PENDAHULUAN Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beraneka ragam suku, budaya, bahasa dan kaya akan seni. Oleh karena itu setia...
-
I. Pendahuluan Kitab Suci merupakan salah satu sarana untuk mengenal hidup Yesus Kristus dan karya-karya-Nya. St. Hieronimus berkata: ...
-
1. Pengantar Kitab kebijaksanaan bin Sirakh atau amsal-amsal bin Sirakh ditulis sekitar tahun 180 SM (abad II SM), oleh Yesus bin ...
-
A. Pengantar Persoalan Trinitas adalah suatu perdebatan sejak zaman patristik. Pada zaman ini muncul para bapa Gereja den...