Kamis, 20 Oktober 2016

Maria Ibu Kita (Yoh 19: 23-27)

Saudara-saudari terkasih, Injil yang baru saja kita dengar merupakan bagian dari kisah penyaliban Yesus. Ada tiga adegan dalam kisah penyaliban Yesus ini, pertama, Yesus disalibkan, kedua para prajurit membuang undi atas jubah Yesus dan ketiga adalah penyerahan Maria oleh Yesus kepada murid yang dikasihi. Pokok permenungan kita sore ini adalah adegan yang ketiga.
Saudara-saudari terkasih, ketika saya merenungkan dan membaca bacaan ini, timbul pertanyaan dalam hati saya. Kenapa Yesus menyerahkan Maria, ibu-Nya kepada Yohanes sementara di situ ada saudara ibu-Nya dan mungkin juga keluarga yang lain? Dalam budaya Yahudi sangat tidak biasa  menyerahkan pemeliharaan orang tua kepada orang lain jika masih ada keluarga  ketika seseorang mau meninggal. Pertanyaan inilah yang saya jawab dalam permenungan saya, dan inilah yang hendak saya bagikan sebagai bahan permenungan untuk kita.
Penyerahan Maria oleh Yesus kepada Yohanes memuat beberapa arti simbolis. Pertama, Yesus sungguh tahu, bahwa kematian-Nya di salib akan membuat murid-murid-Nya terpukul dan tercerai berai. Oleh karena itu, mereka membutuhkan sosok seorang ibu untuk merangkul, memelihara dan menyatukan mereka. Maria menjadi ibu bagi para murid dan para murid menjadi anak bagi Maria.
          Kedua, Yesus menyerahkan Maria kepada Yohanes bisa juga kita mengerti secara implisit bahwa Yesus juga menyerahkan Maria kepada Gereja secara universal sebagai bundanya. Gereja dalam perjalanan sejarahnya mengakui Maria sebagai bundanya. Maria selalu mendampingi perjalanan Gereja sampai detik ini. Sebagai penghormatan kepada Maria, Gereja mengeluarkan empat dogma (Maria Bunda Allah, Maria Tetap Perawan, Maria dikandung tanpa Noda dan Maria diangkat ke surga), dan itu kita tahu, ada beberapa peringatan dan pesta yang kita rayakan dalam liturgi, ada begitu banyak gelar yang diberikan kepada Maria (bunda penolong, penghibur dan lain-lain). Itu semua lahir dari pengalaman Gereja bersama bunda Maria dalam membangun iman dan menyebarkan Kerajaan Allah. Gereja tidak bisa lepas dari Maria, karena dalam arti tertentu karena Marialah maka Gereja ada. Gereja harus banyak belajar dari Maria.

           Ketiga, penyerahan Bunda Maria oleh Yesus kepada Yohanes dapat juga kita mengerti bahwa dalam penyerahan itu yohanes mewakili kita masing2. Oleh karena itu, ketika Yesus menyerahkan bunda Maria kepada Yohanes, Ia juga menyerahkan bunda Maria kepada kita sebagai ibu. Sebagai manusia jasmani kita pasti  dan sudah merasakan bagaimana peran ibu kita dalam perjalanan hidup kita masing2. Sebagai manusia rohani, kita juga pasti membutuhkan bimbingan dari seorang ibu, itulah Maria yang kita sebut sebagai bunda kita. Mengapa kita harus membutuhkan seorang ibu (rohani)? Bunda Maria kita butuhkan dalam perjalan hidup, karena dialah teladan dan model kita dalam beriman. Selain itu, kita juga sangat membutuhkan sosok seorang ibu rohani karena dalam arti tertentu kita juga dipanggil untuk menjadi seorang ibu, yakni memelihara jiwa-jiwa yang dipercayakan kepada kita, baik sebagai pastor, pastor paroki, suster, frater, ibu rumah tangga, bapak keluarga dan sebagainya. Yang menjadi pertanyaan apakah kita menjadi pemersatu, pemelihara yang siap merangkul semua yang dipercayakan kepada kita? Apakah kita bisa seperti Maria yang menjadi ibu bagi para murid ketika mereka merasa terpukul dan tercerai berai karena kematian Yesus?
Saudara-saudari terkasih, ada banyak teladan yang bisa kita pelajari dari bunda Maria. Tetapi ada satu saya rasa paling menarik untuk kita hidupi dan ini sudah sering kita dengar, yakni kerendahan hati yang tulus dan total. Kerendahan hati ini bisa saya sebut sebagai warisan budaya hamba dan ini saya pertentangkan dengan warisan budaya raja sebagaimana yang dihidupi oleh budaya  Batak Toba dan mungkin juga budaya-budaya yang lain baik nias, simalungun, karo, dayak, flores, jawa, tionghoa (saya yakin tidak ada diantara suku yang sebut tadi yang mengajarkan masyarakatnya menjadi menjadi seorang hamba). Ketika malaikat Gabriel mengunjungi Maria perihal terkadungnya Yesus, ia hanya berkata: “aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu” dan itu dinyatakan oeh Maria sepanjang perjalanan hidupnya. Ini adalah warisan yang sangat berharga bagi kita. Kita diwarisi budaya hamba bukan budaya raja. Kita diwarisi budaya pelayan bukan budaya tuan. Hal ini juga sangat ditekankan oleh Yesus kepada murid-Nya: “ hendaklah kamu menjadi pelayan satu sama lain” dan ini dihidupi oleh Gereja sampai sekarang. Paus selalu menyebut diri sebagai hamba dari hamba Allah. Dalam ordo kita juga, pemimpin disebut sebagai minister, pelayan persaudaraan, dan kita sebagai saudara sangat ditekankan oleh St. Fransiskus agar menjadi pelayan bagi sesama. Itulah tugas kita bukan untuk menjadi tuan atau raja, dan contoh yang tepat untuk menghidupi ini adalah bunda Maria.

        Saudara-saudari yang terkasih, Bunda Maria adalah ibu kita dan kita adalah anak-anaknya. Kalau kita mengaku diri sebagai anak, apa dan bagaimana relasi kita selama ini kepada bunda Maria? Sungguhkah kita menjadi anak yang sejati bagi bunda Maria atau malah kita menjadi “anak durhaka”? Mari mengakrabkan diri kepada bunda Maria secara khusus dalam bulan ini dan juga dalam hidup kita sehari-hari. Kita sangat membutuhkan sosok dan teladannya dalam pelayanan kita masing-masing. Amin.




Tidak ada komentar:

SEDEKAH MENURUT AGAMA ISLAM

1.PENGANTAR Sedekah merupakan ibadah sosial bagi umat Islam. Sedekah mempunyai kaitan yang erat dengan orang lain. Adapun alasan umat Isl...