Pengantar
Perkembangan sejarah umat manusia,
dengan segala kemajuan dan kemegahanya membawa peradaban manusia ke arah yang
problematik. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi secara implisit menyimpan
bahaya-bahaya yang dapat merendahan martabat manusia. Kerusakan martabat
manusia akan membawa dampak yang negatif dalam membangun hubungan personal
dalam komunitas manusia yaitu masyarakat. Dalam masyarakat sering ada tendensi
bahwa orang yang kuat, baik secara ekonomi, politik, sosial sering memperalat
orang yang lemah. Sesama sering dijadikan sebagai obyek dan bahkan sumber
keuntungan. Dalam membangun relasi, cinta dianggap bukan sebagai hal yang
sangat fundamental, bahkan muatan kata cinta itu menjadi kabur dan tidak
dimengerti dengan baik. Gabriel
Marcel dalam salah satu pemikiranya, yaitu misteri cinta mencoba membahas dan
menemukan muatan kata cinta itu. Cinta adalah sesuatu
hal yang sangat esensial dalam membangun dan membina hubungan antar pribadi.
Misteri cinta (Le Mystere de L’ amour)
Cinta pada dasarnya merupakan suatu
tindakan yang keluar dari kemerdekaan seseorang untuk mencintai orang lain atau
dirinya sendiri. Setiap orang mempunyai hak dan kebebasan untuk mencintai orang
lain atau tidak. Dalam mencintai seseorang, ada unsur kondisi obyektif yang
mengarahkan, menarik dan mendorong. Ketertarikan untuk mencintai pribadi
seseorang muncul karena adanya pertemuan. Pertemuan itu akan membuahkan suatu
kehadiran bersama (co-prersence).
Kehadiran bersama itu menumbuhkan persekutuan (communion) sebagai wadah dalam menjalin hubungan pribadi. Hubungan
inilah yang membisikkan suatu panggilan untuk mencintai orang lain.
Mencintai selalu mengandung suatu himbauan (invocation) kepada sesama.[2] Dalam cinta, “aku” menghimbau kepada ‘engkau” supaya
menjadi bersatu sebagai “kita”. Dan himbauan yang sama keluar juga dari
“engkau” kepada “aku”. Karena itu pada pihak “aku’ perlu juga suatu kesediaan (disponibilite) untuk mendengarkan dan
menjawab himbauan dari “engkau”. “Aku” harus bersedia untuk keluar dari egoismenya
dan membuka diri bagi “engkau”.[3] Cinta bukanlah merupakan sebuah problem
melainkan misteri. Sebagai misteri cinta pasti melibatkan secara aktif kedua
belah pihak yang saling mencintai. Cinta merupakan pengalaman yang sifatnya
intersubyektif. Maksudnya cinta merupakan pengalaman yang sifatnya antarpersonal,
sangat pribadi dari dua orang yang mencintai.[4] Dalam hal ini sangat dibutuhkan personalisme.[5] Cinta demikian merupakan pengalaman personal dari setiap
orang, entah siapa pun juga, yang terdorong untuk mencintai dan dicintai.
Pengalaman ini merupakan sutau dimensi kehidupan yang tidak bisa dimasukki oleh
orang lain. Cinta juga merupakan pengalaman hidup yang sifatnya eksistensial.[6]
Menurut
Marcel, mencintai dibagi kedalam dua bagian, yaitu mencintai sebagai kegiatan
dan mencintai sebagai fenomen. Mencintai sebagai kegiatan
merupakan suatu proses gerakan batin yang tidak kelihatan. Dalam mencintai terkandunglah suatu nuansa kontinuitas mencintai.
Mencintai dalam hal ini dengan sendirinya mengatakan “engkau tidak akan mati”. Sesudah
kematian orang yang dicintai, kehadiran berlangsung terus-menerus, sebab yang
hilang hanyalah sesuatu yang kita miliki. Ilmu pengetahuan secara obyektif
tidak akan mampu mengerti hal ini, sebab ilmu pengetahuan hanya menyentuh
sebelah luar, hanya mencapai avoir
(mempunyai) dan tidak sampai pada etre
(ada).[7] Baru dalam tahap cinta, manusia sungguh-sungguh mencapai
tahap ada karena ada adalah mencintai. Cinta kasih menyatakan juga bahwa orang
yang dicintai tidak bisa mati karena cinta kasih berlangsung terus di seberang
kubur.[8] Cinta dan harapan akan membentuk suatu persekutuan yang
di dalamnya terdapat relasi personal dan pengalaman yang membentuk suatu
kesatuan, walaupun seseorang diantara kedua belah pihak telah tiada.[9]
Mencintai
sebagai fenomen adalah sebagai proses gerakan batin yang tampak dalam fakta
obyektif. Mencintai sebagai fakta berarti sesuatu telah terjadi, kelihatan dan
bisa diamati. Maka dari itu kita dapat menempatkan kategori-kategori
ruang dan waktu terhadap fakta mencintai itu: ada seseorang tertentu yang
mencintai orang lain (dan itu bisa saya sendiri), artinya, fakta tersebut
adalah obyektif, dan terhadap fakta yang obyektif, kita bisa membuat suatu
deskripsi.[10]
Gabriel
Marcel juga merefleksikan relasi personalnya dengan Tuhan, yaitu relasi
aku-Tuhan. Menurut Marcel, hanya cinta Allahlah yang sempurna
dan sungguh kreatif. Cinta itulah yang membuat diriku mulai berada sebgai
person. Allah memanggil aku dengan namaku.[12]
Allah selalu menghimbau aku untuk selalu mencintai Dia. Cintailah Allah dan
taatilah perintah-perintah-Nya (ama Deum
et serva mandata).[13]
Allah memanggilku untuk terlibat dalam dialog cinta yang bersifat abadi. Tidak mungkin Allah memulai relasi cinta hanya untuk
sementara saja. Sifat keabadian berhubungan dengan
hakekat cinta sejati.[14]
Penutup
Cinta merupakan sebuah pengalaman
yang sifatnya eksistensial. Cinta sungguh menggerakkan sendi-sendi keberadaan
kita sebagai manusia: berkoeksistensi dengan orang lain, karena cinta itu hadir
dan menyentuh dasar eksistensi manusia, maka eksistensi manusia dengan
sendirinya memakai dimensi baru. Dengan
mencintai, manusia menjadi sadar misteri orang lain dan dirinya sendiri mulai
tersingkap baginya. Mencintai merupakan perealisasian eksistensi manusia yang
paling tinggi dan sempurna. Dengan mencintai, saya berarti keluar dari dunia
individual saya sendiri (ex-sistere)
dan kemudian berpartisipasi dalam dunia individual sesama dan cinta Allah yang
abadi. (John D)
Daftar Pustaka
Bertens,
K. Filsafat Barat Abad XX Jilid II
Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.1996.
Copleston,
Frederick. A History of Philosophy,
Volume IX, Maine de Biran to Sartre. London: Search Press. 1975.
Marcel,
Gabriel. The Mystery of Being, Reflection
and Mysteri, Volume I. New York: Regnery Gateway. 1978.
Hariyadi,
Matias. Membina Hubungan Antar Pribadi. Yogyakarta:
Kanisius. 1994.
Snijders,
Adelbert. Manusia Paradoks dan Seruan. Yogyakarta:
Kanisius. 2004.
T.
Kenneth. Gellagher. The Philosophy of
Gabriel Marcel. New York: Fordham University Prress. 1975.
[1]
Matias Haryadi, Membina Hubungan Antar Pribadi, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm.
31-38.
[2]
Matias haryadi, Membina Hubungan …, hlm. 74.
[3] K .Bertens,
Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 77.
[4]
Matias, haryadi, Membina…, hlm. 75.
[5]
Personalisme merupakan suatu sikap untuk mengikat diri dengan yang lain (engagement) dan mengadakan suatu
perjumpaan eksistensial (bukan saja kontak
fungsional), perlulah kepercayaan serta cinta kasih satu kepada yang lain. P. A. Vander Weij, FIlsuf-filsuf Besar tentang Manusia, (Yogyakarta:
Kanisius, 2000), hlm. 159.
[6] Cinta disebut pengalaman
eksistensial karena pengalaman akan cinta itu menyangkut keberadaan atau
eksistensi setiap manusia yaitu kenyataan. Ia bereksistensi (co-existere) bersama dengan orang lain.
Matias, haryadi, Membina…, hlm. 75.
[7] P. A. Vander WEij, FIlsuf-filsuf…, hlm. 155.
[8] P. A. Vander WEij, FIlsuf-filsuf…, hlm. 159.
[9] Bdk: However, it is clear that
he sees in personal relationship such as love in experiences sucs as hope keys
to the nature of reality which are not available on the level of obyektyfying
scientific thought. John loves Mary, but Mary has died, and science offers no
assurance of her continued existence or of her reunion with John. For love and
hope in union however there remains a communion, as “we”, which enables John to
transcend the level of emerical evidence and to be confident in Mary’s
continued existence and of their future reunion. Frederick Copleston, A
History of Philosophy Volume ix, Maine de Biran to Sartre, (London: Search
Press, 1975), hlm. 334.
[10]
Matias, haryadi, Membina…, hlm. 76.
[11]
Matias, haryadi, Membina…, hlm. 79.
[12] Adelbert Snijders, Manusia
Paradoks dan Seruan, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 190.
[13] B.
J. Marwoto H. Witdarmono, Proverbia
Latina, (Jakarta: Buku Kompas, 2004),
hlm. 13.
[14] Adelbert, Snijders, Manusia…, hlm. 190.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar