Pengantar
Siapakah Sibaso
Hasandaran?
Sibaso hasandaran adalah laki-laki atau wanita yang kerasukan roh
atau bidan yang bekerja sebagai dukun. Sibaso
juga bisa dimengerti sebagai pengantara (medium) dari arwah nenek moyang yang
sudah meninggal.[1]
Ada tiga jenis Sibaso yaitu sibaso panurirang (nabi), sibaso pangintari (sibaso untuk
membereskan/ memulihkan situasi yang tidak baik menjadi baik), sibaso pandampol (pengurut).[2] Sibaso yang akan dibahas di sini
tentunya sibaso sebagai pengantara
dan dalam arti tertentu bisa dimengerti sebagai sibaso panurirang (nabi)
Pada upacara memanggil
arwah (begu), pertama-tama akan
dibunyikan gong dan tam-tam dalam berbagai irama. Sementara itu dibakar
berbagai jenis akar dan ramuan yang bau asapnya memabukkan. Kemudian, sibaso hasandaran meminum semacam minuman sakral yang mengandung alkohol
sehingga dalam waktu singkat dia akan mengalami trance (kesurupan). Dalam keadaaan demikian, arwah orang yang
dipanggil itu akan berusaha mengambil alih pimpinan atas tubuhnya. Proses
pengambilalihan itu tidak berlangsung secara tenang dan santai, tetapi melalui
pergumulan yang hebat. Sang perantara nampak
kelelahan dan menderita. Dia berteriak-teriak kesakitan, suaranya parau
seolah-olah dia sedang dicekik, wajah dan tubuhnya meregang-regang. Itulah
tandanya bahwa dalam tubuhnya sedang berlangsung suatu pertempuran hebat antara
arwah yang mau menguasai jasadnya dengan pribadinya. Matanya berputar-putar,
wajahnya biru dan busa keluar dari mulutnya, keringat membasahi tubuhnya, dia
menggeliat-geliatkan tubuh, kaki, kepala, dan tangannya dalam gerakan-gerakan
yang tidak menentu; sekali-sekali dia membenturkan kepalanya ke tembok atau
ubin, mencekik lehernya sendiri dan memukuli dadanya. Dalam babak akhir
pergumulan itu, dia akan meraung-raung sebelum dia jatuh tertidur. Pada saat itulah dia sudah sepenuhnya dikuasai
arwah orang yang dipanggil itu.
Dalam acara martonggo itu, sibaso hasandaran yang sudah pulas dan tidak sadarkan diri lagi
diperiksa para tua-tua kampung supaya penipuan tidak terjadi. Pertama,
kepadanya akan ditanyakan, siapa namanya. Yang kesurupan menjawab dengan
menyebut nama orang yang arwahnya menempati jasadnya. Untuk mendapat kejelasan
tentang identitas orang itu, akan ditanyakan seluk beluk kekeluargaan, rumah
tangga dan tentang hal-hal yang kiranya tidak mungkin diketahui oleh orang
luar. Semua pertanyaan harus dapat dijawab oleh sibaso hasandaran itu dengan baik.
Sebuah contoh yang kuat
diceritakan oleh J. Warneck. Bunyinya demikian: Arwah seorang datu[4]
memasuki tubuh seorang sibaso hasandaran.
Perempuan itu belum pernah belajar membaca dan menulis aksara batak, tetapi
saaat itu dia membacanya dengan lancar dengan suara dan logat mendiang datu, padahal melihat umur perantara
itu, dia tidak mungkin pernah bertemu dengan datu tua itu.
Jika arwah yang memasuki
tubuh perantara itu belum memperkenalkan dirinya, dia belum boleh diberitahu
tentang hal-hal yang ingin ditanyakan kepadanya oleh orang yang memanggilnya.
Tetapi, kalau identitasnya sudah dinyatakan benar oleh para pemeriksa, orang
tersebut boleh mengajukan pertanyaan padanya tentang hal-hal yang diyakini atau
dianggap patut diketahui arwah itu semasa dan sesudah hidupnya di atas dunia
ini. Hal-hal yang biasanya ditanyakan pada arwah akan berkisar pada soal
keadaan orang yang sudah mati, orang yang sudah lama meninggalkan kampung
halamannya dan tidak diketahui kabar beritanya; nasihat atau petunjuk untuk
suatu usaha atau hajat yang sedang direncanakan; obat atau cara-cara pengobatan
untuk sesuatu penyakit dan sebagainya.
Persamaan dan Perbedaan Sibaso dengan Nabi dalam Kenabian Biblis
Persamaan
Ada peribahasa:
“Pujangga tidak disekolahkan tetapi dilahirkan.” Demikianlah juga para nabi
tidak disekolahkan tetapi dilahirkan. Ia lahir dengan bakat dan karunia
kepujanggaan atau kenabian.[5] Orang-orang
yang disebut sibaso dalam budaya Batak
Toba juga bukan karena mereka mempelajarinya tetapi merupakan suatu karunia
yang diperoleh dari nenek moyang. Mereka biasanya diakui dan dikenal baik oleh
masyarakat.[6]
Selain imam yang
mewariskan pengajaran dalam bentuk hukum dan orang bijaksana yang mewariskan
nasihat dalam bentuk amsal, ada juga nabi yang mewariskan firman dalam bentuk
nubuat (bdk. Yer 18: 18, Yeh 7:26). Berhubung nabi sering mendapat penglihatan
dari Allah, maka nabi biasa pula disebut sebagai pelihat (bdk.1Sam 9:9, 2Sam
24:11).[7] Sibaso hasandaran juga bisa disebut
sebagai pelihat karena mereka sanggup mengetahui keadaan orang yang sudah lama
meninggalkan kampung halamannya dan tidak diketahui kabar beritanya.[8]
Pada umumnya,ajaran
para nabi berupa kritikan dan kecaman terhadap perilaku bangsa Israel yang
tidak setia kepada Tuhan, Allah nenek moyang mereka. Sambil mengkritik dan
mengecam kelakuan jahat bagsa Israel, para nabi menyerukan pertobatan dan
menubuatkan malapetaka, apabila mereka tidak mau bertobat. Tetapi jikalau
bangsa Israel mengalami musibah, para nabi tampil untuk menghibur dengan
menubuatkan penyelamatan dari Tuhan.[9] Sibaso juga merupakan suatu perantara
nenek moyang dengan orang yang masih hidup. Sama dengan nabi, ia juga menjadi
seorang pembawa nasihat atau petunjuk untuk suatu hajat yang sedang
direncanakan.[10]
Perbedaan
Para nabi dalam
kenabian biblis sering disebut sebagai orang pilihan atau orang yang dipanggil Allah
(bdk. Panggilan nabi Yeremia dan Yesaya). Dalam hal ini terjadi hubungan vertikal dari
atas ke bawah (top-down). Sibaso bukanlah orang-orang yang
dipanggil oleh arwah nenek moyang tetapi sebaliknya sibasolah yang memanggil arwah nenek moyang (bdk. Martonggo). Dalam hal ini terjadi
hubungan vertikal dari bawah ke atas (bottom-up).
Seorang nabi tahu dan sadar bahwa pikirannya dan kata-katanya bukan dari
dirinya sendiri. Maka ketika dia berbicara, yang berbicara sesungguhnya adalah
Dia yang memanggil atau yang mengutusnya. Sibaso
tidak tahu dan tidak sadar akan apa yang terjadi pada dirinya karena ia
mengalami trance (kesurupan).
Para nabi mempunyai
hubungan yang erat dengan yang mengutusnya setiap saat, sementara sibaso
hanyalah pengantara, alat yang dijadikan oleh nenek moyang untuk menyampaikan
sesuatu kepada orang yang masih hidup. Untuk mengetahui apakah seorang nabi,
palsu atau tidak, ada beberapa kriteria yang dibuat, yakni, nubuat harus
terealisasi, bila warta adalah nubuat masa depan. Warta dan pengajaran sang
nabi harus sesuai dengan tradisi.Kalau kriteria ini tidak terpenuhi maka si
nabi boleh dikategorikan sebagai nabi palsu. Untuk mengetahui apakah sibaso seorang palsu atau tidak,
kepadaanya harus ditanyakan siapa namanya, identitasnya, seluk beluk keluarga,
rumah tangga dan tentang hal-hal yang kiranya tidak mungkin diketahui orang
luar. Jika pertanyaan itu dapat dijawab sibaso
dengan baik, maka ia bukanlah sibaso
palsu.[12]
Kesimpulan/Penutup
Nabi dalam kenabian
biblis mempunyai perbedaan dan persamaan dengan sibaso dalam budaya Batak Toba. Nabi dan sibaso adalah sama-sama pengantara dari yang ilahi (Allah dan nenek
moyang). Perbedaaan mendasar nabi dan sibaso
adalah terletak dari siapa yang berinisiatif untuk menyatakan diri. Dalam
kenabian biblis ditemukan bahwa Allahlah yang berinisiatif untuk memilih para
nabi dalam menyampaikan sabda-Nya kepada umat-Nya, sementara dalam budaya Batak
Toba, sibasolah yang berinisiatif
untuk memanggil arwah nenek moyang sehingga nenek moyang itu datang menguasai tubuhnya
dan berbicara melalui dia. (John D)
Daftar Pustaka
Lumban Tobing, Pdt. Dr. Andar. M. Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
1996.
Nainggolan, Togar. Batak
Toba Sejarah dan Transformasi Religi. Medan: Bina Media Perintis. 2012.
Njiolah, P. Hendrik. Pengantar Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara. 2005.
Sinaga, Mgr. Dr. A. B. Galasibot Permata Budaya Batak. Medan:
Galasibot. 2008.
Warneck, J. (ed.). Kamus
Batak Toba-Indonesia. (judul asli: Bataks-Nederland
Woordinboek), diterjemahkan oleh P. Leo Joosten. Medan: Bina Media. 2001.
[1] J. Warneck (ed.), Kamus Batak
Toba- Indonesia (judul asli: Bataks-Nederland
Woordinboek), diterjemahkan oleh P. Leo Joosten (Medan: Bina Media, 2001),
hlm. 39.
[2] Togar Nainggolan, Batak Toba
Sejarah dan Transformasi Religi (Medan: Bina Media Perintis, 2012),
hlm.132-133.
[3] Pdt. Dr. Andar. M. Lumban Tobing, Makna
Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm.
44-46.
[4] Datu adalah
seseorang yang mempunyai kedudukan
khusus sebagai imam dalam penyembahan kepada berhala-berhala. Merekalah yang
dapat menghubungkan orang yang masih hidup dengan roh-roh nenek moyangnya yang
sudah mati. Datu juga dikenal sebagai
orang yang bisa mengobati dan memberi nasihat.
Dialah yang menetapkan hari baik untuk menanam padi, berburu atau
menangkap ikan dan untuk menyerang musuh supaya mendapat kemenangan yang
gemilang. Dia juga yang menentukan hari terbaik untuk mendirikan rumah dan
menentukan letaknya supaya penghuninya memperoleh banyak rejeki, sahala, harta
dan anak. Seorang datu juga wajib
memperhatikan kepentingan-kepentingan seluruh daerah. Pada hakekatnya,
masing-masing datu memiliki ilmu,
mantra dan cara kerja yang berbeda satu sama lain, sekalipun cabang dan jenis
keilmuan mereka tampaknya sama. Ada beberapa jenis atau cabang kedatuan: datu panaor, ahli dalam
ilmu pengobatan; datu panusur di bisara na godang, ahli dalam ilmu berbicara
atau orator; datu pangarambu, ahli dalam ilmu perang; datu pangatiha pandang torus,
ahli nujum yang dapat melihat yang tersembunyi di balik gunung; datu
panuju, ahli cuaca atau metereologi; datu parmangmang, ahli
untuk menolak bala dan malapetaka yang mengancam; datu pasipuspus, ahli
dalam ilmu hitam dan ilmu putih; datu parmangsi di lopian, ahli dalam
ilmu menulis; datu parsisean- datu tonggo, guru, ahli mengajar; datu
partandang na bolon, pengembara, ahli dalam soal-soal kemasyarakatan
dan keadaan daerah-daerah; datu partonggo-tonggo, ahli dalam
menghubungkan orang hidup dengan arwah orang yang sudah meninggal; datu
parbaringin, ahli yang tidak pernah berbuat kesalahan dalam soal
memilih dan menetapkan hari baik. Seorang datu
atau dukun yang jujur dan beritikad baik, tidak akan menggunakan kemampuannya
untuk mencari keuntungan. Dia tidak akan menipu dan berdusta. Dia akan
melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh sehingga orang-orang yang meminta
nasihat padanya akan menghormati dan menjunjung tinggi kemampuannya. Pdt. Dr.
Andar. M. Lumban Tobing, Makna…, hlm.
36-39. Bdk. Togar Nainggolan, Batak…, hlm.131-132.
[7] P. Hendrik Njiolah, Pengantar
Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (Yogyakarta: Yayasan Pustaka
Nusantara, 2005), hlm. 37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar