PENDAHULUAN
Dalam Roma 5:1-11 Paulus
sangat menekankan kasih Allah yang menyelamatkan melalui Yesus Kristus Putera-Nya.
Dengan demikian manusia diperdamaikan dengan Allah,
berkat iman mereka. Manusia dibenarkan karena iman. Dengan beriman, manusia
memperoleh kasih karunia dan senantiasa
berharap akan penerimaan kemuliaan Allah. Hasil dari pembenaran itu adalah
cinta kasih Allah yang merupakan jaminan keselamatan yang defenitif. Hidup
abadi akan dianugerahkan kepada mereka yang telah dibenarkan karena dan di dalam
cinta Allah.[1]
Pembenaran Allah (δικαιοσυνη του θεου), (5:1-11) dapat dibagi ke dalam beberapa pokok bagian.
Dalam ayat 1-2a, Paulus mengemukakan tema perikop ini yaitu pembenaran menghasilkan
damai dengan Allah. Kemudian dalam ayat 2b tema pokok itu menghasilkan dalil
yang kedua, yaitu mengenai pengharapan akan kemuliaan Allah. Dalam ayat 3-4,
tema pengharapan itu dibahas dan diuraikan secara lebih lanjut. Ayat 5
menunjukkan dasarnya yaitu kasih Allah. Ayat 6-8 menggambarkan perbuatan kasih.
Ayat 9-10 menggambarkan hasil perbuatan kasih itu yakni keselamatan dalam
hukuman terakhir. Ayat 11 merupakan penutup dari perikop ini. Secara singkat
Roma 5:1-11 dapat dilukiskan sebagai berikut[2]:
Ayat 1-2a : Pembenaran Menghasilkan Damai dengan Allah.
Ayat 2b : Pengharapan akan Kemuliaan Allah.
Ayat3-4 : Pengharapan.
Ayat 5 : Kasih.
Ayat 6-8 : Perbuatan Kasih.
Ayat
9-10 : hasil Perbuatan Kasih.
Ayat 11 : Penutup.
Bagian
Pertama: Ayat 1-2a: Pembenaran Menghasilkan Damai dengan Allah.
Bagian
pertama ini menekankan damai sejahtera menjadi dasar pembenaran. Orang -orang
yang dibenarkan karena iman hidup dalam damai sejatera. Hidup dalam damai
sejahtera menunjukkan adanya suatu relasi dengan Allah.[3]
Damai sejahtera tidak mengacu pada perasaan batin, perasaan aman sentosa,
melainkan pada keadaaan yang berlaku antara Allah dengan manusia. Orang yang
berupaya untuk mengerjakan pembenarannya sendiri tidak bisa tidak harus selalu
gelisah. Sedangkan orang yang telah dibenarkan karena karya Yesus Kristus tidak
perlu lagi merasa gelisah, tetapi sudah hidup dalam damai sejahtera dengan
Allah.
Melalui
pembenaran oleh iman dan damai sejahtera dengan Allah, manusia memperoleh kasih
karunia. Di atas kasih karunia itulah orang-orang yang telah dibenarkan berdiri
dengan kokoh dan teguh. Iman adalah jawaban kita terhadap kasih karunia Allah
yang terpenuhi dalam Yesus Kristus yang sering disebut sebagai Adam Baru dan
model baru dalam ketaatan kepada Bapa (Bdk. 2 Kor 3:18; 4:4-6; Phil 3:20-21; 1
Kor 15:42-49).[4]
Bagian
Kedua: Ayat 2b: Pengharapan Akan Kemuliaan Allah
Orang
beriman atau orang percaya bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan
Allah. Bermegah berarti hidup dalam persekutuan dengan Allah. Kemuliaan Allah
menjadi tujuan pengharapan dari orang beriman.[5]
Kemuliaan Allah ( δοχα του θεου) adalah
kemuliaan milik Allah sendiri, yang akan dinyatakan sepenuhnya pada akhir
jaman. Kemuliaan Allah itu adalah cahaya-Nya, keelokan-Nya, kehormatan-Nya,
kekuasaan-Nya. Kemuliaan Allah adalah juga kemuliaan yang diberikan kepada
manusia ciptaan-Nya, dan seakan-akan merupakan pancaran kemuliaan-Nya sendiri.
Kemuliaan dengan arti inilah yang dimaksud dalam ayat ini. Manusia kehilangan
sebagian besar kemuliaan itu akibat dosa (Mzm 8). Akan tetapi pada jaman akhir,
yang merupakan pula saat kebangkitan orang mati, kemuliaan itu akan dipulihkan
(Rom 8:18, 21; 1 Kor 15; 43).[6]
Bagian
Ketiga: Ayat 3-4: Pengharapan
Perkataan pokok dalam bagian ketiga ini adalah
kesengsaraan menimbulkan ketekunan (3) dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan
tahan uji menimbulkan pengharapan (4). Dalam Perjanjian Lama, kesengsaraan itu
merupakan hukuman Tuhan atas ketidaksetiaan, tetapi juga cara Tuhan menyiapkan
bagi diri-Nya suatu bangsa yang taat. Kesengsaraan itu akan memuncak pada jaman akhir (Dan 12:1; Zef
1:15). Dalam kitab Mazmur, kesengsaraan orang saleh yang tampil ke depan.
Sengsara itu adalah sesuatu yang wajar: “Kemalangan orang benar banyak (Mzm
34:20). Orang benar itu berjalan dalam
kesesakan (Mzm 138:7). Sengsara itu pun
datangnya dari Tuhan (Mzm 66: 71:20), tetapi Tuhan pula menyelamatkan orang
benar dari pada-Nya.[7]
Dalam
sastra Yahudi, pada jaman antar perjanjian, kesengsaraan adalah hukuman atas
pelanggaran, dorongan agar bertobat, penambahan jasa amal, berisikan tebusan
dosa. Tetapi yang lebih penting dalam memahami ayat ini adalah pertanyaan orang
Yahudi kepada Paulus. Bagaimana dapat dijelaskan bahwa orang-orang percaya
masih tetap mengalami penderitaan? Terhadap pertanyaan kritis inilah Paulus
harus menerangkan pandangan kristen tentang penderitaan.[8]
Kesengsaraan
itu tidak terpisahkan dari kehidupan orang percaya (Bdk Yoh 16:33; Kis:14:22; 1
Tes 2:3). Kita menderita sengsara kalau dan karena kita hidup dalam persekutuan
dengan Kristus (Kol 1:24; Flp 3:10). Atau denga kata lain, sebagaimana Kristus
harus menderita sengsara (Mat 16:25; Luk 24:26), begitu pula orang kristen
harus mengalami banyak sengsara (Kis 14:22).[9]
Yesus dimuliakan dalam penderitaan, oleh karena itu orang beriman harus
berpartisipasi dalam penderitaan-Nya supaya ambil bagian dalam kemuliaan-Nya.[10]
Dalam hubungan itulah Paulus dapat mengatakan: “Kita bermegah juga dalam
kesengsaraan kita, sebab kesengsaraan itu justru turut menandai persekutuan
dengan Kristus, dan persekutuan itulah yang menjadi alasan kita bermegah.”[11]
Kesengsaraan
menimbulkan ketekunan (ketabahan). Ketabahan merupakan salah satu kebajikan
kristen, bersama dengan iman, pengharapan dan kasih (Tit 2:2 bdk 1 Kor 13:7).
Dan sama seperti kebajikan-kebajikan lainnya ketabahan adalah pemberian Allah
(Rom 15:5).
Di tengah penderitaan, kita percaya, itulah iman kita, bahwa Allah tidak akan meninggalkan
kita, dan Ia akan memberi kita kekuatan untuk bertahan, yaitu ketabahan.
Ketekunan
(ketabahan) menimbulkan tahan uji (4). Kehiduipan seorang kristen dilihat
sebagai ujian yang terus menerus, yang memuncak pada hukuman terakhir. Yang
menguji adalah Tuhan sendri (Mzm 139: 1,23 bdk Yer 6:27), dan ujiannya
dibandingkan dengan api (Mzm 66:10-12; Yer 6:29; 1 kor 3:13). Disini yang
menjadi ujian adalah kesengsaraan (3). Orang percaya menahan kesengsaraan itu
dengan tabah hati. Penderitaan itu perlu supaya iman yang tulen menyatakan
diri. Hal ini merupaka keyakinan umum dalam jemaat-jemaat kriten pertama.
Tahan uji menimbulkan pengharapan. Kalau iman
kita ternyata diuji Tuhan dalam api penderitaan dan penindasan, dan kalau Tuhan
memberi kita ketabahan sehingga kita dapat menahan ujian itu dan ternyata tahan
uji, maka kita tidak lagi takut sesutau apapun, dan pengharapan kita menanjak.
Sebab karenanya kita percaya, bahwa dalam hukuman terakhir pun Tuhan akan
menyelamatkan kita dari dalam api itu.[12]
Bagian
Keempat: Ayat 5: Kasih Allah
Kasih
Allah telah dicurahkan ke dalam hati kita, oleh Roh Kudus yang telah
dikaruniakan kepada kita. Kasih Allah adalah kasih Allah kepada kita, bukan
kasih kita kepada Allah.[13]
Kasih Allah lebih besar dari ketidaksetiaan dan keberdosaan kita. Kasih Allah
di dalam Kristus telah memperhatikan kita waktu kita masih lemah (6), masih
berdosa (8), masih seteru (10). Kasih itulah yang menjadi sumber kasih karunia-Nya.
Hati adalah pusat kehidupan (Ams 4:23). Isi hati menentukan cara hidup kita. Kehadiran kasih Allah
di dalam diri kita menjadi sumber pertobatan. Perkataan Paulus dalam bagian ini
menyatakan bahwa nubuat dalam Perjanjian Lama tentang pemberian hati yang baru
dan Roh Kudus kepada bangsa Israel yang tidak taat itu sudah digenapi di dalam
diri Kristus (Bdk Yeh 36:25.37: 14:39;29).[14] Melalui Roh Kudus, manusia baru bagi Tuhan disucikan dan
dibersihkan untuk suatu jaman yang baru. Air adalah sebuah simbol yang dominan
digunakan untuk penyucian. Ide mencurahkan (εκκηχιταλ )
adalah persatuan natural (Yoel 2:28; Ibr 3:1; Kis 2:17; 1 Kor 12:13). Bagi
Paulus dan tradisi kristen pada umumnya, kehadiran Roh Kudus dianggap sebagai
petunjuk yang asli, sejak ada relasi dengan Tuhan, komunitas kristen akan hidup
dalam jaman baru dimana mereka menikmati status keanakan anak Allah yang
berseru kepada Tuhan “Abba, Bapa” (Gal 4:6-7; Rom 8:15).[15]
Bagian
Kelima: Ayat 6-8: Perbuatan Kasih
Ayat 6-8
menggambarkan sifat kasih Ilahi. Kasih itu telah menyatakan diri waktu kita
masih lemah (6). Kelemahan itu ditandai dengan kungkungan perbudakan dosa.
Kristus telah mati demi orang berdosa, dan Ia mati bagi mereka sebelum dari
pihak orang berdosa itu bisa ada sesuatu apa pun yang menjadikan mereka layak untuk menerima anugerah yang begitu besar.
Kelemahan itu berarti mereka berada di bawah kekuasaan dosa.[16]
Dalam
ayat 7, Paulus hendak menggambarkan kasih Allah yang telah menyatakan diri
dalam kematian Kristus untuk orang berdosa yang tidak layak menerima anugerah
sebesar itu. Oleh karena itu perbuatan Kristus tidak ada taranya. Perbuatan
Kristus jauh melebihi perbuatan manusia yang paling agung.[17]
Allah
menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita,
ketika kita masih berdosa (8). Kematian Kristus merupakan perwujudan dan
pernyataan cinta Allah.[18] Pemberian diri Kristus dalam cinta adalah penyataan
historikal dari cinta kekal Allah.[19] Kasih Allah itu diarahkan kepada orang berdosa, yang
tidak layak menerimanya, dan kasih itu mendahului segala tanda kebaikan di
pihak mereka. Kematian Kristus terjadi satu kali di masa lampau, tetapi salib-Nya
tetap berdiri di tengah umat manusia sebagai penyataan akan kasih Allah kepada
orang malang dan berdosa.[20]
Bagian
Keenam: Ayat 9-10: Hasil Perbuatan Kasih
Kematian
Kristus (9) menunjukkan jalan keselamatan, sebab Ia mati bagi kita waktu kita
masih orang berdosa. Lebih-lebih kasih Allah yang telah menyatakan diri dalam
kematian itu akan menyelamatkan kita setelah kita dibenarkan, yaitu
setelah dosa kita ditebus oleh darah-Nya.[21] Kita yang dulu pendosa, dan sekarang melalui darah
Kristus, kita dibenarkan, diterima dan dideklrasikan dalam hubungan yang benar
dengan Tuhan.[22]
Ayat
10 mengulangi penalaran yang terdapat dalam ayat 9 dengan menambahkan unsur
baru. Ketika kita masih seteru, kita diperdamaikan dengan Allah. Keadaan yang
berlaku, yang ditandai dengan permusuhan, ditiadakan. Ayat 10a sejajar dengan
ayat 9a: Dibenarkan oleh darah-Nya, diperdamaikan oleh kematian-Nya. Yang
mendamaikan kita adalah Allah sendiri. Kasih Allah sama sekali mendahului kita,
seperti yang terdapat dalam ayat 8. Kasih itu mengerjakan pendamaian oleh kematian
Anak-Nya. Disini nampak kesatuan antara
Allah dengan krtistus, yang sesungguhnya merupakan rahasia yang tidak dapat
ditembus pandangan. Kesatuan itulah yang diuangkapkan dengan perkataan Anak-Nya.
Kalau
Allah telah mendamaikan kita waktu kita masih seteru, lebih-lebih kita akan
diselamatkan oleh hiduNya. Hidup-Nya disini sejajar dengan dibangkitkan.
Keselamatan kita berdasarkan kematian dan kebangkitan (hidup) Kristus.[23]
Bagian
Ketujuh: Ayat 11: Penutup
Dalam
ayat penutup ini, Paulus kembali ke pokok “bermegah” .Orang-orang yang percaya
tidak hanya mengharapkan keselamatan dan kehidupan di surga kekal, tetapi sekarang
juga mereka telah menjadi manusia lain,
yaitu manusia yang bermegah dalam Allah. Bermegah merupakan inti pokok dari
perubahan yang nyata yang berlangsung dalam kehidupan orang yang menjadi
percaya. Bermegah juga merupakan unsur penting dalam ibadah kristen, yaitu
dalam puji-pujin dan dalam doa syukur. Kristus Yesus melalui Roh mengundang
kita untuk bermegah, untuk memuji-muji
Tuhan. Bahkan dapat dikatakan juga bahwa puji-pujian kita layak diterima Allah
karena perantaran Dia. Dia yang oleh-Nya kita bermegah, Dia juga yang oleh-Nya kita
telah menerima pendamaian.
PENUTUP
Roma 5:1-11 berbicara tentang pembenaran Allah. Pembenaran itu menghasilkan damai dengan Allah dan
membuat orang beriman merdeka dan bebas. Pembenaran itu bukanlah semata-mata
usaha manusia sendiri tetapi sebuah inisiatif atau cinta Allah yang
menyelamatkan dan membenarkan. Allah selalu menganugerahkan kasih karunia-Nya
kepada manusia. Puncak dari kasih karunia itu ada di dalam diri Yesus Kristus.
Pemberian Allah di dalam Yesus Kristus diterima karena iman saja. Dengan
demikian, kehidupan kristen ditandai dengan bermegah. Dasar dari bermegah
adalah Yesus Kristus. Bermegah berarti bergembira, menaruh kepercayaan penuh
atau total dan memuji-muji atau bersyukur. Tidak hanya itu saja, orang beriman
atau orang kristen juga harus bermegha bila berhadapan dengan kesengsaraan atau
penderitaan. Karena sudah dibenarkan dalam iman dan didamaikan dengan Allah,
orang beriman mendapat kepastian bahwa kesengsaraan atau penderitaaan bukan
murka Allah tetapi suatu ujian untuk memperoleh keselamatan. Siapa yang
bertahan hingga akhir akan selamat. Sama halnya seperti emas yang diuji dalam
api. Dengan demikian emas itu akan nampak murni dan berkilau. Demikian juga
halnya orang beriman dalam ujian penderitaan.
DAFTAR PUSTAKA
Byrne , Brendan. Romans.
Minnesota: The Liturgical Press Collegeville, 1996.
Murry, John. The
Epistle to The Romans. Michigan: Grand Rapids, 1987.
Van den End, Th. Surat
Roma . Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2000.
Sanday
,William. A Critical and exegetical
Commentary on The Apostle to The Roman. Edinburgh: T. QT. Clark LTD, 36
George Street, 1980.
[1]
Kristinus Mahulae, Diktat Surat
Roma , hlm. 6.
[2]
Brendan Byrne, Romans (Minnesota:
The Liturgical Press Collegeville, 1996), hlm. 164-165.
[3]
John Murry, The Epistle to The
Romans (Michigan: Grand Rapids, 1987), hlm. 158.
[4]
Brendan Byrne, Romans…, hlm. 165.
[5]
John Murry, The Epistle…, hlm.
162.
[6]
Th. Van den End, Surat Roma (Jakarta:
PT. BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 220-221.
[7]
Th. Van den End, Surat…, hlm.
222.
[8]
Th. Van den End, Surat…, hlm.
222.
[9]
Th. Van den End, Surat…, hlm.
222.
[10]
John Murry, The Epistle…, hlm.
163.
[11]
Th. Van den End, Surat…, hlm.
222.
[12]
Th. Van den End, Surat…, hlm.
224-225.
[13]
John Murry, The Epistle…, hlm.
165. Bdk. William Sanday, A Critical and
exegetical Commentary on The Apostle to The Roman (Edinburgh: T. QT. Clark
LTD, 36 George Street, 1980), hlm.125.
[14]
Th. Van den End, Surat…, hlm.
226.
[15]
John Murry, The Epistle…, hlm.
167.
[16]
Th. Van den End, Surat…, hlm.
228. Bdk. John, Murry, The Epistle…,
hlm. 167.
[17]
Th. Van den End, Surat…, hlm.
229.
[18]
John Murry, The Epistle…, hlm.
168.
[19]
Brendan, Byrne, Romans…, hlm. 168.
[20]
Th. Van den End, Surat…, hlm.
230.
[21]
Th. Van den End, Surat…, hlm.
231.
[22]
Brendan Byrne, Romans…, hlm. 168.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar