Kamis, 05 November 2015

Yesus Adalah Tuhan Atas Hari Sabat Suatu Ulasan Eksegetis-Teologis atas Mrk 2:23-28

1.             Latar Belakang

Manusia adalah makhluk eksentris.[1] Ia terarah keluar. Eksistensi manusia adalah koeksistensi yaitu “ada-bersama” dengan yang lain dalam suatu masyarakat. Dalam masyarakat, kodrat individual manusia berkembang sejauh bersatu dalam hubungan sosial dengan sesamanya. Untuk menjamin hidup sosial yang aman, tertib dan sejahtera, masyarakat membutuhkan hukum. Masyarakat dan hukum bagaikan dua sisi dari satu mata uang. Hukum ada karena masyarakat, tanpa masyarakat tidak akan ada hukum. Landasan normatif tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia dalam hidup bermasyarakat disediakan dan diatur oleh hukum.[2] Tujuan dari hukum adalah kesejahteraan umum (bonum commune)[3]. Supaya ada keteraturan dalam masyarakat maka perlu pihak yang memiliki otoritas dalam  mengatur hidup bersama dan mengundangkan hukum. Tujuan pengundangan hukum adalah agar semua orang tahu dan berusaha untuk mentaatinya.[4]
Dalam pengundangan hukum, biasanya penguasa atau pihak yang mempunyai otoritas lebih menekankan ketertiban dan ketaatan untuk mematuhi hukum, sedangkan masyarakat lebih memperhatikan kebebasan terutama menyangkut hak dan kewajiban. Ketertiban, ketaatan dan kebebasan untuk menepati hukum harus diselaraskan agar suasana damai tercipta dalam suatu masyarakat. Ketertiban dan ketaatan tidak boleh mengekang kebebasan, dan sebaliknya kebebasan tidak boleh melanggar ketertiban dan ketaatan. Ketidakselarasan antara keduanya akan menjadikan hukum kabur dan bahkan kehilangan makna yang sesungguhnya.[5]Ketidakselarasan antara ketaatan, ketertiban dan kebebasan dalam menjalankan hukum terjadi dalam kehidupan masyarakat umum, termasuk masyarakat Indonesia dan juga di dalam Gereja.
Fenomena ketidakselarasan antara ketaatan, ketertiban dan kebebasan dalam menjalankan hukum juga dialami oleh Yesus dan orang-orang sezaman-Nya, khususnya mengenai pelaksanaan peraturan Sabat[6] yang diterapkan oleh orang-orang Farisi[7] dan ahli-ahli Taurat[8]. Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat cenderung membuat aturan tambahan menyangkut peraturan Sabat yang tidak kalah pentingnya dengan peraturan Sabat tesebut. Selain itu mereka juga menginterpretasikan perintah Sabat secara kaku dan menekankan pelaksanaan hukum Sabat secara hurufiah. Dengan demikian, hari Sabat menjadi semacam hari keramat, penuh dengan peraturan tambahan sehingga maknanya sebagai jalan keselamatan, kebebasan, keadilan, belas-kasihan dan kesetiaan hilang.[9]
Dalam Injil dilukiskan beberapa kisah tentang keberatan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat terhadap tindakan Yesus dan para murid pada hari Sabat (Mrk 2:23-28, bdk. Mat 12:1-8, Luk 6:1-5; Mrk 3:1-6, bdk. Mat 12:9-14, Luk 6:6-11 dan Yoh 5:1, 9:11).[10] Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat menegur dan menuduh Yesus serta para murid-Nya sebagai pelanggar hukum Sabat. Menurut mereka, tindakan yang dilakukan oleh Yesus dan para murid-Nya pada hari Sabat, bertentangan dengan peraturan Sabat.[11]
Berhadapan dengan teguran dan tuduhan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, Yesus membela tindakan-Nya dan tindakan para murid-Nya. Ia mengkritik dan menentang formalisme[12] dan legalisme[13] orang-orang Farisi. Dasar kritik Yesus terhadap hari Sabat Yahudi pertama-tama bukan soal praktis, yaitu yang berkaitan dengan hukum, peraturan, dan kedisiplinan menjalankan hukum Sabat tersebut, tetapi persoalan teologis, yaitu konsep pemahaman orang-orang Farisi yang keliru. Sorotan Yesus terhadap hari Sabat dapat disimpulkan bahwa hari Sabat dibuat untuk manusia (Mrk 2:27) dan Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat (Mrk 2:28). Dengan kesimpulan ini, Yesus mau menandaskan arti dan tujuan dari hari Sabat, yakni merayakan cinta Tuhan yang berarti keselamatan dan kebahagiaan bagi manusia. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh Yesus dan para murid-Nya tidak bertentangan dengan tujuan hari Sabat, tetapi malah memberi isi dan makna yang lebih sempurna.[14] 
2.             Isi
 Mrk 2:1-3:6 merupakan sebuah perikop besar yang memuat beberapa kontroversi yang terjadi antara Yesus dengan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat di Galilea. Salah satu bagian dari Mrk 2:1-3:6 adalah Mrk 2:23-28. Perikop Mrk 2:23-28 bebicara tentang kontroversi yang terjadi antara Yesus dengan orang-orang Farisi mengenai peraturan Sabat. Kontroversi ini terjadi karena Yesus membiarkan para murid-Nya memetik bulir gandum pada hari Sabat. Tindakan para murid mendapat tanggapan dan tuduhan dari orang-orang Farisi karena menurut mereka, para murid melakukan sesuatu yang dilarang pada hari Sabat.
Menurut Mrk 2:23-28 tindakan yang dilakukan oleh para murid adalah berjalan di ladang gandum pada hari Sabat dan sementara berjalan mereka memetik bulir gandum. Memetik bulir gandum di ladang sesama tidak dilarang bagi orang Yahudi yang sedang melakukan perjalanan, asalkan tidak menggunakan sabit sebagaimana tertulis dalam Ul 23:25. Dengan demikian, berdasarkan Ul 23:25, tindakan para murid diijinkan sebab mereka tidak menggunakan sabit saat memetik bulir gandum.[15] Akan tetapi menurut orang-orang Farisi, tindakan para murid tidak hanya sekedar memetik bulir gandum melainkan menuai dan mempersiapkan makanan untuk menghilangkan rasa lapar. Menurut peraturan Sabat Yahudi, pekerjaan mempersiapkan makanan untuk menghilangkan rasa lapar dan menuai pada hari Sabat seperti yang telah dilakukan oleh para murid adalah tindakan yang dilarang. Larangan untuk mempersiapkan makanan demi menghilangkan rasa lapar pada hari Sabat sudah berlaku sejak orang Israel makan manna[16] di gurun pasir (Kel 25:2-3; 16; 31:15; 34:21).[17] Sementara larangan untuk menuai gandum merupakan salah satu dari ke-39 larangan Sabat[18] sebagaimana termuat dalam Misnah 7:2[19]. Kedua tindakan ini sama dengan bekerja dan hal itu bertentangan dengan Kel 34:21: “Enam harilah lamanya engkau bekerja, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah engkau berhenti dan dalam musim membajak dan musim menuai haruslah engkau memelihara hari perhentian juga”. Barang siapa yang melakukan pekerjaan pada hari Sabat akan dilempari dengan batu sampai mati (bdk. Kel 31:15; 35:1; Bil 15:32-36).[20] Itulah sebabnya orang-orang Farisi mempersalahkan Yesus dan menuduh Dia sebagai pelanggar peraturan Sabat, karena Ia membiarkan para murid-Nya bekerja pada hari Sabat.
Yesus menjawab keberatan orang-orang Farisi dengan dua cara. Pertama, Yesus menganalogikan tindakan para murid-Nya dengan pelanggaran Daud ketika ia melarikan diri dari Saul. Dengan menganalogikan tindakan para murid-Nya dengan pelanggaran Daud, Yesus mau menentang kepicikan dan kekakuan orang-orang Farisi dalam melaksanakan hukum Sabat. Yesus juga mau membela tindakan para murid-Nya. Daud bagi orang Yahudi adalah seorang raja yang mempunyai otoritas dan sebagai pembebas. Tindakan Daud memakan Roti Sajian dan membagikan roti tersebut kepada para pengikutnya dianggap tidak melanggar hukum. Dengan mengangkat kisah Daud, Yesus secara implisit sudah menyingkapkan keberadaan diri-Nya. Ia jauh lebih besar dan lebih tinggi dari pada Daud. Ia berkuasa atas segala sesuatu juga untuk menafsirkan hukum Taurat secara khusus hukum Sabat.[21] Sebagaimana Daud sah-sah saja melanggar ketetapan Rumah Allah demi kebaikan dan keselamatannya serta para pengikutnya, demikian juga halnya Yesus membenarkan tindakan para murid-Nya.[22]
Kedua, Yesus menyatakan bahwa hari Sabat diadakan untuk manusia, dan bukan manusia untuk hari Sabat serta Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat. Dengan mengatakan hari Sabat untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, Yesus mau menyadarkan orang-orang Farisi akan makna asali, dasar pemberian dan tujuan hari Sabat oleh Allah. Tuhan tidak menciptakan manusia sebagai pelengkap atas hari Sabat. Tuhan menciptakan manusia seturut gambar Allah (bdk. Kej 1:26). Manusia diberi kuasa oleh Allah untuk menguasai dan mengatur segala sesuatu termasuk mengenai Sabat (bdk. Kej 1:28). Selain itu, Yesus juga mau mengingatkan orang-orang Farisi akan tindakan Allah yang membebaskan Israel dari perbudakan Mesir. Selama menjadi budak, mereka tidak mengenal hari istirahat. Sepanjang minggu, bulan dan tahun, mereka bekerja tanpa henti. Akan tetapi setelah mereka dibebaskan dari Mesir, Allah memberikan hari Sabat, yaitu hari ketujuh dalam setiap pekan untuk beristirahat.[23] Oleh karena itu, Sabat bagi bangsa Israel pada mulanya adalah kurnia Allah demi kesejahteraan manusia (bdk. Ul 5:12-15; Kel 20:8-11; Kej 2:3), bukan sebagai hari keramat, yang dibebani dengan peraturan yang ditambah-tambah (bdk. Yer 17:1; Ams 8:5 dan larangan-larangan Sabat lainnya). [24] Melalui ungkapan “Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat” Yesus juga mau mengkritik konsep pemahaman orang-orang Yahudi yang salah mengenai Sabat. Ia tidak menolak hukum Taurat dan hukum Sabat. Malahan Ia datang untuk menggenapinya. Ia menafsirkan dan menyempurnakan hukum Sabat ke bentuknya yang asali yaitu demi kesejahteraan dan keselamatan manusia.[25] Kemudian, jawaban Yesus ditutup dengan penyingkapan kekuasaan yang dimiliki-Nya, yakni Anak Manusia adalah Tuhan, juga atas hari Sabat. Melalui ungkapan ini, Yesus hendak menyingkapkan kekuasaan dan kewibawaan-Nya atas segala sesuatu juga atas hari Sabat. Ia mempunyai otoritas yang lebih tinggi daripada orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat untuk menafsir tradisi dan peraturan Sabat bahkan hukum Taurat lainnya. Superioritas Yesus atas pemimpin Yahudi, mau menunjukkan kuasa dan wibawa yang dimiliki-Nya. Yesus adalah Tuhan dan Anak Allah yang mempunyai kuasa yang sama dengan Allah.[26] Oleh karena itulah, Ia menentang formalisme orang-orang Farisi dalam memberlakukan dan menjalankan hukum Sabat.[27]
Menurut Yesus, adakalanya manusia harus melanggar hukum buatan manusia itu sendiri, termasuk peraturan hari Sabat apabila penetapan huruf hukum atau peraturan telah memperbudak dan tidak membebaskan manusia. Tujuan penetapan hari Sabat adalah untuk memungkinkan manusia mengucap syukur dan berbuat baik. Maka, peraturan Sabat harus mengarahkan manusia kepada praktek kehidupan yang melebihi hukum atau peraturan itu sendiri. Pandangan Yesus atas peraturan hari Sabat ini bertentangan dengan pemahaman orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, yang lebih menekankan ketaatan hurufiah tanpa mempertimbangkan aspek kemanusiaan, moral dan cinta kasih. Intisari dari semua hukum termasuk hukum Sabat dan hukum Taurat lainnya adalah hukum yang paling utama, yakni mengasihi Tuhan dan sesama (bdk. Mrk 12:29-31)[28]. Cinta atau kasih kepada Allah dan sesama jauh melampaui ketaatan hukum secara hurufiah. Buah dari ketaatan kepada hukum harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, yakni memberikan cinta kasih kepada sesama. Setiap orang yang taat kepada perintah Tuhan dan mencintai-Nya, ia juga harus mencintai sesamanya.[29] Cinta kepada sesama menjadi bukti bahwa manusia sungguh-sungguh mencintai Allah. Cinta kepada sesama melalui perbuatan-perbuatan baik merupakan tindakan yang paling mulia dan sesuai dengan semangat hari Sabat.[30]
3.             Refleksi Pastoral
1.      Kitab Hukum Kanonik sebagai Sarana Keselamatan
   Kitab hukum Kanonik merupakan suatu naskah legislatif dalam Gereja. Sebagai sebuah institusi yang hadir di dunia, Gereja mutlak memerlukan hukum demi ketertiban hidup sosial dalam tubuh Gereja. Formulasi hukum Gereja, sebagian bersandar pada warisan hukum Perjanjian Lama dan sebagian lagi bersandar pada hukum positif. Dalam Perjanjian Lama, hukum Taurat dan hukum para nabi merupakan sarana keselamatan bagi bangsa Israel. Yesus sendiri tidak meniadakannya tetapi menggenapinya (bdk. Mat 5:7). Sebagaimana hukum Taurat dan hukum para nabi menjadi sarana keselamatan, demikian juga hendaknya Kitab Hukum Kanonik. Dalam mengatur warganya, Gereja meniru semangat hukum positif sebagaimana yang dibuat oleh para pemerintah negara untuk mengatur para warganya. Gereja dengan sungguh menyadari keberadaan hukum utama, yakni hukum ilahi yang menjadi dasar dari hukum lainnya. Akan tetapi, Gereja sebagai institusi yang hadir di dunia mengikuti jejak hukum positif dan menetapkan banyak peraturan yang berbau yuridis demi kesejahteraan anggota-anggotanya.[31]
            Tujuan penetapan hukum Gereja adalah agar semua anggota Gereja memperoleh keselamatan dan kebebasan. Hukum Gereja harus senantiasa menjunjung tinggi keselamatan jiwa-jiwa, sebab itulah hukum yang tertinggi dari semua hukum Gereja lainnya (salus animarum suprema lex).[32] Adalah suatu pengalaman menyedihkan bila ada pemimpin Gereja mendogmatisir hukum-hukum kanon untuk kasus-kasus khusus dan pada masa-masa tertentu. Pelaksanaan hukum kanon secara kaku dan hurufiah akan membuat hukum itu kehilangan makna dan tujuannya. Dengan demikian hukum kanon tidak menjadi sarana keselamatan dan kebebasan bagi warga Gereja melainkan menjadi suatu beban yang sulit ditanggung.[33]
            Gereja harus senantiasa menyadari fungsi dan tugas perutusannya di dunia dari saat ke saat. Fungsi dan tugas utama Gereja adalah menghantarkan semua orang kepada persatuan dengan Kristus dengan cara meniru Kristus dalam pelayanannya, yakni, memberi keselamatan dan kebebasan bagi semua orang untuk melakukan yang baik dan mengembangkan diri sepenuhya. Gereja juga harus membimbing putera-puterinya ke arah tanggung jawab yang setinggi-tingginya dan kebebasan penuh kegembiraan yang jauh melampaui batas-batas hukum. Hukum Gereja bukanlah penentu keselamatan, melainkan hanya sebagai sarana untuk membantu umat supaya dapat hidup menurut hukum Kristus dan Injil-Nya.[34] Berhadapan dengan kasus-kasus atau pelanggaran-pelanggaran berkaitan dengan hukum kanon, Gereja harus senantiasa meniru sikap Yesus yang mengatakan bahwa hari Sabat dibuat untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat (Mrk 2:27). Demikian juga halnya dengan hukum Gereja, hukum Gereja dibuat demi kesejahteraan umat bukan umat untuk hukum Gereja. Selain itu, Gereja juga harus sungguh-sungguh menyadari bahwa Yesus adalah Tuhan atas segalanya termasuk atas hukum Gereja (bdk. Mrk 2:28). Oleh karena itu, dalam memberlakukan hukum Gereja, pemimpin Gereja harus senantiasa mengutamakan cinta kasih pastoral daripada ketaatan secara hurifiah terhadap hukum. Yesus mencela dan menentang pelaksanaan hukum secara hurufiah, karena pelaksanaan hukum secara demikian sering mengorbankan semangat cinta kasih dan pertimbangan moral. Pemimpin Gereja juga harus mampu melampaui hukum dan menafsirkan hukum sesuai dengan tuntutan zaman, agar hukum Gereja tidak kaku melainkan dapat diterima oleh umat sebagai suatu anugerah dan tanda perhatian dan cinta kasih Kristus yang menyelamatkan di dalam Gereja[35]
2.      Taat dan Kritis Terhadap Hukum
                Hukum atau peraturan adalah suatu tuntutan dari luar diri manusia yang mewajibkan manusia untuk mentaatinya. Dengan demikian, manusia dapat bertindak dan melakukan sesuatu sesuai dengan tuntutan hukum tersebut. Hukum mempunyai daya mengikat dan mewajibkan bagi semua orang yang berada dalam suatu lingkup masyarakat, negara atau lingkup sosial lainnya.[36] Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana orang-orang Kristen menanggapi berbagai hukum dan peraturan, baik sebagai warga Gereja dan Negara?
            Orang-orang Kristen adalah mereka yang menamakan diri sebagai pengikut Kristus. Mereka hidup di dunia dan menjadi bagian dari suatu budaya, negara dan masyarakat. Setiap negara, budaya dan masyarakat, pasti mempunyai hukum dan peraturan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Berhadapan dengan hukum dan peraturan, orang-orang Kristen dipanggil untuk meneladani Yesus. Semasa hidup-Nya, Yesus kerap berhadapan dengan hukum dan peraturan. Ia senantiasa patuh dan taat kepada hukum agama dan sipil dari bangsa-Nya. Pada hari Sabat, Yesus pergi ke Sinagoga untuk beribadat dan menunaikan perintah Sabat (Mrk 1:21).[37] Selain taat kepada hukum, Yesus juga senantiasa mengkritik dan mencela hukum dan peraturan yang tidak menghantar manusia untuk mencapai kepenuhan hidupnya. Ia mencela ketaatan hurufiah orang-orang Farisi dalam menjalankan hukum Taurat dan Sabat (Mrk 2:23-28).[38]
            Kristus taat kepada kekuasaan manusiawi melaui hukum dan peraturan yang sudah ditetapkan, demi cinta-Nya kepada Bapa. Akan tetapi Ia selalu bersikap terbuka dan terang-terangan untuk mengecam setiap penyalahgunaan kekuasaan yang telah diberikan oleh Allah kepada manusia. Ketaatan kepada hukum dan peraturan tidak boleh menghilangkan karya keselamatan atau tindakan kebajikan kepada sesama manusia.[39]
          Setiap pengikut Kristus, dipanggil untuk bersedia menerima kehendak Tuhan melalui sikap taat kepada peraturan-peraturan penguasa dan pemimpin-pemimpin yang telah dipilih oleh Tuhan. Ketaatan orang-orang Kristen kepada hukum, bukanlah ketaatan buta melainkan ketaatan yang dihidupi oleh semangat cinta kasih. Orang-orang Kristen tidak boleh menaruh ketaatannya secara total di bawah perintah-perintah sipil dan Gereja.[40]
          Mentaati hukum secara hurufiah, baik itu hukum sipil maupun hukum Gereja, bukanlah suatu identitas untuk menunjukkan bahwa seseorang adalah warga negara sejati atau orang Kristen yang benar. Dalam mentaati hukum, orang-orang Kristen harus mampu memahami dan menyelami maksud dan makna terdalam dari suatu hukum. Ketaatan kepada hukum secara hurufiah tidak boleh dijadikan sebagai sarana untuk membenarkan diri dan meneguhkan diri sendiri sebagai orang benar, sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat.[41]
          Dalam menatati hukum, orang-orang Kristen dipanggil untuk meniru sikap Yesus. Ia senantiasa taat tetapi juga selalu bersifat kritis. Salah satu bentuk kritikan Yesus kepada hukum dilukiskan dalam Mrk 2:27, “hari Sabat dibuat untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat”. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa setiap hukum dibuat demi kesejahteraan manusia, bukan manusia yang dikorbankan demi ketaatan belaka kepada hukum. Sikap Yesus, di atas bisa disamakan dengan prinsip epikeia[42]. Epikeia adalah suatu tafsiran atas hukum manusia atau hukum positif, bukan hukum kodrat. Menafsir hukum berarti memahami makna terdalam dan semangat hukum bukan berdasar pada apa yang tertulis. Prinsip epikeia, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Yesus, perlu dipahami oleh setiap orang, mengingat bahwa hukum manusia tidak pernah sempurna. Prinsip epikeia tidak bermaksud untuk menghilangkan hukum atau menghalalkan pelanggaran hukum dengan sesuka hati. Penerapan epikeia dimaksudkan agar seseorang bisa melampaui hukum yang tertulis dan bisa melihat makna terdalam dari suatu hukum. Memang benar, hukum menuntut ketaatan. Akan tetapi, makna terdalam dari suatu hukum bukan ketaatan hurufiah melainkan kesejahteraan umat manusia.[43]
          Dengan memahami prinsip epikeia, orang-orang Kristen diharapkan mampu untuk mentaati dan mengkritik penguasa dunia dan juga para pemimpin Gereja dalam menerapkan hukum yang bertentangan dengan kesejahteraan umum. Taat kepada hukum merupakan suatu kewajiban, sejauh hukum itu mampu untuk membantu manusia dalam mencapai kesempurnaan hidupnya. Mengkritik hukum juga merupakan suatu kewajiban, sejauh hukum itu tidak menyelamatkan dan menyejahterahkan manusia. Ketidakadaan semangat untuk mengkritik bukan mencirikan suatu ketaatan Kristen yang mulia. Seorang Kristen harus mampu mengkritik dengan cinta kasih dan tetap berpedoman pada Yesus sang Guru. Semangat mengkritik yang dikembangkan secara sehat akan mempunyai relevansi moral tanpa merongrong kekuasaan manapun juga.[44] (John D)

DAFTAR PUSTAKA

Anton Pareira, Berthold. Alkitab dan Ketanahannya. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Baetoa, John and John Muddiman. The Oxford Bible Commentary. Oxford: University Press, 2001.

Browing, W. R. F. (ed.). Kamus Alkitab: Panduan Dasar ke dalam Kitab-kitab, Tema, Tokoh dan Istilah Alkitab (judul asli: A Dictionary of the Bible), diterjemahkan oleh Liem Khiem Yang. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.

Chang,William. Pengantar Teologi Moral. Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Collins, John J. The Apocalyptic Imagination: An Introduction to the Jewish Matrix of Christianity. New York: Grossroad, 1989.

Darmawijaya, St. Gelar-gelar Yesus: Pustaka Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Dister, Nico Syukur. Kristologi: Sebuah Sketsa. Yogyakarta: Kanisius, 1987.

--------. Teologi Trinitas dalam Konteks Mistagogi: Pengantar ke dalam Misteri Allah Tritunggal. Yogyakarta: Kanisius, 2012.

--------. Teologi Sistematika 2. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Donahue, John R. The Gospel of Mark. Minnesota: The Liturgical Press, 2002.

Eko Riyadi, St. Markus:”Engkau adalah Mesias”. Yogyakarta: Kanisius, 2011.

France, R. T. The Gospel of Mark. Carliste: The Pater Noster Press.

Gould, Ezra P. Critical and Exegetical Commentary on The Gospel According to St. Mark. Edinburgh: ICC, 1932.

Groenen, C. Pengantar ke dalam Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius, 1984.

Guelich, Robert. A Word Biblical Commentary. Dallas: Word Books, 1989.

Gundry, Robert H. Mark: A Commentary on His Apology for The Cross. Michigan: W. B. Eerdmans Publishing Co, 1992.

Guthrie, Donald (ed.). Teologi Perjanjian 1 (judul asli: New Testament Theology), diterjemahkan oleh Lisda Tirtapraja Gamadhi dkk. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.

Haering (ed.), Bernard. The Law of Christ (judul asli: Das Gesetz Christi), diterjemahkan oleh Edwin G. Kaiser. Cork: The Mercier Press, 1967.
J. Borg, Marcus. Conflict Holiness and Politics in The Teaching of Jesus. Pennsylvania: Harrisburg, 1998.

Jacobs, T. Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius, 1982.

Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuridis Canonici 1983). Diterjemahkan oleh Sekretariat KWI. Jakarta: Obor, 2006.

Konferensi Waligereja Indonesia. Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius; Jakarta: Obor, 1996.

LAI. Alkitab. Terjemahan ini diterima dan diakui oleh Konferensi Waligereja Indonesia. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2008.

Lalu, Yosef. Makna Hidup dalam Terang Iman Katolik 1: Manusia Menggumuli Makna Hidupnya. Yogyakarta: Kanisius, 2010.

Lane, William L. The Gospel of Mark. Michigan: Grand Rapids, 1974.

Leks, Stefan. Tafsir Injil Markus. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Leon-Dufour (ed.), Xavier. Ensiklopedi Perjanjian Baru (judul asli: Dictionnaire du Nouveau Testament), diterjemahkan oleh Stefan Leks dan A. S. Hadiwiyata. Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Mangunhardjana, A. Isme-isme dari A sampai Z. Yogyakarta: Kanisius, 1997.

Mann, C. S. Mark: A New Translation with Introduction and Commentary. London: The Anchor Bible Doubleday, 1986.

Nadeak, Largus. “Jiwa Merdeka dalam Masyarakat Yang Serba Aturan”,  dalam Logos: Jurnal Filsafat-Teologi Fakultas Filsafat Universitas Katolik St. Thomas Medan, 7/1. Januari 2009.

Nineham, D. E. Saint Mark. England: Penguin Books, 1973.

Nolan (ed.), Albert. Yesus sebelum Agama Kristen: Warta Gembira yang memerdekakan (judul asli: Jesus Before Christianity: The Gospel of Liberation), diterjemahkan oleh I. Suharyo. Yogyakarta: Kanisius, 2005.

O’ Collins, Gerald -Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (judul asli: A Concise Dictionary of Theology), diterjemahkan oleh I. Suharyo. Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Pandor, Pius. Ex Latina Claritas: Dari Bahasa Latin Muncul Kejernihan. Jakarta: Obor, 2010.

Ratzinger, Joseph (ed.). Yesus dari Nazaret (judul asli: Jesus von Nazareth), diterjemahkan oleh B. S. Mardiatmadja. Jakarta: Gramedia, 2007.

Riyadi, St. Eko. Yesus Kristus Tuhan Kita: Mengenal Yesus Kristus dalam Warta Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius, 2011.

--------. Markus:”Engkau adalah Mesias”. Yogyakarta: Kanisius, 2011.

Seto Marsunu, YM. Markus: Injil Yesus Kristus-Anak Allah. Yogyakarta: Kanisius, 2011.

Siauwarjaya, Afra. Membangun Gereja Indonesia 2: Katekese Umat dalam Pembangunan Gereja Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 1987.

Simamora, Serpulus. Kitab Nabi-nabi Besar: Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Daniel. Pematangsiantar: STFT St. Yohanes, 2004. (diktat)

-------. Kisah Sengsara dan Kebangkitan. Pematangsiantar: STFT St. Yohanes, (tanpa tahun). (diktat)

-------. Pengantar ke dalam Pentateukh. Pematangsiantar: STFT St. Yohanes, 2001. (diktat)

Snijders, Adelbert. Antropologi Filsafat: Manusia Paradoks dan Seruan. Yogyakarta: Kanisius. 2004.

Stanislaus, Surip. Dari Sabat ke Dominica: Pergeseran waktu istirahat dan Ibadat dari Hari Sabtu ke Haru Minggu. Medan: Bina Media, 2001.

------. Kata-kata Pedas Bernas. Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Sumaryono, E. Etika Profesi: Norma-norma bagi Penegak Hukum. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Tafaib, Gratiana. “Yesus dan Ibadat”, dalam Wacana Biblika, 6/1. Januari-Maret, 2006.

Telford, W. R. The Theology of The Gospel of Mark. Cambridge: University Press, 1999.

Van Bruggen, Jakob (ed.). Markus: Injil menurut Petrus (judul asli: Marcus: Het Evangelie Volgens Petrus), diterjemahkan oleh Dr. Th. Van den End. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2006.

-------. Pengantar Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Yasua, Penka. Perempuan Sumber Dosa? Malang: Dioma, 2011.











[1] Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat: Manusia Paradoks dan Seruan (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 35.
[2] Pius Pandor, Ex Latina Claritas: Dari Bahasa Latin Muncul Kejernihan (Jakarta: Obor, 2010), hlm. 151.
[3] Kesejahteraan umum (bonum commune) selalu mengindikasikan tiga hal penting. Pertama, penghargaan terhadap pribadi sebagaimana adanya. Kedua, tewujudnya kesejahteraan sosial seperti pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, kebebasan dan sebagainya. Ketiga, adanya jaminan sosial dan perdamaian. Setiap warga perlu merasa aman untuk hidup dalam mayarakat. Dalam konteks ini, hukum mengatur komunitas masyarakat agar menjadi tenang dalam mencapai kesejahteraan umum. [Lihat Pius Pandor, Ex Latina Claritas:…, hlm. 150.]
[4] Pius Pandor, Ex Latina Claritas:…, hlm. 150.
[5] Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum (Jakarta: Bhratara, 1973), hlm. 156.
[6] Sabat berasal dari kata Ibrani, yakni sbt. Diduga, kata ini berakar pada kata Akadia yakni sabattum atau sappatum, yang artinya berhenti. Oleh karena itu, sbt atau sabattum merupakan hari istirahat dari kerja, baik bagi manusia, hewan piaraan, tanah maupun Allah. Di lingkungan Babel, kata sapattu adalah hari istirahat untuk para dewa. Hari istirahat ini berkaitan dengan kalender Bulan sebagai hari pesta untuk berdoa dan bertobat. Di lingkungan Israel, makna kata Sabat berkembang selaras dengan periode sejarah bangsa itu. Dalam periode sebelum pembuangan, Sabat meliputi dua aspek, yakni hari istirahat dari aktivitas perdagangan dan penghakiman dan hari ibadat untuk mengenang dan menguduskan istirahat Allah dan pembebasan bangsa Israel dari perbudakan di tanah Mesir. Dalam periode pembuangan, pada hari Sabat orang dilarang bekerja demi pengudusan hari itu bagi Allah. Dalam periode sesudah pembuangan, pemeliharaan Sabat sangat dijunjung tinggi karena hari Sabat berkaitan dengan pembangunan kembali Israel, situasi penganiayaan dan peraturan komunitas Yahudi. [Lihat Surip Stanislaus, Dari Sabat ke Dominica: Pergeseran waktu istirahat dan Ibadat dari Hari Sabtu ke Hari Minggu (Medan: Bina Media, 2001), hlm. 15-16; bdk. YM Seto Marsunu, Markus: Injil Yesus Kristus-Anak Allah (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 74-75.]
                [7] Farisi berasal dari kata Yunani yaitu, pherisaios. Kata pherisaios diturunkan dari bahasa Aram yakni perisyayya, artinya “yang terpisah”. Nama Farisi mengacu kepada kelompok keagamaan Yahudi yang menekankan keharusan menggenapi setiap segi hukum Taurat, bukan hanya yang jelas-jelas diperintahkan atau dilarang, melainkan juga petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan perintah dan larangan. Kaum Farisi menetapkan 613 peraturan, terdiri dari 248 perintah dan 365 larangan. Kemudian mereka menafsirkan dan melengkapinya sedemikian rupa sehingga tidak mungkin untuk dilanggar orang. Sehubungan dengan hari Sabat, mereka menetapkan 39 larangan. Mereka menetapkan pula perintah-perintah yang tidak tertera secara nyata dalam Taurat. Perintah dan larangan ini, mereka sebut hukum lisan. Kemudian, orang-orang Farisi sangat menekankan etika bukan teologi. Oleh karena itu, ajaran mereka mudah dicerna oleh rakyat dan mereka dihormati oleh rakyat sebagai kelompok orang saleh. [Lihat Xavier Leon-Dufour (ed.), Ensiklopedi Perjanjian Baru (judul asli: Dictionnaire du Nouveau Testament), diterjemahkan oleh Stefan Leks dan A. S. Hadiwiyata (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 225; bdk. Stefan Leks, Tafsir Injil Markus (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 124.]
[8] Dalam bahasa Yunani, ahli-ahli Taurat disebut grammateus, yang artinya ahli kitab. Mereka sangat paham tentang Kitab Suci dan tradisi lisan. Biasanya mereka mengajar pada segala kesempatan, misalnya di jalan-jalan, pasar, rumah, Sinagoga, bahkan di pelataran Bait Suci. Pada mulanya ahli-ahli Taurat berasal dari kalangan imam. Akan tetapi pada perkembangan kemudian, para awam yang mahir Kitab Suci, juga disebut ahli Taurat. [Lihat Stefan Leks, Tafsir Injil…, hlm. 73-74.]
[9] Gratiana Tafaib, “Yesus dan Ibadat”, dalam Wacana Biblika, 6/1 (Januari-Maret, 2006), hlm. 17; bdk. Albert Nolan (ed.), Yesus sebelum Agama Kristen: Warta Gembira yang memerdekakan (judul asli: Jesus Before Christianity: The Gospel of Liberation), diterjemahkan oleh I. Suharyo (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 133-136.
[10] Gratiana Tafaib, “Yesus dan Ibadat”…, hlm. 16.
[11] Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi (Jakarta: Obor, 1996), hlm. 46.

[12] Formalisme berasal dari bahasa Latin yakni, forma yang berarti “bentuk”, “ungkapan”, atau “rumusan”. Formalisme merupakan suatu sikap atau teori etika yang lebih mengutamakan dan menekankan kehendak baik dan pematuhan kepada bentuk, ungkapan, rumusan dan forma hukum daripada isi, maksud dan tujuan asalinya. Formalisme sebagai sikap banyak terjadi di bidang hukum, etika, moral dan agama. Dalam hukum, etika dan moral formalisme lebih memetingkan bentuk, ungkapan, rumusan, huruf-huruf yang menyatakannya dari pada isi dan maksud yang tidak dinyatakan. Dalam agama, formalisme secara berlebihan menekankan segi lahiriah dalam praktek dan ibadat dengan mengorbankan isi, arti dan maksud yang dikandungnya, dan sibuk dengan ketetapan perilaku, upacara dan perayaan keagamaan. Etika formalisme mengungkapkan itikad baik pelakunya karena dengan sikap itu para pelakunya menampilkan kehendak untuk menjalankan kewajiban hukum, etika, moral dan agama sebaik-baiknya. Oleh karena itu, mereka dapat menjadi fanatik dalam kehidupan hukum, etika, moral dan agama. Orang formalis juga dapat berpandangan sempit karena wawasannya terlalu terbatas pada maksud pribadi dan hukum, kode etika, ajaran moral dan agama. Karena pandangan sempit, orang formalis juga bergaya hidup kaku. [Lihat A. Mangunhardjana, Isme-isme dari A sampai Z (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 86-89.]

[13] Legalisme berasal dari kata Latin yakni, lex yang berarti hukum. Secara umum legalisme merupakan pentaatan hukum huruf demi huruf secara ketat dan berlebihan. Menurut paham legalisme, yang baik dan buruk dalam hidup sudah ditetapkan secara baku dalam hukum. Perilaku hidup yang baik adalah mentaati hukum dengan melakukan hukum yang diperintahkan dan tidak melakukan yang dilarang. Penganut paham legalisme kerap merumuskan hukum dan aturan untuk segala perilaku hidup yang mungkin terjadi. Hukum dan aturan yang mereka buat biasanya amat lengkap dan sampai sekecil-kecilnya sehingga sulit untuk diingat apalagi untuk dilaksanakan. Akibat terlalu sibuk dengan hukum dan peraturan, kaum legalis menjadi lupa akan arti dan cita-cita kehidupan. Kaum legalis berjasa dalam memberi kepastian dan keamanan hidup, tetapi kelemahan dari prinsip mereka adalah membuat orang menjadi bersikap minimalistis dalam bertindak dan jangkauan kehidupan dipersempit. [Lihat A. Mangunhardjana, Isme-isme…, hlm. 145-147.]
[14] Gratiana Tafaib, “Yesus dan Ibadat”…, hlm. 17.
[15] R. T. France, The Gospel of Mark (Carliste: The Pater Noster Press, 2002), hlm. 144.
                [16] Ada beberapa pengertian tentang manna. Ada yang mengatakan bahwa manna adalah sejenis tanaman jamur yang ditemukan di tanah, berwarna putih dan manis rasanya (bdk. Kel 16:13). Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa manna adalah getah yang dikeluarkan oleh serangga atau kepompong dari kumbang parasit Trehala manna. Bentuknya seperti embun dan mempunyai rasa seperti madu. Namun, yang pasti adalah bahwa manna merupakan makanan yang menopang orang Israel dalam pengembaraan mereka di padang gurun. Dalam perjalanan bangsa Israel di padang gurun, manna selalu turun dua kali lipat pada hari Jumat, agar mereka tidak bekerja pada hari Sabat. Peristiwa turunnya manna digambarkan sebagai peristiwa mukjizat (bdk. Ul 8:3). [Lihat W. R. F. Browing (ed.), Kamus Alkitab: Panduan Dasar ke dalam Kitab-kitab, Tema, Tokoh dan Istilah Alkitab (judul asli: A Dictionary of The Bible), diterjemahkan oleh Liem Khiem Yang (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 252.]
                [17] Jakob van Bruggen (ed.), Markus: Injil menurut Petrus (judul asli: Marcus: Het Evangelie Volgens Petrus), diterjemahkan oleh Dr. Th. van den End (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 113.
                [18] Dalam Mishnah 7:2 terdapat 39 kegiatan yang tidak boleh dilakukan pada hari Sabat, yakni: membajak ladang, menabur benih gandum, menuai gandum, mengikat gandum, menggiling gandum, mengirik gandum, menampi gandum, meremas tepung gandum, menyaring hasil gandum, memasak makanan, mencukur bulu domba, mencuci bulu domba, memukuli wool, mencelup atau mewarnai wool, memintal wool, menenun wool, membuat pakaian, merajut serat, melepas rajut, menjalin jerat, melepas jerat, menjahit pakaian, menyobek kain jahitan, berburu rusa, membunuh rusa, menyembelih rusa, menguliti rusa, mengasinkan kulit rusa, mengolah kulit rusa, menggosok kulit rusa, menulis dua surat, membatalkan menulis dua surat, bekerja di pabrik, membuat barang, menyalakan api, memadamkan api, bertukang dengan martil dan memindahkan benda ke tempat lain. Dalam kasus yang membahayakan, khususnya bahaya mati, ada beberapa jenis pekerjaan terlarang yang boleh dilakukan, bahkan diharuskan. Misalnya, melarikan diri untuk menyelamatkan hidup atau nyawa, membantu orang melahirkan, menyusui bayi jika ada bahaya mati, menolong orang yang sekarat, memasak air bagi orang sakit, baik untuk minum maupun untuk merawatnya. [Lihat Surip Stanislaus, Dari Sabat…, hlm. 15-15; bdk. YM Seto Marsunu, Markus: Injil…, hlm. 74-75.]
                [19] Misnah adalah bagian dari Talmud. Talmud berarti ajaran yang di dalamnya terdapat karya sastra post-biblis Yahudiah sebagai keterangan atau komentar atas Taurat. Ada dua jenis Talmud berdasarkan tempat asalnya, yakni Talmud Babilon dan Talmud Yerusalem. Sementara berdasarkan isinya,Talmud terbagi atas dua bagian, yaitu Misnah dan Gemara. Kedua bagian ini sezaman dengan Perjanjian Baru dan masa bapa apostolik Gereja Perdana. Misnah berarti ulangan atau hukum yang kedua. Inilah yang dikenal dengan hukum lisan sebagai pasangan dari Pentateukh atau hukum tertulis. Sedangkan Gemara berarti pelengkap. Menurut ajaran para Rabbi, Misnah itu berasal dari Musa. Dalam perjalanan waktu, Misnah sebagai hukum lisan sedemikian bebas menafsirkan Taurat. Maka pada suatu saat tafsiran Misnah dituliskan. Itulah yang terjadi pada akhir abad pertama SM oleh Rabbi Hillel dan Shammai. Karya ini dilanjutkan pada abad pertama Masehi oleh Rabbi Aqiba dan Meir. [Lihat Serpulus Simamora, Kisah Sengsara dan Kebangkitan (Pematangsiantar: STFT St. Yohanes, (tanpa tahun), hlm. 16. (diktat)]
                [20] John R. Donahue and Daniel J. Harrington, The Gospel of Mark (Minnesota: The Liturgical Press, 2002), hlm. 111.

                [21] John Charles Ryle. The Gospel of Mark (Wheaton: Crossway Books, 1993), hlm. 28.
                [22] Surip Stanislaus, Dari Sabat…, hlm. 61-62.
                [23] YM Seto Marsunu, Markus: Injil…, hlm. 68.
                [24] Konferensi Waligereja Indonesia, Iman…, hlm. 269.
                [25] John R. Donahue and Daniel J. Harrington, The Gospel…, hlm. 112.
                [26] F. F. Bruce (ed.), Ucapan Yesus yang Sulit (judul asli: Hard Sayings of Jesus), diterjemahkan oleh Indrawati G. Tamboyang dan Sonya S. K. Wijaya (Malang: Literatur Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2007), hlm. 19.
                [27] Stefan Leks, Tafsir Injil..., hlm. 116.
[28] Mrk 12:29-31; Hukum yang terutama ialah: dengarlah hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.
[29] Bernard Haering (ed.), The Law of Christ (judul asli: Das Gesetz Christi), diterjemahkan oleh Edwin G. Kaiser (Cork: The Mercier Press, 1967), hlm. 32.
                [30] Surip Stanislaus, Dari Sabat…, hlm. 61.
[31] Bernard Haring (ed.), Kebebasan…, hlm. 28.
[32] Kitab Hukum Kanonik 1983 (Codex Iuris Canonici 1983), diterjemahkan oleh Sekretariat KWI (Jakarta: Obor, 1991), Kan. 1752.
                [33] Bernard Haring (ed.), Kebebasan…, hlm. 28.
                [34] Nico Syukur Dister, Teologi Trinitas dalam Konteks Mistagogi: Pengantar ke dalam Misteri Allah Tritunggal (Yogyakarta: Kanisius, 2012), hlm. 198.
                [35] Bernard Haring (ed.), Kebebasan…, hlm. 34-35.
[36] Pius Pandor, Ex Latina Claritas:…, hlm. 159.
[37] YM Seto Marsunu, Markus: Injil…, hlm. 49.
[38] Yosef Lalu, Makna Hidup dalam Terang Iman Katolik 1: Manusia Menggumuli Makna Hidupnya (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 172.
                [39] Bernard Haring (ed.), Kebebasan…, hlm. 34-35.
[40] Nico Syukur Dister, Teologi Trinitas dalam Konteks Mistagogi: Pengantar ke dalam Misteri Allah Tritunggal (Yogyakarta: Kanisius, 2012), hlm. 199.
                [41] Nico Syukur Dister, Teologi Trinitas…, hlm. 199.
[42] Epikeia merupakan tafsiran atas hukum manusia bukan berdasarkan apa yang tertulis melainkan berdasarkan maksud dan semangat yang termaktub dalam hukum itu ketika menghadapai kasus-ksusu moral yang belum pernah dipikirkan pada saat merumuskan hukum itu. Dalam arti sempit, epikeia dimengerti sebagai tafsiran restriktif atas hukum, oleh otoritas pribadi dengan maksud membebaskan seseorang untuk melaksanakan hukum tertentu dalam keadaan sulit berdasarkan maksud asli perundang-undangan (bdk. Mrk 2:27; 3:1-6; Luk 13:10-17; 14:1-6). Thomas Aquinas memandang epikeia sebagai suatu keutamaan keadilan. Epikeia diperlukan mengingat adanya ketidaksempurnaan hukum manusia atau hukum positif. [Lihat William Chang, Pengantar Teologi Moral (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 69-71.]
                [43] William Chang, Pengantar…, hlm. 69-71.
                [44] Bernard Haring (ed.),   Kebebasan…, hlm. 34-35.

Tidak ada komentar:

SEDEKAH MENURUT AGAMA ISLAM

1.PENGANTAR Sedekah merupakan ibadah sosial bagi umat Islam. Sedekah mempunyai kaitan yang erat dengan orang lain. Adapun alasan umat Isl...