Minggu, 15 November 2015

Promosi Hidup Doa

I.                   Pengantar
Manusia adalah makhluk yang khas dibandingkan dengan makhluk yang lain. Selain digelari sebagai homo sapiens, homo laborans, homo ludens, homo ridens, manusia juga digelari homo orans (homo religiosus). Gelar-gelar ini adalah khas manusia, yang tidak pernah terdapat dalam makhluk lain. Dalam sejarah kebudayaan, manusia memperkenalkan diri sebagai homo religiosus, makhluk yang beragama.[1] Tindakan berdoa selalu berkaitan dengan religiositas. Manusia berdoa karena memiliki konsep tentang Allah atau Sesuatu yang melampaui manusia dan Ia menjadi Pencipta, penguasa dan Pemelihara hidup manusia. Bagaimana orang beriman harus berdoa? Apa yang hendak didoakan? Uraian singkat ini hendak memberikan penjelasan sederhana tentang doa dari sudut pandang teologi doa dengan tujuan agar orang tidak lagi berkata: “untuk apa aku berdoa bila Allah tidak mengabulkan permohonanku. Bukankah itu hanya buang-buang waktu? Dan bila Allah sungguh tahu kebutuhanku, maka tidak perlu aku harus memohon-mohon.”
II.                Dasar Untuk Berdoa
            Doa sering diartikan sebagai komunikasi manusia dengan Allah. Dalam komunikasi itu terdapat banyak kandungan makna. Seperti yang kita ketahui, doa merupakan suatu perjumpaan pribadi antara manusia dengan Allah, di mana manusia membuka hati terhadap Allah dan terhadap segala aktivitas-Nya. Dalam doa, kita dapat mendengarkan Allah yang menyapa kita dan kita pun dapat mengungkapkan seluruh isi hati kita kepada-Nya. Karena itu, doa mengandaikan adanya suatu relasi yang mesra, suatu persahabatan.[2] Namun sebelum kita membahas lebih jauh tentang komunikasi itu, perlu kita tampilkan terlebih dahulu konsep kita tentang Allah dan keterbatasan kita serta konsep Kristus sebagai puncak Misteri Allah dan perantara bagi doa-doa kita kepada Allah.
1.      Konsep tentang Allah dan Keterbatasan Manusia
Mengenai perasaan religius, Santo Agustinus pernah berkata: “Apa yang menampakkan diri kepadaku dan menyentuh hatiku? Aku ketakutan, tetapi sekaligus ingin dekat (tremendum et fascinosum; inhorresco et inardesco)”. Aku ketakutan karena Dia sama sekali berbeda dengan aku. Aku rindu dan ingin dekat karena Ia sama dengan aku. Berhubungan dengan Sang Kudus menimbulkan perasaan yang bertentangan dalam hati manusia. Dari satu pihak, mengalami ketakutan religius (tremendum); di pihak lain, ada rasa tertarik (fascinosum).[3]
            Allah memang bersifat agung yang kodratnya sangat berbeda dengan manusia, namun Ia sebenarnya tidak jauh dari manusia. Allah adalah pencipta manusia, namun setelah penciptaan Allah tidak pensiun atau membiarkan manusia berjuang sendiri. Allah tetap menghendaki ciptaan-Nya dalam keadaan baik. Ia menginginkan manusia sebagai ciptaan seturut citra-Nya tetap sesuai dengan kebaikan-Nya.
            Allah Pencipta dunia menyerahkan dunia kepada manusia. Karena Ia adalah pencipta dunia dan manusia, maka Ia bukan termasuk bagian dari dunia dan manusia. Di sinilah letek perbedaan keberadaan Allah dan ciptaan-Nya, Allah adalah Sesuatu yang tremendum. Selain itu sifat Allah adalah fascinosum, berarti dunia dan manusia tidak dapat dilepaskan dari konsep Allah sebagai Pencipta. Allah tetap terus berkarya dalam dunia dan manusia.[4]
            Konsep Allah yang dipahami hanya sebagai yang tremendum akan memunculkan paham doa sebagai “sogokan” atau “bujukan” kepada Sosok yang melebihi manusia. Doa semacam ini menempatkan Allah sebagai Yang dapat “ditundukkan” dan “disuruh” untuk melindungi dan mengabulkan aneka permohonan dengan “mantra-mantra”. Doa yang benar dilatarbelakangi konsep bahwa Allah adalah Mahakuasa yang berbeda dengan manusia dan tidak terpisah dari ciptaan-Nya.[5]
            Allah bukanlah Sesuatu yang jauh dari dunia dan manusia sebagai ciptaan-Nya. Allah menghendaki dunia ada dan manusia ada, maka seseorang haruslah bersyukur karena ia ada karena senantiasa dikehendaki Allah. Allah yang senantiasa menghendaki manusia ada berarti Allah tidak jauh dari manusia, Allah tetap menyertai manusia dan ciptaan lainnya. Maka sebenarnya kita sebagai orang beriman “di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada” (Kis 17:28) Dalam konsep inilah tindakan menyembah Allah berarti mulai dengan mengamini hidup kita, syukur ada Allah sehingga aku ada dan berarti.[6]
            Doa secara benar berarti mempercayakan diri kepada Allah. Allah sebagai pencipta hidup memberikan hidup itu kepada kita. Dalam doa, manusia menghayati hidup dalam kesatuan dengan Tuhan. Maka doa bukanlah pertama-tama sebagai tindakan meminta atau memohon, namun percaya dan berserah diri pada penyelenggaraan ilahi.[7]
2.      Kristus sebagai Puncak Misteri Allah             
Misteri yang ada pada Allah terletak pada rencana dan tindakan-Nya, “rahasia Allah” (1 Kor 4:1; Kol 2:2; Why 10:7) atau “rahasia kehendak-Nya” (Ef 1:9). Rahasia atau misteri Allah itu “yang didiamkan berabad-abad lamanya” (Rm 16:25; 1 Kor 2:7; Ef 3:9), “tetapi yang sekarang telah dinyatakan kepada orang-orang kudus-Nya” (Kol 1:26), yaitu dalam diri Kristus. Dengan demikian misteri Allah yang dahulu tersembunyi telah dinyatakan dan diungkapkan secara penuh dan mengalami puncaknya dalan diri Kristus.[8]
                 Dasar segala doa adalah kesatuan kita dengan Allah dalam Kristus oleh Roh Kudus. Kita berdoa “dengan perantaraan Kristus”, sebab Dia memang “Pengantara pada Bapa” (1 Yoh 2:1; bdk. 1 Tim 2:5), “Ia hidup senantiasa untuk menjadi Pengantara” (Ibr 7:25). Dengan demikian doa dapat diartikan sebagai ambil bagian dalam hubungan Kristus dengan Bapa-Nya. Kristus tidak hanya memberikan teladan doa kepada kita,namun juga memampukan kita untuk berdoa. Yesus adalah Pengantara dan Jalan menuju Bapa, “Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14:6).[9]
                 Bagi orang kristen tidak ada jalan lain menuju Bapa, kecuali dengan perataraan Kristus. Allah telah menyatakan misteri keselamatan-Nya secara penuh dan memuncak dalam diri Kristus, maka kita menjawab tawaran keselamatan Allah dalam diri Kristus. Kristus adalah titik temu antara Allah dan manusia. Allah berinisiatip mendekati manusia dalam Kristus dan Kristus merupakan dasar hubungan kita dengan Allah.[10]
                 Selain Kristus masih terdapat pengantara-pengatara doa kita, namun tetaplah tidak “setingkat” dengan Kristus. Maria disebut sebagai pengantara, namun “pengaruh Maria bertumpu pada pengataraan Kristus, dan seluruhnya tergantung daripadanya serta menimba segala kekuatan daripadanya” (LG, 60). Dengan kata lain, fungsi Maria sebagai pengatara tetap menampilkan kesatuan orang beriman dengan Kristus sebagai satu-satunya pengantara kepada Bapa. Selain Maria, para kudus juga disebut sebagai pengatara. Para kudus mendapatkan pengudusan dari Kristus dan dari kesatuannya dengan Kristus. Fungsi para kudus terletak pada statusnya sebagai saudara-saudari orang beriman yang karena doa dan teladannya mendorong orang untuk terarah pada kesatuan dengan Kristus, sumber kekudusan. Para kudus adalah saksi iman akan hidup kekal dan menegaskan kesatuan iman antara semua orang yang percaya kepada Yesus Kristus.[11]
III.             Muatan Tindakan Doa
Berdoa berarti mengadakan kontak secara sengaja dengan Allah. Allah dalam iman kita adalah Allah yang bersabda dan menyapa manusia. Allah menyatakan diri kepada manusia lewat alam, batin dan tubuh manusia, peristiwa, Kitab Suci, Kristus dan Gereja. Allah mengundang manusia untuk hidup bersama dengan-Nya, semakin menyerupai-Nya dalam Kristus. Rasa religius inilah yang membuat manusia dapat megembangkan kemampuan untuk berkontak dengan Allah. Kontak yang benar memiliki tiga ciri utama, yaitu mendengar, melihat dan mengambil sikap. Ketiga hal ini juga menjadi unsur utama dalam doa.[12] Dengan berdoa, kita mengangkat hati, mengarahkan hati kepada Tuhan, menyatakan diri anak Allah dan mengakui Allah sebagai Bapa.[13]
1.      Keheningan dan Kesadaran
Proses doa sering diawali dengan mengusahakan dan membangun keheningan diri dan batin. Keheningan ini dapat dilakukan dengan penyadaran atas tubuh, nafas atau lingkungan. Kesadaran dalam keheningan ini dapat menghantar kita pada pengenalan diri dan memungkinkan berkontak dengan hal-hal yang lebih dalam dan halus yang terjadi dalam diri kita. Dengan hening, kita akan sampai kepada Interioritas diri dan mampu menghadirkan diri sepenuhnya.[14] Kesadaran menyatukan gerak-arah dan perhatian yang terpecah.  Kesadaran seperti ini menuntun pada kesadaran rohani, yaitu kesadaran berkontak dengan yang ilahi, berjumpa dengan Tuhan yang mencintai.[15]
Dalam keheningan kita bukan hanya mampu mendengarkan dan menemui apa yang terjadi dalam diri kita, namun juga mampu mendengarkan suara batin terdalam yang berasal dari Yang ilahi sendiri. Atas bimbingan Roh Kudus kita mampu membuka hati kita dalam keheningan untuk mendengarkan suara Tuhan dalam batin terdalam itu.[16]
2.      Imajinasi dan Fantasi
Perjalanan hidup manusia merupakan rentetan perjumpaan dan kontak dengan diri sendiri, alam sekitar dan sesama yang membangun alam batin manusia. Dalam batin manusia tersimpan harta kehidupan yang dapat berupa kesedihan yang membawa luka-luka batin atau kegembiraan yang membawa kekuatan hidup. Simpanan harta kehidupan ini melahirkan watak, perangai, perilaku, bahkan hirarki nilai sehingga menusia menjadi pribadi yang unik.[17]
Manusia memiliki daya dalam jiwa dan batin, yaitu ingatan yang mampu menghadirkan dan menghidupkan pengalaman hidup dan bahkan mempu mengangan-angankan hal yang akan datang. Hal inilah yang disebut fantasi. Fantasi memiliki daya kekuatan untuk menghimpun kekuatan hidup karena Allah pun berkarya di dalamnya. Fantasi sebenarnya berangkat dari hal nyata dalam hidup kita pada masa lalu yang dikaitkan dengan masa sekarang dan masa yang akan datang. Fantasi seringkali mendorong kita untuk melakukan sesuatu seperti yang kita angan-angankan.[18]
Fantasi membantu manusia untuk berkontak dengan Allah karena fantasi merupakan sarana kontak dengan realitas insani dan ilahi. Fantasi dapat menumbuhkan rasa religius dalam hidup yang melahirkan sikap hormat dan bakti terhadap hidup dengan rahasia-rahasia terdalam yang berasal dari Tuhan.[19]
3.      Sikap Religius: Bakti dan Ora et Labora
Dengan kesadaran dan fantasi manusia dapat terbantu untuk membangun sikap yang lebih benar dan kuat dalam hidup. Sikap bukan hanya dibentuk oleh konsep atau pemikiran, melainkan terutama oleh pengalaman-pengalaman hidup. Lewat kesadaran manusia diajak membangun hidup berdasarkan kekuatan mistiknya dan lewat fantasi manusia diajak untuk membangun sikap yang benar dalam hidup. Kedua hal ini mengarahkan manusia untuk membangun diri dan kepribadian dalam Tuhan. Sikap dasar hidup yang diperlukan adalah percaya kepada diri sendiri, alam, sesama dan Tuhan. Dari kepercayaan inilah manusia akhirnya mampu menyerahkan diri kepada realitas misteri hidupnya dalam Tuhan, bersatu dengan Tuhan.[20]
Misteri Allah hadir dan bertindak dalam hidup manusia yang melahirkan rasa bakti dan taqwa kepada Allah. Taqwa akan Tuhan bermula dari keterpesonaan yang diikuti keterpautan dan keterlibatan dalam misteri Allah sendiri. Allah sendirilah yang lebih dahulu terpesona, terpaut dan terlibat dalam hidup manusia (Ul 10:15). Rasa bakti kepada Allah disertai dengan sikap penyerahan diri kepada Allah. Doa-doa membangkitkan, menumbuhkan dan mengembangkan rasa bakti ini.[21]
Doa sendiri merupakan perwujudan iman karena kita menampilkan iman dalam doa kita. Selain itu doa memperkuat kita untuk mewujudkan iman secara lebih luas dan nyata dalam hidup sehari-hari. Dengan doa kita membuka diri terhadap kehadiran Allah dan rahmat-Nya dalam hidup kita termasuk lewat orang-orang yang kita jumpai. Dengan kata lain kita menimba kekuatan dalam doa agar kita mampu menjalani hidup dan merasakan kehadiran Allah dalam hidup kita.[22] Doa merupakan pernyataan akan kasih sayang Allah. Maka hanya doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang (Yak 5:15).  Doa adalah ungkapan kehidupan iman.[23] Selain itu, doa menjadi integrasi, simpul dan hidup, satu perjalanan yang berat dan melelahkan, sarat dengan tantangan dan berbagai macam rintangan. Dengan demikian, seseorang harus mampu mengambil jarak dari diri sendiri, keluar dari batas-batas diri sendiri, untuk terbenam dan tenggelam dalam misteri besar mencari kehadiran ilahi yang memberikan arti yang besar pada saat sekarang, mendukung masa lampau dan menuntun kepada masa depan.[24]
IV.             Penggolongan Bentuk Doa
1.      Berdasarkan Orang yang Mendoa
a.      Doa Pribadi/Personal
Doa pribadi atau personal adalah seruan yang keluar dari hati.[25] Setiap orang memiliki cara berdoa yang khas dan berbeda dari orang lain. Keunikan cara berdoa setiap orang mengungkapkan relasi yang intim dengan Tuhannya. Seruan yang keluar dari hati biasanya bersifat spontan dan bebas misalnya: “Tuhan kasihanilah aku”, “Tuhan saya tidak sanggup lagi”, “Tuhan bersegeralah menolong aku” dan lain-lain tanpa mengikuti suatu format doa tertentu. Seruan doa seperti ini juga pernah diungkapkan oleh Yesus dalam hidup-Nya misalnya: “Hati-Ku sangat sedih seperti mau mati rasanya” (Mrk 14:34), “Aku bersyukur kepada-Mu Bapa karena Engkau senantiasa mendengarkan Aku” (Luk 10:21). Yesus juga pernah memuji doa pemungut cukai di kenisah.  Si pemungut cukai tidak berani menengadah ke langit. Ia memukul dirinya dan berkata: “Ya Allah kasihanilah aku orang berdosa ini” (Luk 18: 9-14). Dengan ucapannya yang sederhana dan jujur ini, si pemungut cukai telah membuka dirinya secara total di hadapan Tuhan. Inilah seruan yang berasal dari hati dan diungkapkan secara personal dengan Tuhan.
b.      Doa Bersama
          Doa bersama atau komunal adalah doa yang dilakukan oleh beberapa orang.[26] Doa bersama dapat berupa doa lisan atau doa verbal, doa resmi atau doa liturgis. Doa lisan dapat saja merupakan doa pribadi, namun menjadi ungkapan bersama atau didukung oleh yang lain dalam persekutuan itu. Doa liturgis adalah doa resmi atas nama Gereja yang dilakukan menurut ketentuan-ketentuan Gereja dan dipimpin oleh petugas resmi Gereja. Doa Liturgis merupakan kegiatan seluruh Gereja, kegiatan Kristus bersama anggota-anggota-Nya.
                 Doa Liturgis memiliki kerangka struktural tertentu[27]:
Ø  -Pembukaan, berupa ajakan yang biasanya disampaikan oleh pemimpin atau diakon, misalnya “marilah berdoa”.
Ø  Saat hening, di sini umat menyadari kehadiran Allah dan menyampaikan keprihatinan pribadi kepada-Nya.
Ø  Permohonan, yang terdiri atas sapaan dan permohonan.
Ø  Penutup, yang terdiri atas doksologi, yakni “dengan perantaraan Yesus Kristus¼” yang disahut oleh umat dengan aklamasi “amin”.
   2.      Berdasarkan Isi
   a.      Doa Permohonan
     Dalam Kitab Suci kita menemukan banyak kata yang sepadan dengan kata permohonan misalnya: memohon, meminta, meminta dengan sangat, berseru, menjerit, berteriak bahkan juga bergumul dalam doa.[28] Akan tetapi ungkapan yang biasa digunakan adalah memohon. Dalam doa permohonan terungkap kesadaran akan kerendahan kita di hadapan Allah.
Allah adalah Mahakuasa, tahu segala sesuatu bahkan tahu apa yang kita butuhkan. Akan tetapi, meskipun Allah tahu tahu dan mengenal segala sesuatu, kita harus menghaturkan doa permohonan kepada-Nya. Menurut St. Agustinus ada tiga alasan mengapa kita harus memanjatkan doa permohonan kepada Tuhan, pertama, sebagai ciptaan, kita harus menaati Allah, kedua, kita memohon agar segalanya dilimpahkan kepada kita dan ketiga, kita memohon petunjuk atau nasihat dari Allah berkaitan dengan apa yang hendak dilakukan-Nya.[29]
b.      Doa Syafaat
                   Doa syafaat adalah doa permohonan yang membuat doa kita serupa dengan doa Yesus.[30] Ia adalah perantara satu-satunya pada Bapa untuk semua manusia, terutama untuk orang berdosa. Dalam doa syafaat setiap pendoa “ tidak memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi juga kepentingan orang lain juga” (Filp 2:4). Melalui Doa syafaat ini orang bukan berdoa hanya untuk orang yang berbuat baik bagi pendoa itu, melainkan mendoakan orang-orang jahat.
c.       Doa Syukur
                   Bersyukur merupakan bentuk pujian sebab bersyukur itu mengakui kebaikan dengan cara yang khusus dan menyatakannya secara terbuka[31]. Doa pujian atau doa syukur adalah doa yang mengakui Allah secara langsung [32]. Bersyukur kepada Allah berarti menghormati Allah. Melalui doa pujian, roh kudus mempersatukan diri dengan roh kita, untuk menyaksikan bahwa kita adalah anak-anak Allah. Doa pujian mencakup bentuk-bentuk doa yang lain dan membawanya menuju sumber dan tujuannya “Satu Allah yaitu Bapa, dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan untuk Dialah kita hidup” (1Kor 8:6).
d.      Doa Penyembuhan
                   Doa penyembuhan pertama –tama adalah suatu dukungan rohani bagi orang yang menderita sakit[33]. Doa bisa membuat orang yang sakit lebih tenang, lebih bebas. Kebiasaan berdoa seperti itu mengungkapkan semacam “ dukungan rohani “ bagi orang yang sakit.
                   Menarik sekali peristiwa penyembuhan wanita yang sakit pendarahan (Mrk 5:22-34). Ketika wanita itu menyentuh jubah Yesus dari belakang, maka pada saat itu juga Yesus mengetahui bahwa ada tenaga yang keluar dari dalam diri-Nya (Mrk 5:30). Di sini mau menunjukkan bahwa Yesus memiliki kuasa untuk menyembuhkan orang yang sakit. Dalam kis 10:38 dikatakan bahwa Allah mengurapi Yesus dengan roh kudus dan kuat kuasa, Dia yang berjalan berkeliling sambil berbuat baik dan menyembuhkan semua orang yang dikuasai iblis, sebab Allah menyertai Dia. Daya kekuatan yang ada dalam diri Yesus adalah kuasa Allah sendiri, bahkan Allah sendiri yang berkuasa dalam diri Yesus (Yoh 14:10). Doa penyembuhan itu bersifat Trinitaris : bersama dengan Kristus, dan digerakan oleh Roh Kudus menghadap Allah Napa[34].Dasar doa penyembuhan adalah iman akan kebangkitan. Allah yang membangkitkan Yesus akan memulihkan hidup orang sakit juga.
                   Doa memang amat penting dalam kehidupan dan misi Yesus. Doa Yesus harus menjadi sumber doa kita. Sebagai orang Kristen, khususnya sebagai pengikut Kristus kita harus meneladani dan mengikuti doa Yesus, gaya hidup Yesus untuk dapat membawa misi-Nya yakni misi menyelamatkan dan menyembuhkan semua orang yang sakit. Kita harus meniru sikap dan tindakan Yesus yang berdoa untuk orang-orang yang menderita dan sakit.
3.      Menurut KGK
a.      Doa Lisan
                   Doa Lisan merupakan unsur hakiki dalam kehidupan Kristen.[35] Kristus mengajar murid-murid-Nya yang merasa tertarik pada doa batin dari Guru-Nya, yakni doa lisan. Karena doa lisan diarahkan keluar, dan karena sangat manusiawi, maka pada tempat yang pertama doa lisan ini merupakan doa rakyat.
b.      Doa Renung
                   Doa Renung, meditasi, pada dasarnya adalah satu pencarian.[36]Doa ini juga mencakup juga pikiran, daya khayal, gerak hati, dan kerinduan. Doa renung merupakan suatu doa dimana kita dapat merenungkan suatu peristiwa yang berhubungan dengan teks kitab suci. Dalam doa renung ini sumber yang harus kita gunakan sebagai bahan penuntun adalah kitab suci, karena kitab suci merupakan inspirasi ilahi yang bisa menuntun kita sampai pada Allah yang tak kelihatan.
                   Dalam doa renung ini sering orang dihantar, kepada Allah yang memang sungguh jauh tetapi bisa dapat dikenal lewat bantuan roh kudus. Doa renung ini sering membuat orang bisa jatuh dalam hayalan-hayalan yang kosong, kalau memang pribadi yang berdoa itu tidak sungguh-sungguh menyerahkan diri pada Allah yang merupakan pusat dan tujuan.
c.       Doa Batin
                   Doa Batin adalah ungkapan sederhana tentang misteri doa.[37] Ia memandang Yesus dengan penuh iman, mendengarkan sabda Allah, dan mencintai tanpa banyak kata. Ia mempersatukan kita dengan doa Kristus, sejauh ia mengikutsertakan kita dalam misteri Kristus. Santo Yohanes dari salib menyatakan bahwa doa Batin adalah berdiam diri bersama Allah.
                   Dalam doa batin tidak dibutuhkan kata-kata yang panjang lebar. Yang paling penting dalam doa batin adalah berdiam diri dihadapan Allah sebagai pribadi yang tak berdaya, karena di sanalah Allah akan bersabda kepada kita, oleh karena itu dalam kehenginan kita dapat menjawab panggilan Allah yang menyapa kita.
V.                Hambatan dalam Doa
1.      Doa Sejauh Kebutuhan
                 Pandangan umum sering menyangka bahwa doa identik dengan permohonan. Pandangan seperti ini akan menimbulkan pengertian bahwa orang berdoa saat membutuhkan sesuatu dari Tuhan karena ia sendiri tak mampu mendapatkannya dari dirinya sendiri, sehingga orang tidak perlu berdoa manakala tidak ada kekurangan atau kesulitan. Akibat lain dari paham ini adalah sikap tak mau berdoa karena merasa Allah tak pernah mengabulkan permohonannya.
                 Kita telah mengetahui pernyataan bahwa Allah memiliki kebebasan mutlak, Allah tidak terikat oleh siapapun dan bebas menganugerahkan rahmat-Nya kepada siapapun. Selain itu Allah juga memiliki sifat Mahabaik. Jelaslah bagi kita sebenarnya bila Allah tidak mengabulkan permohonan kita justru karena demi kebaikan kita. Mungkin jika permohonan kita dikabulkan tidak baik untuk kita atau orang yang kita doakan. [38]
                 Kita juga sering bersikap salah dalam berdoa, khususnya permohonan. Kita sering kali memohon dengan memaksa-maksa Allah. Kita sering memaksa Allah agar permohonan kita dikabulkan. Seolah-olah bila Allah tidak mengabulkan doa kita, kita akan kehilangan arti hidup ini. Sikap seperti ini merupakan komunikasi yang tak seimbang karena kita tidak memberikan kesempatan kepada Allah untuk berbicara kepada kita.[39]
2.      Kepedihan dan Kemarahan terhadap Allah
                 Terdapat teori pembalasan di bumi dalam Perjanjian Lama, yaitu orang yang setia kepada Allah akan mendapatkan ganjaran dan orang yang tidak setia akan mendapatkan hukuman atau penderitaan. Teori ini sebenarnya sudah direlatifisir dengan hadirnya orang-orang saleh yang tetap menanggung penderitaan dan dijanjikan hidup kekal (2 Mak 7: 13 ss). Teori pembalasan ini sampai sekarang masih cukup kental. Hal ini dapat ditengarai dengan adanya pandangan bahwa seseorang menanggung penderitaan karena dosa. Akibat dari pandangan ini adalah sikap kemarahan kepada Tuhan bilamana seseorang yang tidak menemukan dosa besar dalam hidupnya, namun tetap mengalami penderitaan.
                 Penderitaan yang dialami seseorang dapat mempengaruhi paham tentang Allah dan pada gilirannya memperngaruhi hidup doanya. Pengalaman akan Allah yang dirasakan jauh sekali merupakan akibat dari tekanan perasaan kemarahan terhadap Allah atau pertanyaan-pertanyaan tentang kebaikan, kasih dan kepedulian Allah. Perasaan marah kepada Allah atau kegelisahan tentang keadilan dan makna hidup mengakibatkan jurang pemisah antara Allah dan kita dalam pengalaman kita. Ia terasa jauh justru saat kita sangat membutuhkan-Nya. Doa kemudian menjadi asal-asalan, acuh tak acuh dan sekedar tata cara, atau sama sekali tak mau berdoa.[40]
                 Kita harus sadar bahwa para kudus juga mengalami malam gelap. Pengalaman malam gelap para kudus tidak membuat mereka merasa Allah jauh, namun justru mendorong mereka lebih dekat dengan Allah. Para kudus mampu jujur kepada Allah bahwa mereka tidak suka pada malam gelap yang mereka alami. Kejujuran ini bukannya merusak hubungan dengan Allah justru menciptakan kelegaan dan kembali merasakan pelukan mesra kasih Allah.[41]
3.      Ketakutan Berhubungan dengan Allah
                
Telah diungkapkan pada awal tulisan ini bahwa dasar kita berdoa adalah paham kita tentang Allah yang Mahakuasa sekaligus Allah yang dekat dan memperhatikan manusia. Selain itu, kita berdoa karena paham kita sebagai manusia yang membutuhkan pertolongan Allah karena kelemahan kita. Seseorang bisa saja enggan berdoa karena menolak paham tentang Allah  yang berkuasa berhadapan dengan manusia yang lemah. Penolakan terhadap realitas Allah yang melampaui manusia menjadi alasan untuk tidak berdoa dan merasa diri berkuasa atas hidupnya sendiri.
                 Keengganan atau bahkan menolak dalam membangun hubungan dekat dengan Tuhan dapat terjadi karena seseorang takut pada penderitaan sebagai akibat hukuman dari Tuhan. Penderitaan yang dimaksudkan adalah meninggalkan kenikmatan yang selama ini sudah dirasakan namun tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Keengganan atau penolakan doa dasarnya adalah sikap menghindari pengalaman akan Allah, pengalaman persatuan dengan-Nya.[42]
                 Ketakutan untuk bersatu dengan Allah dapat juga timbul dari perasaan bahwa seseorang akan kehilangan dirinya sendiri. Berserah diri kepada Allah dipandang sebagai bentuk peleburan diri sehingga seseorang akan kehilangan diri. Hal yang sebenarnya apabila orang berserah diri dan bersatu dengan Allah justru akan menemukan dirinya seutuhnya. Teladan penyerahan diri dan persatuan dengan Allah adalah Yesus Kristus sendiri. Yesus justru menemukan diri-Nya dalam sikap pasrah dan persatuan dengan Bapa. Yesus menemukan eksistensi diri sebagai Putera dalam kesatuan-Nya dengan Bapa.
VI.             Penutup
                 Dari penjabaran singkat di atas kita dapat menarik beberapa simpul tentang doa. Doa adalah aktivitas kita sebagai manusia beriman dalam berhubungan dengan Allah. Di dalam doa kita percaya dan berserah diri pada kuasa Allah serta mengakui diri sebagai manusia lemah yang membutuhkan penyertaan Allah. Doa selain memiliki sifat hubungan personal juga memiliki sifat komunal yang menunjukkan  persatuan orang beriman (Gereja) sebagai tubuh mistik Kristus dengan Kristus sebagai Kepalanya. Karena doa merupakan bentuk pengakuan kekuasaan Allah dan kelemahan manusia, maka isi doa dapat berupa pujian, syukur dan permohonan. Dapat kita katakan bahwa dalam doa termuat iman, harap dan kasih.[43] Doa jelas mengandung kepercayaan kita kepada Allah, kita terus berharap akan masa depan yang lebih baik dengan berjalan bersama Allah dan doa memuat kekuatan dari Allah untuk mewujudkan iman kita dalam tindakan nyata yang disebut cinta kasih. (Fr. Poly, Fr. Mendrat dan Fr. John D)




[1] Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat: Manusia-Paradoks dan Seruan (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 143.
[2] Yohanes Indrakusuma, Doa Yesus (Cianjur: Pertapaan Shanti Bhuana, 2005), hlm. 1.
[3] A. Snijders, Filsafat Manusia ..., hlm. 151.
[4] Tom Jacobs, Teologi Doa (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 13.
[5] Tom Jacobs, Teologi¼, hlm. 13.
[6] Tom Jacobs, Teologi¼, hlm. 14-15.
[7] Tom Jacobs, Teologi¼, hlm. 24.
[8] Tom Jacobs, Teologi¼, hlm. 59-60.
[9] Tom Jacobs, Teologi¼, hlm. 69.
[10] Tom Jacobs, Teologi¼, hlm. 69.
[11] Tom Jacobs, Teologi¼, hlm. 69-71.
[12] J. Darminta, SJ, “Doa dan Pengolahan Hidup” dalam Rohani , Thn XLII, No. 9 (September 1995), hlm. 360-361.
[13] Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 195.
[14] T. J. van Bavel, Hatiku Merindukan Allah (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 53.
[15] J. Darminta, SJ, “Doa¼, hlm. 361.
[16] J. Darminta, SJ, “Doa¼, hlm. 362.
[17] J. Darminta, SJ, “Doa¼, hlm. 362-363.
[18] J. Darminta, SJ, “Doa¼, hlm. 363.
[19] J. Darminta, SJ, “Doa¼, hlm 363.
[20] J. Darminta, SJ, “Doa¼, hlm. 364.
[21] J. Darminta, SJ, “Doa¼, hlm. 364.
[22] Tom Jacobs, Teologi¼, hlm. 89-91.
[23] Konferensi Waligereja Indonesia, Iman…, hlm. 195.
[24] Bernhard Haring, Doa Napas Hidupku (Jakarta: Obor, 2004), hlm. xviii.
[25] Guido Tisera, Yesus Sahabat di Perjalanan: Membaca dan Merenungkan Injil Lukas (Ledalero: Maumere), hlm. 122.
[26] Ernest Maryanto, Kamus Liturgi Sederhana (Kanisius: Yogyakarta, 2004), hlm. 43.
    [27] Ernest Maryanto, Kamus¼,hlm. 44.
[28] Katekismus Gereja Katolik, Diterjemahkan oleh Herman Embuiru (Ende:Arnoldus, 1995), no. 2629.
[29] T. J. van Bavel, Hatiku Merindukan Allah: Ajaran Agustinus tentang Doa (judul asli: The Longingof The  heart: Augustin’s Doctrine on prayer. Diterjemahkan oleh L. Prasetya (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 134.
[30] Katekismus Gereja Katolik¼.., no. 2634.
[31] T. J. van Bavel, Hatiku…, hlm. 134.
[32] Katekismus Gereja Katolik¼, no. 2637.
[33] Tom Jacobs, Teologi¼, hal.124.
[34]  Tom Jacobs, Teologi¼, hal.133.
[35] Katekismus Gereja Katolik¼,no. 2701.
[36] Katekismus Gereja Katolik...,no.2705.
[37] Katekismus Gereja Katolik¼, no.2724.
[38] William A. Barry. Paying Attantion to God: Mengarahkan Hati Kepada Allah. (Judul asli: Paying Attention to God) Diterjemahkan oleh A. Widyamartaya. (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 24-25.
[39] William A. Barry. Paying..., hlm. 24.
[40] William A. Barry. Paying..., hlm. 33.
[41] William A. Barry. Paying..., hlm. 36-37.
[42] William A. Barry. Paying..., hlm. 41.
[43] Bdk. M. Van den Berken, SJ., “Renungan Mengenai Doa” dalam Rohani, thn. XXI (1974), hlm. 199.

SEDEKAH MENURUT AGAMA ISLAM

1.PENGANTAR Sedekah merupakan ibadah sosial bagi umat Islam. Sedekah mempunyai kaitan yang erat dengan orang lain. Adapun alasan umat Isl...