PENGANTAR
Negara
Indonesia merupakan negara yang kaya akan suku dan budaya. Setiap suku
mempunyai ciri khas tertentu. Sebelum ilmu pengetahuan dikenal, pengenalan akan
suku atau budaya tertentu diketahui dari mitos. Setiap daerah pasti mempunyai
mitos tersendiri, baik mengenai penciptaan bumi atau penciptaan manusia. Suku
Batak Toba juga memiliki mitos-mitos tersebut. Salah satu diantaranya adalah
mitos tentang penciptaan bumi.
MITOS
BORU DEAK PARUJAR
Jagad
raya terdiri dari tiga lapis, yaitu Langit, tempat Deak Parujar, disebut Banua Ginjang (Benua Atas). Di bawahnya
adalah Banua Tonga (Benua Tengah) dan
terakhir Banua Toru (Benua Bawah).
Kedua benua terakhir masih misteri bagi Deak Parujar. Jika keluar meninggalkan
langit, berarti Deak Parujar harus berusaha turun ke Banua Tonga. Ketika
menenun, Deak Parujar melemparkan turak berisi gelondong benang ke bawah,
benangnya terus terjulur menggantung di ruang gelap gulita.
Deak Parujar lalu meluncurkan diri ke bawah,
bergantung pada benang. Setelah beberapa waktu meluncur turun dalam gelap
gulita, akhirnya kaki Deak Parujar terantuk pada turak, yang ternyata
terombang-ambing di atas permukaan air yang berkelocak dahsyat ditimpa badai
dan gelombang besar. Deak Parujar yang ketakutan, sejenak timbul niatnya pulang
ke langit, namun ia membulatkan hati dan bertekad tetap bertahan tidak akan
pulang. Mulajadi Na
Bolon (Maha Pencipta) mendengar jeritan Deak Parujar minta tolong. Mulajadi Na
Bolon kemudian membujuknya agar pulang, tetapi tidak berhasil. Mulajadi Na
Bolon akhirnya mengirim sekepal tanah liat kepada Deak Parujar. Ia memberi
petunjuk, “Bentuklah tanah liat ini menjadi landasan tempatmu berpijak di atas
samudera”. Deak Parujar merasa lega, lalu mulai menempa sebidang pijakan dari
sekepal tanah liat itu, yang lama kelamaan semakin luas. Deak Parujar sampai harus mengulang tujuh kali menempa tanah
pijakanya. Hal ini terjadi karena Raja Padoha, Naga pemikul Jagad Raya, sampai
enam kali menggoncangkan jagad raya dengan dahsyat, sehingga setiap kali
tempaannya selesai terbentuk, pijakan itu hancur ditelan samudera.
Ketika
pada keenam kalinya tanah tempaan Deak Parujar lebur, ia kembali meminta
pertolongan Mulajadi Na Bolon yang kemudian mengirim sebilah keris dan rantai.
Dengan keris itu Deak Parujar menikam Naga pemikul jagad raya, namun tidak
sampai mati. Deak Parujar kemudian berhasil merantainya, sehingga sang naga
tidak leluasa lagi bergerak mengguncangkan jagad raya. Sesudah naga dirantai,
Deak Parujar kembali membentuk tanah pijakan. Naga tidak lagi mengganggunya.
Tanah itu akhirnya berkembang menjadi
bumi, tetapi bumi itu masih kosong. Deak Parujar lalu meminta Mulajadi Na Bolon
untuk mengirim bibit tanaman dan hewan. Mulajadi Na Bolon meluluskan permintaanya.
Bersamaan dengan itu tejadilah perbedaan antara gelap dan terang. Deak Parujar
menebarkan bibit tanaman dan menebarkan anak-anak hewan hingga berkembang biak.
Bumi yang tadinya kosong sudah berisi dan indah sekali.
Melihat
keindahan itu Deak Parujar bernyanyi dan menari kegirangan, tetapi tiba-tiba
merasa kesepian karena tidak memiliki teman. Mulajadi Na Bolon mengamati
keadaannya segera memerintah putra Mangalabulan, bekas tunangan yang ditolak
oleh Deak Parujar, supaya turun ke bumi untuk bergabung dengan Deak Parujar.
Putera langit itu patuh. Ia turun ke bumi menjumpai Deak Parujar.
Deak
Parujar melupakan ketidaksukaanya kepada putra Mangalabulan. Mereka menjadi
pasangan suami isteri pertama di bumi. Mereka berdua dan tujuh keturunanya
hingga tujuh generasi berikutnya masih tergolong manusia langit, belum menjadi
manusia biasa (Jolma). Sebagai manusia
langit, Deak Parujar dan suaminya teratur menerima kunjungan Mulajadi Na Bolon,
yang dari waktu ke waktu sengaja turun dari langit untuk menemui Deak Parujar
dan keturunanya, memberi pedoman hidup dan petunjuk lainya.
Pada
suatu waktu, masa itu pun berakhir. Mulajadi Na Bolon merasa sudah tiba
waktunya Deak Parujar kembali ke tempat asalnya, yaitu langit. Mulajadi Na Bolon menentukan tempat kembali Deak Parujar,
yaitu di Bulan, bertenun seperti sediakala. Sejak saat itu, Deak Parujar
telihat di sana sedang menenun saat bulan purnama. Bumi tempaanya, yang
ditenunnya ibarat kain tenunan (ulos) dari bahan kiriman Mulajadi Na Bolon,
diwariskan kepada keturunanya bersama seluruh isi alam. Bumi itu berpusat di huta pertama Sianjurmulamula di kaki
Pusuk Buhit. Pusuk Buhit sendiri adalah tempat turunya Mulajadi Na Bolon ke
bumi. Ketika Deak Parujar lenyap ke bulan, dari situpulalah
ia berangkat.
Setelah
Deak Parujar pergi ke bulan, putuslah hubungan langsung antara langit dan bumi.
Namun sebelumnya Mulajadi Na Bolon telah berpesan kepada Deak Parujar bahwa
keturunanya akan dapat terus berhubungan dengan langit melalui doa-doa dan
upacara persembahan. Altar bagi doa-doa dan persembahan itu adalah gunung Pusuk
Buhit, sekaligus kiblat (alamat) penghormatan keturunanya kepada roh-roh
persemayaman para leluhur.
NILAI-NILAI
YANG TERKANDUNG
-
Nilai Religius
Pada umumnya masyarakat Batak Toba tahu akan kisah
penciptaan dunia, atau paling tidak, pernah mendengar Mulajadi Na Bolon atau
Pusuk Buhit. Mulajadi Na Bolon adalah dewa yang membantu Deak Parujar yaitu
puterinya sendiri dalam penciptaan dunia. Pusuk Buhit adalah gunung suci Batak
Toba seperti gunung Olympus pada Yunani, Mahameru di India dan Fuji di Jepang.
Sebagai mahkluk religius, manusia membangun tempat ibadat dan menciptakan
pelbagai macam liturgi demi perayaan bersama.[2]
Sebelum agama masuk ke daerah Batak, masyrakat Batak Toba beribadat di Pusuk
Buhit dengan ritus dan tata cara tertentu. Mereka menyembah Mulajadi Na Bolon
sebagai Tuhan. Mereka yang melakukan ibadat itu disebut dengan sekte Parmalim.
Merekalah yang menamakan diri sebagai keturunan Mulajadi Na Bolon, karena
mereka menganut agama yang dianut oleh para leluhurnya.
-
Nilai Filosofis
Menurut mitos, masyarakat Batak Toba pertama berasal dari
Pusuk Buhit, yaitu keturunan Deak Parujar. Dalam mitos diatas dikatakan bahwa
Deak Parujar dan suaminya putra Mangalabulan teratur menerima kunjungan
Mulajadi Na Bolon, yang dari waktu ke waktu sengaja turun dari langit untuk
menemui Deak Parujar dan keturunanya, memberi pedoman hidup dan petunjuk lain.
Pusuk Buhit merupakan pemisah sekaligus penyambung antara jaman manusia langit
(pardiginjang) alias tujuh generasi keturunan Deak Parujar dengan jaman
kemanusiaan (hajolmaon) yaitu keturunan Si Raja Batak. Keturunan Si Raja Batak
inilah yang mendirikan Sianjurmulamula sebagai bius pertama. Sianjurmulamula
merupakan negara mini yaitu hasil ikrar para leluhur yang diwariskan oleh Deak
Parujar.[3]
Peraturan dan pedoman hidup yang diterima Deak Parujar dari Mulajadi Na Bolon
menjadi pedoman hidup bagi keturunan Si Raja Batak.
REFLEKSI
KRITIS
Pada abad XIII,
mitos Deak Parujarlah yang menjiwai adat batak (Si Raja Batak).[4]
Pada jaman sekarang ini, masyarakat Batak Toba sudah banyak melupakan mitos itu
atau bahkan tidak tahu sama sekali. Hal ini bisa saja dipengaruhi oleh budaya
dan faktor lain. Suatu kebudayaan memang tidaklah bersifat statis, ia selalu
berubah. Tanpa adanya gangguan yang disebabkan oleh masuknya unsur budaya
asing, sekalipun suatu kebudayaan dalam masyarakat tertentu pasti akan berubah
dengan berlalunya waktu. Dalam setiap kebudayaan selalu ada kebebasan tertentu
bagi para individu, dan kebebasan individu memperkenalkan variasi dalam
cara-cara berlaku, dan variasi itu yang pada akhirnya dapat menjadi milik
bersama dan dengan demikian dikemudian hari menjadi bagian dari kebudayaan.[5]
Dengan perubahan ini terjadi juga perubahan pada tata adat Batak sekarang ini,
namun konsep untuk membawa perubahan itu sebelumnya berasal dari Deak Parujar.
Pusuk Buhit merupakan tempat persemayaman roh leluhur
bersama dan tangga penghubung dengan langit. Upacara dan doa-doa tertuju pada
Pusuk Buhit sebagai pusat keagamaan dan politik Batak Toba.[6] Allah Tinggi orang Batak Toba disebut: Mulajadi Na
Bolon. Pengertian yang umum terdapat dikalangan orang Batak yakni bahwa, Mulajadi
Na Bolon menciptakan segala sesuatu, patut diaplikasikan kepada benua atas
tempat Allah Tinggi, dewa-dewa dan para hambanya, kepada benua tengah (banua
Tonga), yaitu dunia kita ini, dan kepada benua bawah (banua toru) tempat naga
Padoha dan roh-roh jahat kaki tanganya.[7]
Setelah agama Kristen masuk ke daerah Batak, paham
akan Mulajadi Na Bolon diganti dengan Allah yang Mahakuasa. Kisah penciptaan
pun beralih kepada kisah penciptaan seperti yang ada pada Kitab Suci. Altar penyembahan bukan lagi Pusuk Buhit tetapi di dalam Gereja.
Dalam gereja, orang memuji dan memuliakan Tuhan. Orang Batak cepat menyerap
agama Kristen karena sudah mempunyai konsep tentang Allah dan penciptaan. Peralihan
ini membawa perubahan dalam cara pikir orang Batak seiring dengan waktu,
terjadilah peralihan dari mitos ke cara berpikir dan bertindak yang lebih maju
hingga akhirnya sampai pada agama.
PENUTUP
Mitos penciptaan menurut versi Batak, mengandung unsur
magis, yaitu adanya rasa takut dan hormat terhadap yang ilahi (Mulajadi Na
Bolon) yang hadir dalam kehidupan. Oleh sebab itu, ada hal-hal yang dihormati
dan dianggap sakral, seperti Pusuk Buhit. Seiring
dengan berjalanya waktu dan kemajuan jaman, orang Batak tidak berhenti sampai
disini. Mereka terus mencari yang ilahi yang bertransenden yang ditemukan dalam
agama. Agama sebagai titik akhir memberikan penerangan yang lebih jelas dan sempurna.
Walaupun demikian mitos akan tetap dikenang sebagai awal pengetahuan untuk
berkembang ke pengetahuan yang sebenarnya. (John D)
Sinaga, Anicetus. Martutuaek
sebagai Permandian Orang Batak Toba. Pematangsiantar: Jalan Medan. 1979.
Situmorang, Sitor. Toba
Na Sae. Jakarta: Komunitas Bambu. 2009.
[7] A.B. Sinaga,Martutuaek sebagai Permandian Orang Batak
(Pematangsiantar: Jalan Medan, 1979), hlm 5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar