Saudara-saudari
terkasih, Injil yang baru saja kita dengar merupakan bagian dari kisah penyaliban
Yesus. Ada tiga adegan dalam kisah penyaliban Yesus ini, pertama, Yesus
disalibkan, kedua para prajurit membuang undi atas jubah Yesus dan ketiga
adalah penyerahan Maria oleh Yesus kepada murid yang dikasihi. Pokok
permenungan kita sore ini adalah adegan yang ketiga.
Saudara-saudari
terkasih, ketika saya merenungkan dan membaca bacaan ini, timbul pertanyaan
dalam hati saya. Kenapa Yesus menyerahkan Maria, ibu-Nya kepada Yohanes
sementara di situ ada saudara ibu-Nya dan mungkin juga keluarga yang lain?
Dalam budaya Yahudi sangat tidak biasa
menyerahkan pemeliharaan orang tua kepada orang lain jika masih ada
keluarga ketika seseorang mau meninggal.
Pertanyaan inilah yang saya jawab dalam permenungan saya, dan inilah yang
hendak saya bagikan sebagai bahan permenungan untuk kita.
Penyerahan
Maria oleh Yesus kepada Yohanes memuat beberapa arti simbolis. Pertama, Yesus
sungguh tahu, bahwa kematian-Nya di salib akan membuat murid-murid-Nya terpukul
dan tercerai berai. Oleh karena itu, mereka membutuhkan sosok seorang ibu untuk
merangkul, memelihara dan menyatukan mereka. Maria menjadi ibu bagi para murid
dan para murid menjadi anak bagi Maria.
Kedua,
Yesus menyerahkan Maria kepada Yohanes bisa juga kita mengerti secara implisit
bahwa Yesus juga menyerahkan Maria kepada Gereja secara universal sebagai
bundanya. Gereja dalam perjalanan sejarahnya mengakui Maria sebagai bundanya.
Maria selalu mendampingi perjalanan Gereja sampai detik ini. Sebagai penghormatan
kepada Maria, Gereja mengeluarkan empat dogma (Maria Bunda Allah, Maria Tetap
Perawan, Maria dikandung tanpa Noda dan Maria diangkat ke surga), dan itu kita
tahu, ada beberapa peringatan dan pesta yang kita rayakan dalam liturgi, ada
begitu banyak gelar yang diberikan kepada Maria (bunda penolong, penghibur dan
lain-lain). Itu semua lahir dari pengalaman Gereja bersama bunda Maria dalam
membangun iman dan menyebarkan Kerajaan Allah. Gereja tidak bisa lepas dari
Maria, karena dalam arti tertentu karena Marialah maka Gereja ada. Gereja harus
banyak belajar dari Maria.
Ketiga,
penyerahan Bunda Maria oleh Yesus kepada Yohanes dapat juga kita mengerti bahwa
dalam penyerahan itu yohanes mewakili kita masing2. Oleh karena itu, ketika
Yesus menyerahkan bunda Maria kepada Yohanes, Ia juga menyerahkan bunda Maria
kepada kita sebagai ibu. Sebagai manusia jasmani kita pasti dan sudah merasakan bagaimana peran ibu kita
dalam perjalanan hidup kita masing2. Sebagai manusia rohani, kita juga pasti
membutuhkan bimbingan dari seorang ibu, itulah Maria yang kita sebut sebagai
bunda kita. Mengapa kita harus membutuhkan seorang ibu (rohani)? Bunda Maria
kita butuhkan dalam perjalan hidup, karena dialah teladan dan model kita dalam
beriman. Selain itu, kita juga sangat membutuhkan sosok seorang ibu rohani
karena dalam arti tertentu kita juga dipanggil untuk menjadi seorang ibu, yakni
memelihara jiwa-jiwa yang dipercayakan kepada kita, baik sebagai pastor, pastor
paroki, suster, frater, ibu rumah tangga, bapak keluarga dan sebagainya. Yang
menjadi pertanyaan apakah kita menjadi pemersatu, pemelihara yang siap
merangkul semua yang dipercayakan kepada kita? Apakah kita bisa seperti Maria
yang menjadi ibu bagi para murid ketika mereka merasa terpukul dan tercerai
berai karena kematian Yesus?
Saudara-saudari
terkasih, ada banyak teladan yang bisa kita pelajari dari bunda Maria. Tetapi
ada satu saya rasa paling menarik untuk kita hidupi dan ini sudah sering kita
dengar, yakni kerendahan hati yang tulus dan total. Kerendahan hati ini bisa
saya sebut sebagai warisan budaya hamba dan ini saya pertentangkan dengan
warisan budaya raja sebagaimana yang dihidupi oleh budaya Batak Toba dan mungkin juga budaya-budaya yang
lain baik nias, simalungun, karo, dayak, flores, jawa, tionghoa (saya yakin
tidak ada diantara suku yang sebut tadi yang mengajarkan masyarakatnya menjadi
menjadi seorang hamba). Ketika malaikat Gabriel mengunjungi Maria perihal
terkadungnya Yesus, ia hanya berkata: “aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku
menurut perkataanmu itu” dan itu dinyatakan oeh Maria sepanjang perjalanan
hidupnya. Ini adalah warisan yang sangat berharga bagi kita. Kita diwarisi
budaya hamba bukan budaya raja. Kita diwarisi budaya pelayan bukan budaya tuan.
Hal ini juga sangat ditekankan oleh Yesus kepada murid-Nya: “ hendaklah kamu
menjadi pelayan satu sama lain” dan ini dihidupi oleh Gereja sampai sekarang.
Paus selalu menyebut diri sebagai hamba dari hamba Allah. Dalam ordo kita juga,
pemimpin disebut sebagai minister, pelayan persaudaraan, dan kita sebagai
saudara sangat ditekankan oleh St. Fransiskus agar menjadi pelayan bagi sesama.
Itulah tugas kita bukan untuk menjadi tuan atau raja, dan contoh yang tepat
untuk menghidupi ini adalah bunda Maria.
Saudara-saudari
yang terkasih, Bunda Maria adalah ibu kita dan kita adalah anak-anaknya. Kalau
kita mengaku diri sebagai anak, apa dan bagaimana relasi kita selama ini kepada
bunda Maria? Sungguhkah kita menjadi anak yang sejati bagi bunda Maria atau
malah kita menjadi “anak durhaka”? Mari mengakrabkan diri kepada bunda Maria
secara khusus dalam bulan ini dan juga dalam hidup kita sehari-hari. Kita
sangat membutuhkan sosok dan teladannya dalam pelayanan kita masing-masing.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar