Kamis, 05 November 2015

Misteri Cinta (Le Mystere de L’ amour) Menurut Gabriel Marcel

Pengantar

            Perkembangan sejarah umat manusia, dengan segala kemajuan dan kemegahanya membawa peradaban manusia ke arah yang problematik. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi secara implisit menyimpan bahaya-bahaya yang dapat merendahan martabat manusia. Kerusakan martabat manusia akan membawa dampak yang negatif dalam membangun hubungan personal dalam komunitas manusia yaitu masyarakat. Dalam masyarakat sering ada tendensi bahwa orang yang kuat, baik secara ekonomi, politik, sosial sering memperalat orang yang lemah. Sesama sering dijadikan sebagai obyek dan bahkan sumber keuntungan. Dalam membangun relasi, cinta dianggap bukan sebagai hal yang sangat fundamental, bahkan muatan kata cinta itu menjadi kabur dan tidak dimengerti dengan baik. Gabriel Marcel dalam salah satu pemikiranya, yaitu misteri cinta mencoba membahas dan menemukan muatan kata cinta itu. Cinta adalah sesuatu hal yang sangat esensial dalam membangun dan membina hubungan antar pribadi.
Riwayat Hidup[1]           
Gabriel Marcel lahir di Paris pada tanggal 7 Desember 1889 sebagai anak tunggal dari sebuah keluarga yang acuh tak acuh pada agama Katolik. Bagi Marcel, menjadi anak tunggal sungguh-sungguh merupakan suatu cobaan yang menyengsarakan. Ibunya meninggal pada tanggal 15 Desember 1893, ketika ia masih berumur empat tahun. Baginya, peristiwa itu tidak hanya merupakan suatu momen pahit dalam sejarah hidupnya dimana ia merasa sangat kehilangan seorang yang sangat mencintainya dan yang ia cintai. Marcel hanya memiliki sedikit kenangan akan ibunya. Namun demikian, ia senantiasa merasakan kehadiran ibunya dalam hidupnya yang tetap menyertai dia. Marcel menyelesaikan pendidikan menengahnya di Lycee Carnot tahun 1905-1906, kemudian melanjutkan studi filsafat di universitas Sorbonne, Paris. Setelah lulus licence de philosophie (ujian mata kuliah filsafat) pada bulan oktober 1907, ia memperoleh aggregation de philosophie (hak dan ijin mengajar filsafat di sekolah menengah) pada tahun 1910, ketika ia berusia 20 tahun. Buku-buku Marcel kebanyakan merupakan catatan-catatan buku harian atau kumpulan ceramah atau artikel. Bukunya yang pertama diterbitkan tahun 1927 dengan judul, “Buku Harian Metafisis”. Pada tahun 1932 terbitlah bukunya yang berjudul “Perumusan dan Pendekatan-pendekatan Konkret Terhadap Misteri Ontologis”, tahun 1935 terbit “Ada dan Mempunyai”, tahun 1940 “Dari Penolakan kepada Panggilan”, tahun 1951 “Misteri Ada”, yang terbit sampai dua jilid, tahun 1951 “Manusia Melawan Kemanusiaan”, tahun 1955 “Manusia Sebagai Problem”, tahun 1959 “Kehadiran dan Kebakaan”, tahun 1964 “Martabat manusia”, tahun 1965 “Damai di Bumi”. Gabriel Marcel meninggal pada tanggal 8 Oktober 1973.
Misteri cinta (Le Mystere de L’ amour)
            Cinta pada dasarnya merupakan suatu tindakan yang keluar dari kemerdekaan seseorang untuk mencintai orang lain atau dirinya sendiri. Setiap orang mempunyai hak dan kebebasan untuk mencintai orang lain atau tidak. Dalam mencintai seseorang, ada unsur kondisi obyektif yang mengarahkan, menarik dan mendorong. Ketertarikan untuk mencintai pribadi seseorang muncul karena adanya pertemuan. Pertemuan itu akan membuahkan suatu kehadiran bersama (co-prersence). Kehadiran bersama itu menumbuhkan persekutuan (communion) sebagai wadah dalam menjalin hubungan pribadi. Hubungan inilah yang membisikkan suatu panggilan untuk mencintai orang lain.
            Mencintai selalu mengandung suatu himbauan (invocation) kepada sesama.[2] Dalam cinta, “aku” menghimbau kepada ‘engkau” supaya menjadi bersatu sebagai “kita”. Dan himbauan yang sama keluar juga dari “engkau” kepada “aku”. Karena itu pada pihak “aku’ perlu juga suatu kesediaan (disponibilite) untuk mendengarkan dan menjawab himbauan dari “engkau”. “Aku” harus bersedia untuk keluar dari egoismenya dan membuka diri bagi “engkau”.[3] Cinta bukanlah merupakan sebuah problem melainkan misteri. Sebagai misteri cinta pasti melibatkan secara aktif kedua belah pihak yang saling mencintai. Cinta merupakan pengalaman yang sifatnya intersubyektif. Maksudnya cinta merupakan pengalaman yang sifatnya antarpersonal, sangat pribadi dari dua orang yang mencintai.[4] Dalam hal ini sangat dibutuhkan personalisme.[5] Cinta demikian merupakan pengalaman personal dari setiap orang, entah siapa pun juga, yang terdorong untuk mencintai dan dicintai. Pengalaman ini merupakan sutau dimensi kehidupan yang tidak bisa dimasukki oleh orang lain. Cinta juga merupakan pengalaman hidup yang sifatnya eksistensial.[6]
            Menurut Marcel, mencintai dibagi kedalam dua bagian, yaitu mencintai sebagai kegiatan dan mencintai sebagai fenomen. Mencintai sebagai kegiatan merupakan suatu proses gerakan batin yang tidak kelihatan. Dalam mencintai terkandunglah suatu nuansa kontinuitas mencintai. Mencintai dalam hal ini dengan sendirinya mengatakan “engkau tidak akan mati”. Sesudah kematian orang yang dicintai, kehadiran berlangsung terus-menerus, sebab yang hilang hanyalah sesuatu yang kita miliki. Ilmu pengetahuan secara obyektif tidak akan mampu mengerti hal ini, sebab ilmu pengetahuan hanya menyentuh sebelah luar, hanya mencapai avoir (mempunyai) dan tidak sampai pada etre (ada).[7] Baru dalam tahap cinta, manusia sungguh-sungguh mencapai tahap ada karena ada adalah mencintai. Cinta kasih menyatakan juga bahwa orang yang dicintai tidak bisa mati karena cinta kasih berlangsung terus di seberang kubur.[8] Cinta dan harapan akan membentuk suatu persekutuan yang di dalamnya terdapat relasi personal dan pengalaman yang membentuk suatu kesatuan, walaupun seseorang diantara kedua belah pihak telah tiada.[9]
            Mencintai sebagai fenomen adalah sebagai proses gerakan batin yang tampak dalam fakta obyektif. Mencintai sebagai fakta berarti sesuatu telah terjadi, kelihatan dan bisa diamati. Maka dari itu kita dapat menempatkan kategori-kategori ruang dan waktu terhadap fakta mencintai itu: ada seseorang tertentu yang mencintai orang lain (dan itu bisa saya sendiri), artinya, fakta tersebut adalah obyektif, dan terhadap fakta yang obyektif, kita bisa membuat suatu deskripsi.[10]
           
Cinta merupakan sebuah misteri, maka hanya dengan melibatkan diri kedalam misteri itu sendiri sajalah yang bisa memahami misteri cinta. Cinta memang bisa dikenal. Tetapi hanya sebagai misteri oleh mereka yang terlibat dengan sang misteri itu sendiri. Sedangkan bagi mereka yang tidak terlibat, cinta tidak lebih dari pada sebuah problem, akibatnya mereka ini tidak bisa memahami misteri cinta. Cinta hanya mungkin terjadi bila ada pertemuan subyek. Jadi “aku” bertemu dengan “engkau” secara pribadi. Pertemuan antara aku-engkau inilah menghadirkan kita (nous). Denga kata lain, berkat pertemuan pribadi itulah kita dipersatukan satu sama lain. Cinta yang mengikat aku-engkau dalam hubunga kita secara pribadi itu akhirnya menghadirkan bagi kita suatu persekutuan. Cinta yang menyusun hubungan dan persekutuan itu sifatnya transenden. Ia mengatasi masing-masing pelaku atau subyek yang terlibat dalam persekutuan. Dalam setiap hubungan cinta, tidak ada relasi subyek-obyek atau obyek-subyek, yang ada hanya relasi antar subyek saja. Dalam setiap hubungan atau persekutuan kita bisa merasakan bahwa tarikan cinta itu bukanlah suatu tarikan psikis atau hasil dari ketertarikan fisik belaka, melainkan ketertarikan itu datang dari kedalaman kemanusiaan kita sendiri.[11]
            Gabriel Marcel juga merefleksikan relasi personalnya dengan Tuhan, yaitu relasi aku-Tuhan. Menurut Marcel, hanya cinta Allahlah yang sempurna dan sungguh kreatif. Cinta itulah yang membuat diriku mulai berada sebgai person. Allah memanggil aku dengan namaku.[12] Allah selalu menghimbau aku untuk selalu mencintai Dia. Cintailah Allah dan taatilah perintah-perintah-Nya (ama Deum et serva mandata).[13] Allah memanggilku untuk terlibat dalam dialog cinta yang bersifat abadi. Tidak mungkin Allah memulai relasi cinta hanya untuk sementara saja. Sifat keabadian berhubungan dengan hakekat cinta sejati.[14] 
Penutup
            Cinta merupakan sebuah pengalaman yang sifatnya eksistensial. Cinta sungguh menggerakkan sendi-sendi keberadaan kita sebagai manusia: berkoeksistensi dengan orang lain, karena cinta itu hadir dan menyentuh dasar eksistensi manusia, maka eksistensi manusia dengan sendirinya memakai dimensi baru. Dengan mencintai, manusia menjadi sadar misteri orang lain dan dirinya sendiri mulai tersingkap baginya. Mencintai merupakan perealisasian eksistensi manusia yang paling tinggi dan sempurna. Dengan mencintai, saya berarti keluar dari dunia individual saya sendiri (ex-sistere) dan kemudian berpartisipasi dalam dunia individual sesama dan cinta Allah yang abadi. (John D)

Daftar Pustaka
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.1996.
Copleston, Frederick. A History of Philosophy, Volume IX, Maine de Biran to Sartre. London: Search Press. 1975.
Marcel, Gabriel. The Mystery of Being, Reflection and Mysteri, Volume I. New York: Regnery Gateway. 1978.
Hariyadi, Matias. Membina Hubungan Antar Pribadi. Yogyakarta: Kanisius. 1994.
Snijders, Adelbert. Manusia Paradoks dan Seruan. Yogyakarta: Kanisius. 2004.
T. Kenneth. Gellagher. The Philosophy of Gabriel Marcel. New York: Fordham University Prress. 1975.





[1] Matias Haryadi,  Membina Hubungan Antar Pribadi, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 31-38.
[2] Matias  haryadi, Membina Hubungan …, hlm. 74.
[3] K .Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 77.
[4] Matias, haryadi, Membina…, hlm. 75.
[5] Personalisme merupakan suatu sikap untuk mengikat diri dengan yang lain (engagement) dan mengadakan suatu perjumpaan eksistensial  (bukan saja kontak fungsional), perlulah kepercayaan serta cinta kasih satu kepada yang lain. P. A. Vander Weij, FIlsuf-filsuf Besar tentang Manusia, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 159.
[6] Cinta disebut pengalaman eksistensial karena pengalaman akan cinta itu menyangkut keberadaan atau eksistensi setiap manusia yaitu kenyataan. Ia bereksistensi (co-existere) bersama dengan orang lain. Matias, haryadi, Membina…, hlm. 75.
[7] P. A. Vander WEij, FIlsuf-filsuf…, hlm. 155.
[8] P. A. Vander WEij, FIlsuf-filsuf…, hlm. 159.
[9] Bdk: However, it is clear that he sees in personal relationship such as love in experiences sucs as hope keys to the nature of reality which are not available on the level of obyektyfying scientific thought. John loves Mary, but Mary has died, and science offers no assurance of her continued existence or of her reunion with John. For love and hope in union however there remains a communion, as “we”, which enables John to transcend the level of emerical evidence and to be confident in Mary’s continued existence and of their future reunion. Frederick  Copleston,  A History of Philosophy Volume ix, Maine de Biran to Sartre, (London: Search Press, 1975), hlm. 334.
[10] Matias, haryadi, Membina…, hlm. 76.
[11] Matias, haryadi, Membina…, hlm. 79.
[12] Adelbert  Snijders, Manusia Paradoks dan Seruan, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 190.
[13] B. J. Marwoto  H. Witdarmono, Proverbia Latina,  (Jakarta: Buku Kompas, 2004), hlm. 13.
[14] Adelbert, Snijders, Manusia…, hlm. 190.

Tidak ada komentar:

SEDEKAH MENURUT AGAMA ISLAM

1.PENGANTAR Sedekah merupakan ibadah sosial bagi umat Islam. Sedekah mempunyai kaitan yang erat dengan orang lain. Adapun alasan umat Isl...