1.
Latar
Belakang

Manusia adalah makhluk eksentris.[1] Ia
terarah keluar. Eksistensi manusia adalah koeksistensi yaitu “ada-bersama”
dengan yang lain dalam suatu masyarakat. Dalam masyarakat, kodrat individual
manusia berkembang sejauh bersatu dalam hubungan sosial dengan sesamanya. Untuk
menjamin hidup sosial yang aman, tertib dan sejahtera, masyarakat membutuhkan
hukum. Masyarakat dan hukum bagaikan dua sisi dari satu mata uang. Hukum ada
karena masyarakat, tanpa masyarakat tidak akan ada hukum. Landasan normatif
tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia dalam hidup bermasyarakat
disediakan dan diatur oleh hukum.[2]
Tujuan dari hukum adalah kesejahteraan umum (bonum commune)[3]. Supaya
ada keteraturan dalam masyarakat maka perlu pihak yang memiliki otoritas
dalam mengatur hidup bersama dan
mengundangkan hukum. Tujuan pengundangan hukum adalah agar semua orang tahu dan
berusaha untuk mentaatinya.[4]
Dalam pengundangan hukum, biasanya penguasa atau pihak
yang mempunyai otoritas lebih menekankan ketertiban dan ketaatan untuk mematuhi
hukum, sedangkan masyarakat lebih memperhatikan kebebasan terutama menyangkut
hak dan kewajiban. Ketertiban, ketaatan dan kebebasan untuk menepati hukum
harus diselaraskan agar suasana damai tercipta dalam suatu masyarakat.
Ketertiban dan ketaatan tidak boleh mengekang kebebasan, dan sebaliknya
kebebasan tidak boleh melanggar ketertiban dan ketaatan. Ketidakselarasan antara
keduanya akan menjadikan hukum kabur dan bahkan kehilangan makna yang
sesungguhnya.[5]Ketidakselarasan
antara ketaatan, ketertiban dan kebebasan dalam menjalankan hukum terjadi dalam
kehidupan masyarakat umum, termasuk masyarakat Indonesia dan juga di dalam Gereja.
Fenomena ketidakselarasan antara ketaatan, ketertiban
dan kebebasan dalam menjalankan hukum juga dialami oleh Yesus dan orang-orang
sezaman-Nya, khususnya mengenai pelaksanaan peraturan Sabat[6]
yang diterapkan oleh orang-orang Farisi[7]
dan ahli-ahli Taurat[8].
Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat cenderung membuat aturan tambahan
menyangkut peraturan Sabat yang tidak kalah pentingnya dengan peraturan Sabat
tesebut. Selain itu mereka juga menginterpretasikan
perintah Sabat secara kaku dan menekankan pelaksanaan hukum Sabat secara
hurufiah. Dengan demikian, hari Sabat menjadi semacam hari keramat, penuh
dengan peraturan tambahan sehingga maknanya sebagai jalan keselamatan,
kebebasan, keadilan, belas-kasihan dan kesetiaan hilang.[9]
Dalam Injil dilukiskan beberapa kisah tentang
keberatan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat terhadap tindakan Yesus dan para murid pada hari
Sabat (Mrk 2:23-28, bdk. Mat 12:1-8, Luk 6:1-5; Mrk 3:1-6, bdk. Mat 12:9-14,
Luk 6:6-11 dan Yoh 5:1, 9:11).[10]
Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat menegur dan menuduh Yesus serta para murid-Nya
sebagai pelanggar hukum Sabat. Menurut mereka, tindakan yang dilakukan oleh
Yesus dan para murid-Nya pada hari Sabat, bertentangan dengan peraturan
Sabat.[11]
Berhadapan dengan teguran dan
tuduhan orang-orang Farisi
dan ahli-ahli Taurat, Yesus membela
tindakan-Nya dan tindakan para murid-Nya. Ia mengkritik dan menentang formalisme[12]
dan legalisme[13]
orang-orang Farisi. Dasar kritik Yesus terhadap hari Sabat Yahudi pertama-tama
bukan soal praktis, yaitu yang berkaitan dengan hukum, peraturan, dan
kedisiplinan menjalankan hukum Sabat tersebut, tetapi persoalan teologis, yaitu
konsep pemahaman orang-orang Farisi yang keliru. Sorotan Yesus terhadap hari Sabat dapat disimpulkan bahwa
hari Sabat dibuat untuk manusia (Mrk 2:27) dan Anak Manusia adalah Tuhan atas
hari Sabat (Mrk 2:28). Dengan kesimpulan ini, Yesus mau menandaskan arti dan
tujuan dari hari Sabat, yakni merayakan cinta Tuhan yang berarti keselamatan dan
kebahagiaan bagi manusia. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh Yesus dan
para murid-Nya tidak bertentangan dengan tujuan hari Sabat, tetapi malah
memberi isi dan makna yang lebih sempurna.[14]
2.
Isi
Mrk 2:1-3:6 merupakan sebuah perikop besar
yang memuat beberapa kontroversi yang terjadi antara Yesus dengan orang-orang
Farisi dan ahli-ahli Taurat di Galilea. Salah satu bagian dari Mrk 2:1-3:6
adalah Mrk 2:23-28. Perikop Mrk 2:23-28 bebicara tentang kontroversi yang
terjadi antara Yesus dengan orang-orang Farisi mengenai peraturan Sabat. Kontroversi
ini terjadi karena Yesus membiarkan para murid-Nya memetik bulir gandum pada
hari Sabat. Tindakan para murid mendapat tanggapan
dan tuduhan dari orang-orang Farisi
karena menurut mereka, para murid melakukan sesuatu yang dilarang pada hari
Sabat.
Menurut
Mrk 2:23-28 tindakan yang dilakukan oleh para murid adalah berjalan di ladang
gandum pada hari Sabat dan sementara berjalan mereka memetik bulir gandum. Memetik
bulir gandum di ladang sesama tidak dilarang bagi orang Yahudi yang sedang
melakukan perjalanan, asalkan tidak menggunakan sabit sebagaimana tertulis
dalam Ul 23:25. Dengan demikian, berdasarkan Ul 23:25, tindakan para murid
diijinkan sebab mereka tidak menggunakan sabit saat memetik bulir gandum.[15] Akan
tetapi menurut orang-orang Farisi, tindakan para murid tidak hanya sekedar
memetik bulir gandum melainkan menuai dan mempersiapkan makanan untuk
menghilangkan rasa lapar. Menurut peraturan Sabat Yahudi, pekerjaan
mempersiapkan makanan untuk menghilangkan rasa lapar dan menuai pada
hari Sabat seperti yang telah dilakukan
oleh para murid adalah tindakan yang dilarang. Larangan untuk mempersiapkan makanan demi
menghilangkan rasa lapar pada hari Sabat sudah berlaku sejak orang Israel makan
manna[16]
di gurun pasir (Kel 25:2-3; 16; 31:15; 34:21).[17]
Sementara larangan untuk menuai gandum merupakan salah satu dari ke-39 larangan
Sabat[18]
sebagaimana termuat dalam Misnah 7:2[19].
Kedua tindakan ini sama dengan bekerja dan hal itu bertentangan dengan Kel
34:21: “Enam harilah lamanya engkau bekerja, tetapi pada hari yang ketujuh
haruslah engkau berhenti dan dalam musim membajak dan musim menuai haruslah
engkau memelihara hari perhentian juga”. Barang siapa yang melakukan pekerjaan
pada hari Sabat akan dilempari dengan batu sampai mati (bdk. Kel 31:15; 35:1;
Bil 15:32-36).[20]
Itulah
sebabnya orang-orang Farisi mempersalahkan Yesus dan menuduh Dia sebagai
pelanggar peraturan Sabat, karena Ia membiarkan para murid-Nya bekerja pada
hari Sabat.
Yesus menjawab keberatan orang-orang Farisi dengan dua
cara. Pertama, Yesus menganalogikan tindakan para murid-Nya dengan pelanggaran
Daud ketika ia
melarikan diri dari Saul. Dengan menganalogikan tindakan para murid-Nya dengan
pelanggaran Daud, Yesus mau menentang kepicikan dan kekakuan orang-orang Farisi
dalam melaksanakan hukum Sabat. Yesus juga mau membela tindakan para murid-Nya.
Daud bagi orang Yahudi adalah seorang raja yang mempunyai otoritas dan sebagai
pembebas. Tindakan Daud memakan Roti Sajian dan membagikan roti tersebut kepada
para pengikutnya dianggap tidak melanggar hukum. Dengan mengangkat kisah Daud,
Yesus secara implisit sudah menyingkapkan keberadaan diri-Nya. Ia jauh lebih
besar dan lebih tinggi dari pada Daud. Ia berkuasa atas segala sesuatu juga
untuk menafsirkan hukum Taurat secara khusus hukum Sabat.[21]
Sebagaimana Daud sah-sah saja melanggar ketetapan Rumah Allah demi kebaikan dan
keselamatannya serta para pengikutnya, demikian juga halnya Yesus membenarkan
tindakan para murid-Nya.[22]
Kedua, Yesus menyatakan bahwa hari Sabat diadakan untuk manusia, dan
bukan manusia untuk hari Sabat serta Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat. Dengan
mengatakan hari Sabat untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, Yesus
mau menyadarkan orang-orang Farisi akan makna asali, dasar pemberian dan tujuan
hari Sabat oleh Allah. Tuhan tidak menciptakan manusia sebagai pelengkap atas
hari Sabat. Tuhan menciptakan manusia seturut gambar Allah (bdk. Kej 1:26).
Manusia diberi kuasa oleh Allah untuk menguasai dan mengatur segala sesuatu
termasuk mengenai Sabat (bdk. Kej 1:28). Selain itu, Yesus juga mau
mengingatkan orang-orang Farisi akan tindakan Allah yang membebaskan Israel
dari perbudakan Mesir. Selama menjadi budak, mereka tidak mengenal hari
istirahat. Sepanjang minggu, bulan dan tahun, mereka bekerja tanpa henti. Akan
tetapi setelah mereka dibebaskan dari Mesir, Allah memberikan hari Sabat, yaitu
hari ketujuh dalam setiap pekan untuk beristirahat.[23]
Oleh karena itu, Sabat bagi bangsa Israel pada mulanya adalah kurnia Allah demi kesejahteraan manusia (bdk. Ul 5:12-15;
Kel 20:8-11; Kej 2:3), bukan sebagai hari keramat, yang dibebani dengan
peraturan yang ditambah-tambah (bdk. Yer 17:1; Ams 8:5 dan larangan-larangan
Sabat lainnya). [24] Melalui ungkapan “Sabat diadakan untuk manusia dan
bukan manusia untuk hari Sabat” Yesus juga mau mengkritik konsep pemahaman
orang-orang Yahudi yang salah mengenai Sabat. Ia tidak menolak hukum Taurat
dan hukum Sabat. Malahan Ia datang untuk menggenapinya. Ia menafsirkan dan
menyempurnakan hukum Sabat ke bentuknya yang asali yaitu demi kesejahteraan dan
keselamatan manusia.[25] Kemudian,
jawaban Yesus ditutup dengan penyingkapan kekuasaan yang dimiliki-Nya, yakni
Anak Manusia adalah Tuhan, juga atas hari Sabat. Melalui ungkapan ini, Yesus
hendak menyingkapkan kekuasaan dan kewibawaan-Nya atas segala sesuatu juga atas
hari Sabat. Ia mempunyai otoritas yang lebih tinggi daripada orang-orang Farisi
dan ahli-ahli Taurat untuk menafsir tradisi dan peraturan Sabat bahkan hukum
Taurat lainnya. Superioritas Yesus atas pemimpin Yahudi, mau menunjukkan kuasa
dan wibawa yang dimiliki-Nya. Yesus adalah Tuhan dan Anak Allah yang mempunyai
kuasa yang sama dengan Allah.[26]
Oleh karena itulah, Ia menentang formalisme orang-orang Farisi dalam
memberlakukan dan menjalankan hukum Sabat.[27]
Menurut Yesus, adakalanya manusia harus melanggar
hukum buatan manusia itu sendiri, termasuk peraturan hari Sabat apabila
penetapan huruf hukum atau peraturan telah memperbudak dan tidak membebaskan
manusia. Tujuan penetapan hari Sabat adalah untuk memungkinkan manusia mengucap
syukur dan berbuat baik. Maka, peraturan Sabat harus mengarahkan manusia kepada
praktek kehidupan yang melebihi hukum atau peraturan itu sendiri. Pandangan
Yesus atas peraturan hari Sabat ini bertentangan dengan pemahaman orang-orang
Farisi dan ahli-ahli Taurat, yang lebih menekankan ketaatan hurufiah tanpa
mempertimbangkan aspek kemanusiaan, moral dan cinta kasih. Intisari
dari semua hukum termasuk hukum Sabat dan hukum Taurat lainnya adalah hukum
yang paling utama, yakni mengasihi Tuhan dan sesama (bdk. Mrk 12:29-31)[28].
Cinta atau kasih kepada Allah dan sesama jauh melampaui ketaatan hukum secara
hurufiah. Buah dari ketaatan kepada hukum harus diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari, yakni memberikan cinta kasih kepada sesama. Setiap orang yang taat
kepada perintah Tuhan dan mencintai-Nya, ia juga harus mencintai sesamanya.[29]
Cinta kepada sesama menjadi bukti bahwa manusia sungguh-sungguh mencintai
Allah. Cinta kepada sesama melalui perbuatan-perbuatan baik merupakan tindakan
yang paling mulia dan sesuai dengan semangat hari
Sabat.[30]
3.
Refleksi
Pastoral
1.
Kitab
Hukum Kanonik sebagai Sarana Keselamatan
Kitab
hukum Kanonik merupakan suatu naskah legislatif dalam Gereja. Sebagai sebuah
institusi yang hadir di dunia, Gereja mutlak memerlukan hukum demi ketertiban
hidup sosial dalam tubuh Gereja. Formulasi hukum Gereja, sebagian bersandar
pada warisan hukum Perjanjian Lama dan sebagian lagi bersandar pada hukum
positif. Dalam Perjanjian Lama, hukum Taurat dan hukum para nabi merupakan
sarana keselamatan bagi bangsa Israel. Yesus sendiri tidak meniadakannya tetapi
menggenapinya (bdk. Mat 5:7). Sebagaimana hukum Taurat dan hukum para nabi
menjadi sarana keselamatan, demikian juga hendaknya Kitab Hukum Kanonik. Dalam
mengatur warganya, Gereja meniru semangat hukum positif sebagaimana yang dibuat
oleh para pemerintah negara untuk mengatur para warganya. Gereja dengan sungguh
menyadari keberadaan hukum utama, yakni hukum ilahi yang menjadi dasar dari
hukum lainnya. Akan tetapi, Gereja sebagai institusi yang hadir di dunia
mengikuti jejak hukum positif dan menetapkan banyak peraturan yang berbau
yuridis demi kesejahteraan anggota-anggotanya.[31]
Tujuan penetapan hukum
Gereja adalah agar semua anggota Gereja memperoleh keselamatan dan kebebasan.
Hukum Gereja harus senantiasa menjunjung tinggi keselamatan jiwa-jiwa, sebab
itulah hukum yang tertinggi dari semua hukum Gereja lainnya (salus animarum suprema lex).[32]
Adalah suatu pengalaman menyedihkan bila ada pemimpin Gereja mendogmatisir
hukum-hukum kanon untuk kasus-kasus khusus dan pada masa-masa tertentu.
Pelaksanaan hukum kanon secara kaku dan hurufiah akan membuat hukum itu
kehilangan makna dan tujuannya. Dengan demikian hukum kanon tidak menjadi
sarana keselamatan dan kebebasan bagi warga Gereja melainkan menjadi suatu
beban yang sulit ditanggung.[33]
Gereja
harus senantiasa menyadari fungsi dan tugas perutusannya di dunia dari saat ke
saat. Fungsi dan tugas utama Gereja adalah menghantarkan semua orang kepada
persatuan dengan Kristus dengan cara meniru Kristus dalam pelayanannya, yakni,
memberi keselamatan dan kebebasan bagi semua orang untuk melakukan yang baik
dan mengembangkan diri sepenuhya. Gereja juga harus membimbing putera-puterinya
ke arah tanggung jawab yang setinggi-tingginya dan kebebasan penuh kegembiraan
yang jauh melampaui batas-batas hukum. Hukum Gereja bukanlah penentu
keselamatan, melainkan hanya sebagai sarana untuk membantu umat supaya dapat
hidup menurut hukum Kristus dan Injil-Nya.[34]
Berhadapan dengan kasus-kasus atau pelanggaran-pelanggaran berkaitan dengan
hukum kanon, Gereja harus senantiasa meniru sikap Yesus yang mengatakan bahwa
hari Sabat dibuat untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat (Mrk 2:27).
Demikian juga halnya dengan hukum Gereja, hukum Gereja dibuat demi
kesejahteraan umat bukan umat untuk hukum Gereja. Selain itu, Gereja juga harus
sungguh-sungguh menyadari bahwa Yesus adalah Tuhan atas segalanya termasuk atas
hukum Gereja (bdk. Mrk 2:28). Oleh karena itu, dalam memberlakukan hukum
Gereja, pemimpin Gereja harus senantiasa mengutamakan cinta kasih pastoral
daripada ketaatan secara hurifiah terhadap hukum. Yesus mencela dan menentang
pelaksanaan hukum secara hurufiah, karena pelaksanaan hukum secara demikian
sering mengorbankan semangat cinta kasih dan pertimbangan moral. Pemimpin
Gereja juga harus mampu melampaui hukum dan menafsirkan hukum sesuai dengan
tuntutan zaman, agar hukum Gereja tidak kaku melainkan dapat diterima oleh umat
sebagai suatu anugerah dan tanda perhatian dan cinta kasih Kristus yang
menyelamatkan di dalam Gereja[35]
2.
Taat
dan Kritis Terhadap Hukum
Hukum atau peraturan adalah suatu tuntutan dari luar
diri manusia yang mewajibkan manusia untuk mentaatinya. Dengan demikian,
manusia dapat bertindak dan melakukan sesuatu sesuai dengan tuntutan hukum
tersebut. Hukum mempunyai daya mengikat dan mewajibkan bagi semua orang yang
berada dalam suatu lingkup masyarakat, negara atau lingkup sosial lainnya.[36]
Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana orang-orang Kristen menanggapi
berbagai hukum dan peraturan, baik sebagai warga Gereja dan Negara?
Orang-orang Kristen
adalah mereka yang menamakan diri sebagai pengikut Kristus. Mereka hidup di
dunia dan menjadi bagian dari suatu budaya, negara dan masyarakat. Setiap
negara, budaya dan masyarakat, pasti mempunyai hukum dan peraturan yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Berhadapan dengan hukum
dan peraturan, orang-orang Kristen dipanggil untuk meneladani Yesus. Semasa
hidup-Nya, Yesus kerap berhadapan dengan hukum dan peraturan. Ia senantiasa
patuh dan taat kepada hukum agama dan sipil dari bangsa-Nya. Pada hari Sabat,
Yesus pergi ke Sinagoga untuk beribadat dan menunaikan perintah Sabat (Mrk
1:21).[37]
Selain taat kepada hukum, Yesus juga senantiasa mengkritik dan mencela hukum
dan peraturan yang tidak menghantar manusia untuk mencapai kepenuhan hidupnya.
Ia mencela ketaatan hurufiah orang-orang Farisi dalam menjalankan hukum Taurat
dan Sabat (Mrk 2:23-28).[38]
Kristus taat kepada
kekuasaan manusiawi melaui hukum dan peraturan yang sudah ditetapkan, demi
cinta-Nya kepada Bapa. Akan tetapi Ia selalu bersikap terbuka dan
terang-terangan untuk mengecam setiap penyalahgunaan kekuasaan yang telah
diberikan oleh Allah kepada manusia. Ketaatan kepada hukum dan peraturan tidak
boleh menghilangkan karya keselamatan atau tindakan kebajikan kepada sesama
manusia.[39]
Setiap pengikut Kristus,
dipanggil untuk bersedia menerima kehendak Tuhan melalui sikap taat kepada
peraturan-peraturan penguasa dan pemimpin-pemimpin yang telah dipilih oleh
Tuhan. Ketaatan orang-orang Kristen kepada hukum, bukanlah ketaatan buta
melainkan ketaatan yang dihidupi oleh semangat cinta kasih. Orang-orang Kristen
tidak boleh menaruh ketaatannya secara total di bawah perintah-perintah sipil
dan Gereja.[40]
Mentaati hukum secara
hurufiah, baik itu hukum sipil maupun hukum Gereja, bukanlah suatu identitas
untuk menunjukkan bahwa seseorang adalah warga negara sejati atau orang Kristen
yang benar. Dalam mentaati hukum, orang-orang Kristen harus mampu memahami dan
menyelami maksud dan makna terdalam dari suatu hukum. Ketaatan kepada hukum
secara hurufiah tidak boleh dijadikan sebagai sarana untuk membenarkan diri dan
meneguhkan diri sendiri sebagai orang benar, sebagaimana yang telah dilakukan
oleh orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat.[41]
Dalam menatati hukum,
orang-orang Kristen dipanggil untuk meniru sikap Yesus. Ia senantiasa taat
tetapi juga selalu bersifat kritis. Salah satu bentuk kritikan Yesus kepada
hukum dilukiskan dalam Mrk 2:27, “hari Sabat dibuat untuk manusia dan bukan
manusia untuk hari Sabat”. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa setiap hukum
dibuat demi kesejahteraan manusia, bukan manusia yang dikorbankan demi ketaatan
belaka kepada hukum. Sikap Yesus, di atas bisa disamakan dengan prinsip epikeia[42].
Epikeia adalah suatu tafsiran atas hukum manusia atau hukum positif, bukan
hukum kodrat. Menafsir hukum berarti memahami makna terdalam dan semangat hukum
bukan berdasar pada apa yang tertulis. Prinsip epikeia, sebagaimana yang telah
dilakukan oleh Yesus, perlu dipahami oleh setiap orang, mengingat bahwa hukum
manusia tidak pernah sempurna. Prinsip epikeia tidak bermaksud untuk
menghilangkan hukum atau menghalalkan pelanggaran hukum dengan sesuka hati.
Penerapan epikeia dimaksudkan agar seseorang bisa melampaui hukum yang tertulis
dan bisa melihat makna terdalam dari suatu hukum. Memang benar, hukum menuntut
ketaatan. Akan tetapi, makna terdalam dari suatu hukum bukan ketaatan hurufiah
melainkan kesejahteraan umat manusia.[43]
Dengan memahami prinsip
epikeia, orang-orang Kristen diharapkan mampu untuk mentaati dan mengkritik
penguasa dunia dan juga para pemimpin Gereja dalam menerapkan hukum yang bertentangan
dengan kesejahteraan umum. Taat kepada hukum merupakan suatu kewajiban, sejauh
hukum itu mampu untuk membantu manusia dalam mencapai kesempurnaan hidupnya.
Mengkritik hukum juga merupakan suatu kewajiban, sejauh hukum itu tidak
menyelamatkan dan menyejahterahkan manusia. Ketidakadaan semangat untuk
mengkritik bukan mencirikan suatu ketaatan Kristen yang mulia. Seorang Kristen
harus mampu mengkritik dengan cinta kasih dan tetap berpedoman pada Yesus sang
Guru. Semangat mengkritik yang dikembangkan secara sehat akan mempunyai
relevansi moral tanpa merongrong kekuasaan manapun juga.[44] (John D)
DAFTAR PUSTAKA
Anton
Pareira, Berthold. Alkitab dan
Ketanahannya. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Baetoa, John and John Muddiman. The Oxford Bible Commentary. Oxford: University Press, 2001.
Browing, W. R. F. (ed.). Kamus Alkitab: Panduan Dasar ke dalam Kitab-kitab, Tema, Tokoh dan
Istilah Alkitab (judul asli: A
Dictionary of the Bible), diterjemahkan oleh Liem Khiem Yang. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2009.
Chang,William.
Pengantar Teologi Moral. Yogyakarta:
Kanisius, 2001.
Collins, John J. The
Apocalyptic Imagination: An Introduction to the Jewish Matrix of Christianity. New
York: Grossroad, 1989.
Darmawijaya,
St. Gelar-gelar Yesus: Pustaka Teologi. Yogyakarta:
Kanisius, 1991.
Dister, Nico Syukur. Kristologi: Sebuah Sketsa. Yogyakarta: Kanisius, 1987.
--------. Teologi
Trinitas dalam Konteks Mistagogi: Pengantar ke dalam Misteri Allah Tritunggal. Yogyakarta:
Kanisius, 2012.
--------. Teologi
Sistematika 2. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Donahue,
John R. The Gospel of Mark.
Minnesota: The Liturgical Press, 2002.
Eko
Riyadi, St. Markus:”Engkau adalah
Mesias”. Yogyakarta: Kanisius, 2011.
France,
R. T. The Gospel of Mark. Carliste:
The Pater Noster Press.
Gould, Ezra P. Critical
and Exegetical Commentary on The Gospel According to St. Mark. Edinburgh:
ICC, 1932.
Groenen, C. Pengantar
ke dalam Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius, 1984.
Guelich, Robert. A Word
Biblical Commentary. Dallas: Word Books, 1989.
Gundry, Robert H. Mark:
A Commentary on His Apology for The Cross. Michigan: W. B. Eerdmans
Publishing Co, 1992.
Guthrie, Donald (ed.). Teologi Perjanjian 1 (judul asli: New Testament Theology), diterjemahkan oleh Lisda Tirtapraja
Gamadhi dkk. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Haering (ed.), Bernard. The Law of Christ (judul asli: Das
Gesetz Christi), diterjemahkan
oleh Edwin G. Kaiser. Cork: The Mercier Press, 1967.
J. Borg, Marcus. Conflict
Holiness and Politics in The Teaching of Jesus. Pennsylvania: Harrisburg,
1998.
Jacobs,
T. Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian
Baru. Yogyakarta: Kanisius, 1982.
Kitab Hukum
Kanonik (Codex Iuridis
Canonici 1983). Diterjemahkan oleh Sekretariat KWI. Jakarta: Obor, 2006.
Konferensi Waligereja Indonesia. Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius;
Jakarta: Obor, 1996.
LAI. Alkitab. Terjemahan
ini diterima dan diakui oleh Konferensi Waligereja Indonesia. Jakarta: Lembaga
Alkitab Indonesia, 2008.
Lalu, Yosef. Makna
Hidup dalam Terang Iman Katolik 1: Manusia Menggumuli Makna Hidupnya. Yogyakarta:
Kanisius, 2010.
Lane, William L. The
Gospel of Mark. Michigan: Grand Rapids, 1974.
Leks,
Stefan. Tafsir Injil Markus. Yogyakarta:
Kanisius, 2003.
Leon-Dufour (ed.), Xavier. Ensiklopedi Perjanjian Baru (judul asli: Dictionnaire du Nouveau Testament), diterjemahkan oleh Stefan Leks
dan A. S. Hadiwiyata. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Mangunhardjana,
A. Isme-isme dari A sampai Z.
Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Mann, C. S. Mark:
A New Translation with Introduction and Commentary. London: The Anchor
Bible Doubleday, 1986.
Nadeak, Largus. “Jiwa Merdeka dalam Masyarakat Yang Serba Aturan”, dalam Logos: Jurnal Filsafat-Teologi Fakultas Filsafat Universitas Katolik
St. Thomas Medan, 7/1. Januari 2009.
Nineham, D. E. Saint
Mark. England: Penguin Books, 1973.
Nolan (ed.), Albert. Yesus sebelum Agama Kristen: Warta Gembira yang memerdekakan (judul
asli: Jesus Before Christianity: The
Gospel of Liberation), diterjemahkan oleh I. Suharyo. Yogyakarta: Kanisius,
2005.
O’ Collins, Gerald -Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (judul asli: A Concise Dictionary of Theology),
diterjemahkan oleh I. Suharyo. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Pandor, Pius. Ex
Latina Claritas: Dari Bahasa Latin Muncul Kejernihan. Jakarta: Obor, 2010.
Ratzinger, Joseph (ed.). Yesus dari Nazaret (judul asli: Jesus
von Nazareth), diterjemahkan oleh B. S. Mardiatmadja. Jakarta: Gramedia,
2007.
Riyadi, St. Eko. Yesus
Kristus Tuhan Kita: Mengenal Yesus Kristus dalam Warta Perjanjian Baru. Yogyakarta:
Kanisius, 2011.
--------.
Markus:”Engkau adalah Mesias”. Yogyakarta:
Kanisius, 2011.
Seto Marsunu, YM. Markus:
Injil Yesus Kristus-Anak Allah. Yogyakarta: Kanisius, 2011.
Siauwarjaya, Afra. Membangun
Gereja Indonesia 2: Katekese Umat dalam Pembangunan Gereja Indonesia. Yogyakarta:
Kanisius, 1987.
Simamora,
Serpulus. Kitab Nabi-nabi Besar: Yesaya,
Yeremia, Yehezkiel, Daniel. Pematangsiantar: STFT St. Yohanes, 2004.
(diktat)
-------. Kisah
Sengsara dan Kebangkitan. Pematangsiantar: STFT St. Yohanes, (tanpa tahun).
(diktat)
-------. Pengantar
ke dalam Pentateukh. Pematangsiantar: STFT St. Yohanes, 2001. (diktat)
Snijders, Adelbert. Antropologi
Filsafat: Manusia Paradoks dan Seruan. Yogyakarta: Kanisius. 2004.
Stanislaus, Surip. Dari
Sabat ke Dominica: Pergeseran waktu istirahat dan Ibadat dari Hari Sabtu ke
Haru Minggu. Medan: Bina Media, 2001.
------. Kata-kata Pedas Bernas. Yogyakarta:
Kanisius, 2007.
Sumaryono, E. Etika
Profesi: Norma-norma bagi Penegak Hukum. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Tafaib,
Gratiana. “Yesus dan Ibadat”, dalam Wacana Biblika, 6/1. Januari-Maret,
2006.
Telford, W. R. The
Theology of The Gospel of Mark. Cambridge: University Press, 1999.
Van Bruggen, Jakob (ed.). Markus: Injil menurut Petrus (judul asli: Marcus: Het Evangelie Volgens Petrus), diterjemahkan oleh Dr. Th.
Van den End. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2006.
-------. Pengantar
Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Yasua,
Penka. Perempuan Sumber Dosa? Malang:
Dioma, 2011.
[1] Adelbert Snijders, Antropologi
Filsafat: Manusia Paradoks dan Seruan (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm.
35.
[2] Pius Pandor, Ex Latina Claritas:
Dari Bahasa Latin Muncul Kejernihan (Jakarta: Obor, 2010), hlm. 151.
[3] Kesejahteraan umum (bonum commune)
selalu mengindikasikan tiga hal penting. Pertama, penghargaan terhadap pribadi
sebagaimana adanya. Kedua, tewujudnya kesejahteraan sosial seperti pendidikan,
kesehatan, kesempatan kerja, kebebasan dan sebagainya. Ketiga, adanya jaminan
sosial dan perdamaian. Setiap warga perlu merasa aman untuk hidup dalam
mayarakat. Dalam konteks ini, hukum mengatur komunitas masyarakat agar menjadi
tenang dalam mencapai kesejahteraan umum. [Lihat Pius Pandor, Ex Latina Claritas:…, hlm. 150.]
[6] Sabat berasal dari kata Ibrani, yakni sbt. Diduga, kata ini berakar pada kata Akadia yakni sabattum atau sappatum, yang artinya berhenti. Oleh karena itu, sbt atau sabattum merupakan hari istirahat dari kerja, baik bagi manusia,
hewan piaraan, tanah maupun Allah. Di lingkungan Babel, kata sapattu adalah hari istirahat untuk para
dewa. Hari istirahat ini berkaitan dengan kalender Bulan sebagai hari pesta
untuk berdoa dan bertobat. Di lingkungan Israel, makna kata Sabat berkembang
selaras dengan periode sejarah bangsa itu. Dalam periode sebelum pembuangan,
Sabat meliputi dua aspek, yakni hari istirahat dari aktivitas perdagangan dan
penghakiman dan hari ibadat untuk mengenang dan menguduskan istirahat Allah dan
pembebasan bangsa Israel dari perbudakan di tanah Mesir. Dalam periode
pembuangan, pada hari Sabat orang dilarang bekerja demi pengudusan hari itu
bagi Allah. Dalam periode sesudah pembuangan, pemeliharaan Sabat sangat dijunjung
tinggi karena hari Sabat berkaitan dengan pembangunan kembali Israel, situasi
penganiayaan dan peraturan komunitas Yahudi. [Lihat Surip Stanislaus, Dari Sabat ke Dominica: Pergeseran waktu
istirahat dan Ibadat dari Hari Sabtu ke Hari Minggu (Medan: Bina Media,
2001), hlm. 15-16; bdk. YM Seto Marsunu, Markus:
Injil Yesus Kristus-Anak Allah (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 74-75.]
[7] Farisi berasal dari kata Yunani yaitu, pherisaios. Kata pherisaios diturunkan dari bahasa Aram yakni perisyayya, artinya “yang terpisah”. Nama Farisi mengacu kepada
kelompok keagamaan Yahudi yang menekankan keharusan menggenapi setiap segi
hukum Taurat, bukan hanya yang jelas-jelas diperintahkan atau dilarang,
melainkan juga petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan perintah dan larangan.
Kaum Farisi menetapkan 613 peraturan, terdiri dari 248 perintah dan 365
larangan. Kemudian mereka menafsirkan dan melengkapinya sedemikian rupa
sehingga tidak mungkin untuk dilanggar orang. Sehubungan dengan hari Sabat,
mereka menetapkan 39 larangan. Mereka menetapkan pula perintah-perintah yang tidak
tertera secara nyata dalam Taurat. Perintah dan larangan ini, mereka sebut
hukum lisan. Kemudian, orang-orang Farisi sangat menekankan etika bukan
teologi. Oleh karena itu, ajaran mereka mudah dicerna oleh rakyat dan mereka
dihormati oleh rakyat sebagai kelompok orang saleh. [Lihat Xavier Leon-Dufour
(ed.), Ensiklopedi Perjanjian Baru (judul
asli: Dictionnaire du Nouveau Testament),
diterjemahkan oleh Stefan Leks dan A. S. Hadiwiyata (Yogyakarta: Kanisius,
1990), hlm. 225; bdk. Stefan Leks, Tafsir
Injil Markus (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 124.]
[8] Dalam bahasa Yunani, ahli-ahli Taurat disebut grammateus, yang artinya ahli kitab.
Mereka sangat paham tentang Kitab Suci dan tradisi lisan. Biasanya mereka
mengajar pada segala kesempatan, misalnya di jalan-jalan, pasar, rumah,
Sinagoga, bahkan di pelataran Bait Suci. Pada mulanya ahli-ahli Taurat berasal
dari kalangan imam. Akan tetapi pada perkembangan kemudian, para awam yang
mahir Kitab Suci, juga disebut ahli Taurat. [Lihat Stefan Leks, Tafsir Injil…, hlm. 73-74.]
[9] Gratiana Tafaib, “Yesus dan Ibadat”,
dalam Wacana Biblika, 6/1
(Januari-Maret, 2006), hlm. 17; bdk. Albert Nolan (ed.), Yesus sebelum Agama Kristen: Warta Gembira yang memerdekakan (judul
asli: Jesus Before Christianity: The
Gospel of Liberation), diterjemahkan oleh I. Suharyo (Yogyakarta: Kanisius,
2005), hlm. 133-136.
[11] Konferensi Waligereja Indonesia, Iman
Katolik: Buku Informasi dan Referensi (Jakarta: Obor, 1996), hlm. 46.
[12] Formalisme berasal dari bahasa Latin yakni, forma yang berarti “bentuk”, “ungkapan”, atau “rumusan”. Formalisme
merupakan suatu sikap atau teori etika yang lebih mengutamakan dan menekankan
kehendak baik dan pematuhan kepada bentuk, ungkapan, rumusan dan forma hukum
daripada isi, maksud dan tujuan asalinya. Formalisme sebagai sikap banyak
terjadi di bidang hukum, etika, moral dan agama. Dalam hukum, etika dan moral formalisme
lebih memetingkan bentuk, ungkapan, rumusan, huruf-huruf yang menyatakannya
dari pada isi dan maksud yang tidak dinyatakan. Dalam agama, formalisme secara
berlebihan menekankan segi lahiriah dalam praktek dan ibadat dengan
mengorbankan isi, arti dan maksud yang dikandungnya, dan sibuk dengan ketetapan
perilaku, upacara dan perayaan keagamaan. Etika formalisme mengungkapkan itikad
baik pelakunya karena dengan sikap itu para pelakunya menampilkan kehendak
untuk menjalankan kewajiban hukum, etika, moral dan agama sebaik-baiknya. Oleh
karena itu, mereka dapat menjadi fanatik dalam kehidupan hukum, etika, moral
dan agama. Orang formalis juga dapat berpandangan sempit karena wawasannya
terlalu terbatas pada maksud pribadi dan hukum, kode etika, ajaran moral dan
agama. Karena pandangan sempit, orang formalis juga bergaya hidup kaku. [Lihat
A. Mangunhardjana, Isme-isme dari A
sampai Z (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 86-89.]
[13] Legalisme berasal dari kata Latin yakni, lex yang berarti hukum. Secara umum legalisme merupakan pentaatan
hukum huruf demi huruf secara ketat dan berlebihan. Menurut paham legalisme,
yang baik dan buruk dalam hidup sudah ditetapkan secara baku dalam hukum.
Perilaku hidup yang baik adalah mentaati hukum dengan melakukan hukum yang
diperintahkan dan tidak melakukan yang dilarang. Penganut paham legalisme kerap
merumuskan hukum dan aturan untuk segala perilaku hidup yang mungkin terjadi.
Hukum dan aturan yang mereka buat biasanya amat lengkap dan sampai
sekecil-kecilnya sehingga sulit untuk diingat apalagi untuk dilaksanakan.
Akibat terlalu sibuk dengan hukum dan peraturan, kaum legalis menjadi lupa akan
arti dan cita-cita kehidupan. Kaum legalis berjasa dalam memberi kepastian dan
keamanan hidup, tetapi kelemahan dari prinsip mereka adalah membuat orang
menjadi bersikap minimalistis dalam bertindak dan jangkauan kehidupan
dipersempit. [Lihat A. Mangunhardjana, Isme-isme…,
hlm. 145-147.]
[16] Ada beberapa pengertian tentang manna. Ada yang mengatakan bahwa manna
adalah sejenis tanaman jamur yang ditemukan di tanah, berwarna putih dan manis
rasanya (bdk. Kel 16:13). Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa manna
adalah getah yang dikeluarkan oleh serangga atau kepompong dari kumbang parasit
Trehala manna. Bentuknya seperti
embun dan mempunyai rasa seperti madu. Namun, yang pasti adalah bahwa manna
merupakan makanan yang menopang orang Israel dalam pengembaraan mereka di
padang gurun. Dalam perjalanan bangsa Israel di padang gurun, manna selalu
turun dua kali lipat pada hari Jumat, agar mereka tidak bekerja pada hari
Sabat. Peristiwa turunnya manna digambarkan sebagai peristiwa mukjizat (bdk. Ul
8:3). [Lihat W. R. F. Browing (ed.), Kamus
Alkitab: Panduan Dasar ke dalam Kitab-kitab, Tema, Tokoh dan Istilah Alkitab (judul
asli: A Dictionary of The Bible),
diterjemahkan oleh Liem Khiem Yang (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hlm.
252.]
[18] Dalam Mishnah 7:2 terdapat 39 kegiatan yang tidak boleh dilakukan pada
hari Sabat, yakni: membajak ladang, menabur benih gandum, menuai gandum, mengikat gandum, menggiling gandum, mengirik gandum,
menampi gandum, meremas tepung gandum, menyaring hasil gandum, memasak makanan,
mencukur bulu domba, mencuci bulu domba, memukuli wool, mencelup atau mewarnai
wool, memintal wool, menenun wool, membuat pakaian, merajut serat, melepas
rajut, menjalin jerat, melepas jerat, menjahit pakaian, menyobek kain jahitan,
berburu rusa, membunuh rusa, menyembelih rusa, menguliti rusa, mengasinkan
kulit rusa, mengolah kulit rusa, menggosok kulit rusa, menulis dua surat,
membatalkan menulis dua surat, bekerja di pabrik, membuat barang, menyalakan
api, memadamkan api, bertukang dengan martil dan memindahkan benda ke tempat
lain. Dalam kasus yang membahayakan, khususnya bahaya mati, ada beberapa jenis
pekerjaan terlarang yang boleh dilakukan, bahkan diharuskan. Misalnya,
melarikan diri untuk menyelamatkan hidup atau nyawa, membantu orang melahirkan,
menyusui bayi jika ada bahaya mati, menolong orang yang sekarat, memasak air
bagi orang sakit, baik untuk minum maupun untuk merawatnya. [Lihat Surip
Stanislaus, Dari Sabat…, hlm. 15-15;
bdk. YM Seto Marsunu, Markus: Injil…,
hlm. 74-75.]
[19] Misnah adalah bagian dari Talmud. Talmud
berarti ajaran yang di dalamnya terdapat karya sastra post-biblis Yahudiah
sebagai keterangan atau komentar atas Taurat. Ada dua jenis Talmud berdasarkan
tempat asalnya, yakni Talmud Babilon dan Talmud Yerusalem. Sementara
berdasarkan isinya,Talmud terbagi atas dua bagian, yaitu Misnah dan Gemara.
Kedua bagian ini sezaman dengan Perjanjian Baru dan masa bapa apostolik Gereja Perdana.
Misnah berarti ulangan atau hukum yang kedua. Inilah yang dikenal dengan hukum
lisan sebagai pasangan dari Pentateukh atau hukum tertulis. Sedangkan Gemara
berarti pelengkap. Menurut ajaran para Rabbi, Misnah itu berasal dari Musa.
Dalam perjalanan waktu, Misnah sebagai hukum lisan sedemikian bebas menafsirkan
Taurat. Maka pada suatu saat tafsiran Misnah dituliskan. Itulah yang terjadi
pada akhir abad pertama SM oleh Rabbi Hillel dan Shammai. Karya ini dilanjutkan
pada abad pertama Masehi oleh Rabbi Aqiba dan Meir. [Lihat Serpulus Simamora, Kisah Sengsara dan Kebangkitan (Pematangsiantar:
STFT St. Yohanes, (tanpa tahun), hlm. 16. (diktat)]
[20] John R. Donahue and Daniel J. Harrington, The Gospel of Mark (Minnesota: The Liturgical Press, 2002), hlm. 111.
[28] Mrk 12:29-31; Hukum yang terutama ialah: dengarlah hai orang Israel,
Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap
hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan
segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua
hukum ini.
[29] Bernard Haering (ed.), The Law of
Christ (judul asli: Das Gesetz
Christi), diterjemahkan oleh
Edwin G. Kaiser (Cork: The Mercier Press, 1967), hlm. 32.
[32] Kitab Hukum Kanonik 1983 (Codex
Iuris Canonici 1983), diterjemahkan oleh Sekretariat KWI (Jakarta: Obor,
1991), Kan. 1752.
[38] Yosef Lalu, Makna Hidup dalam
Terang Iman Katolik 1: Manusia Menggumuli Makna Hidupnya (Yogyakarta:
Kanisius, 2010), hlm. 172.
[40] Nico Syukur Dister, Teologi
Trinitas dalam Konteks Mistagogi: Pengantar ke dalam Misteri Allah Tritunggal (Yogyakarta:
Kanisius, 2012), hlm. 199.
[42] Epikeia merupakan tafsiran atas hukum manusia bukan berdasarkan apa yang
tertulis melainkan berdasarkan maksud dan semangat yang termaktub dalam hukum
itu ketika menghadapai kasus-ksusu moral yang belum pernah dipikirkan pada saat
merumuskan hukum itu. Dalam arti sempit, epikeia dimengerti sebagai tafsiran
restriktif atas hukum,
oleh otoritas pribadi dengan maksud membebaskan
seseorang untuk melaksanakan hukum tertentu dalam keadaan sulit berdasarkan
maksud asli perundang-undangan (bdk. Mrk 2:27; 3:1-6; Luk 13:10-17; 14:1-6).
Thomas Aquinas memandang epikeia sebagai suatu keutamaan keadilan. Epikeia
diperlukan mengingat adanya ketidaksempurnaan hukum manusia atau hukum positif.
[Lihat William Chang, Pengantar Teologi
Moral (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 69-71.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar