Kamis, 17 November 2016

HATI NURANI (CONSCIENTIA): PEMAHAMAN DAN PENGALAMAN



Pengantar
Hati nurani merupakan milik pribadi dan hakiki dari setiap insan. Hati nurani atau suara hati selalu menganjurkan nasehat yang baik dan menyuarakan larangan-larangan. Setiap orang akan dapat bertindak, mengambil keputusan secara lebih baik, bila ia sungguh-sungguh mendengarkan suara hatinya, dan sebaliknya orang akan bertindak dengan gegabah bila tidak mendengarkan suara hati. Setiap orang harus akrab dengan suara hatinya, agar ia dapat mendengarkan suara batin yang selalu menggema. Setiap orang mempunyai pengalaman tersendiri dalam mendengarkan suara hati dan mengikuti seruanya. Hati nurani akan berfungsi terus dalam kehidupan karena manusia setiap saat selalu bertindak dan mengambil keputusan.
Pengalaman dan Pemahamanku tentang Hati Nurani
            Menurut saya, hati nurani merupakan anugerah yang diterima oleh setiap orang dari Allah, tanpa terkecuali. Setiap orang mempunyai hati nurani masing-masing dan itu menjadi milik pribadinya. Secara implisit, dalam hati nurani tertulis suatu hukum yang hendaknya dilakukan. Hukum itu berasal dari Allah. Allah adalah  baik dan Kebaikan tertinggi maka hukum itu juga baik. Tugas manusia adalah untuk mendengarkan dan melakukan anjuran dari suara hati itu. Allah telah menempatkan hukum pada setiap hati nurani manusia. Hati nurani juga merupakan tempat kediaman bagi Allah. Saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Gaudium et Spes; Hati nurani adalah tempat yang paling rahasia dan suci dalam diri manusia. Disanalah dia sendiri dapat berhadapan muka dengan Allah, yang suara-Nya bergema dalam lubuk kalbunya. Hati nurani adalah tempat pertemuan yang lebih langsung antara manusia dengan Allah.[1] Setiap saat, kapan dan dimana pun suara hati itu selalu berseru, menggema, memanggil dan mengajak manusia untuk mencintai dan melakukan yang baik serta menjauhkan hal-hal yang jahat.Di dalam lubuk hati seseorang, bekerjalah hati nurani (Rm 2:14-16). Hati nurani selalu menyuarakan yang benar dan memanggil setiap orang untuk mencintai dan melakukan yang baik. Seruan yang berasal dari hati nurani sifatnya tidak memaksa. Suara hati yang keluar dari hati  lebih mengandaikan kebebasan manusia. Manusia sebagai makhluk yang bebas mempunyai potestas untuk memilih, mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak dilakukan. Manusia mempunyai kehendak dan itulah yang mengarahkan dan menentukan.[2]           
Dalam hidup sehari-hari, saya tidak bisa lepas dari suara hati. Selain budi yang menjadi salah satu esensi keberadaan saya, suara hati juga mengambil peranan penting khususnya dalam mengambil keputusan. Keputusan suara hati jauh melampaui keputusan akal. Walaupun demikian keputusan-keputusan yang saya buat tidak seluruhnya benar. Bila keputusan atau tindakan yang saya lakukan sesuai dengan suara hati, saya senang, gembira, kerasan dan bahagia, tetapi bila tidak sesuai dengan hati, saya merasa cemas, takut, gelisah dan menyesal. Demikian juga saya alami dalam menjalin relasi dengan Tuhan. Saya kadang merasa damai, merasa terlindungi dan bahagia, tetapi juga kadang merasa menyesal dan merasa ditinggalkan. Saya kadang gagal dan kadang berhasil dalam mendengarkan suara hati. Saya tidak pernah tamat atau manusia tidak akan pernah tamat.[3] Oleh karena itu, saya harus membiarkan diriku disinari oleh cahaya yang datang dari dalam hatiku. Dalam konteks religius suara hati itu saya hayati sebagai suara Tuhan. Aku mendengar suara itu sebelum aku bertindak. Suara itu hadir pada saat aku bertindak (menyetujui atau melarang). Suara itu mengatakan, “perbuatanmu itu baik!” atau “perbuatanmu itu salah!” Suara itu terus berdengung walaupun suatu tindakan selesai dilakukan. Suara hati memuji atau mencela. Semua tindakan diwarnai dan disertai dengan rasa yang sesuai seperti rasa bahagia, rasa damai, rasa salah, rasa sesal.[4]
            Dengan hukum yang sudah tertera dalam hatiku, saya dipanggil untuk selalu mendengarkan dan mentaatinya, tetapi dia tidak memaksa. Menurut saya, kalau hati nurani itu sifatnya memaksa, maka saya akan mendapat hukuman bila saya gagal dalam melaksanakan seruanya. Sementara hati nurani tidak memberikan suatu hukuman. Hati nurani hanya tetap berseru, menggema dan memanggil manusia untuk mengikutinya. Saya bebas untuk memilih, tetapi juga saya tidak bisa lepas dari hati nuraniku. Hubungan antara hukum yang dirumuskan secara eksplisit dan panggilan yang kuhayati dalam hati nurani bagaikan hubungan jiwa dan badan. Mereka tidak dapat disamakan, tetapi juga tidak terlepas satu sama lain.[5]
            Penggunaan hati nurani seumpama dengan penggunaan pisau. Pisau bila tidak dipakai dan tidak diasah akan menjadi tumpul. Demikian halnya dengan hati nurani. Oleh karena itu, sebagai pemilik hati nurani, saya harus selalu membina hati nurani agar saya tidak hanya menyentuh sisi-sisi luar kemanusiaan saya tetapi sanggup mencapai kedalaman batin. Pembinaan hati nurani merupakan upaya hakiki agar manusia lebih mampu hidup dan bertindak sesuai dengan bisikan hati nurani yang bisa dipertanggungjawabkan secara moral. Diharapkan melalui pembinaan hati nurani, manusia bisa terhindar dari kesesatan dalam mengambil keputusan. Merupakan kerinduan terdalam setiap manusia untuk menjalin hidup yang baik sebagai landasan penegakan hati nuraninya.[6] Pembinaan hati nurani tergantung pada setia pribadi manusia. Hati nuraniku merupakan unik bagi saya dan tidak akan bisa disentuh atau didalami oleh orang lain. Pembinaan hati nurani akan berlangsung selama saya hidup. Setiap orang pasti mendambakan hati nuraninya terdidik agar keputusan-keputusan moral dapat diterangi. Hati nurani yang terbina dengan baik adalah jujur dan lurus hati.[7] Hati nurani selalu kita harapkan agar selalu sesuai dengan kebenaran. Dengan demikian hati nurani merumuskan keputusanya dengan mengikuti akal budi, berpedoman dengan kabaikan yang benar yang dikehendaki oleh kebijaksanaan Pencipta.[8]
Penutup
            Hati nurani atau suara hati merupakan suatu anugerah yang diberikan Allah kepada setiap manusia. Dalam hati nurani tertulis sebuah hukum yang selalu menggema, berseru dan memanggil setiap orang untuk selalu melakukan dan mencintai yang baik. Hati nurani juga mendorong setiap orang untuk mengelakkan segala hal yang jahat. Hati nurani harus selalu dibina agar setiap keputusan yang dihasilkanya sesuai dengan keinginan Sang pemberinya. Hati  nurani juga harus selalu didengarkan agar dapat bertindak dengan labih baik. Dengan mendengarkan hati nurani seseorang masuk ke kedalaman batinnya dan berbicara dengan Tuhan yang berdiam disana.

Buku Referensi
 Chang, William. Pengantar Teologi Moral. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
 Snijders, Adelbert . Manusia Paradoks dan Seruan. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes. Ende, Flores: Percetakan Arnoldus,1967.
Seri Dokumen Gerejawi no. 35 Veritatis Splendor. Diterjemahkan oleh J. Hardiwikarta. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1994.





[1] Bernhard Kieser, Moral Dasar: Kaitan Iman dan Perbuatan (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 135.
[2] Bdk. Manusia adalah makhluk yang bebas. Dalam diri manusia ada dua bobot kebebasan, yaitu kebebasan pilihan dan kebebasan sejati. Dengan “kebebasan pilihan” dimaksud bahwa manusia bebas untuk memilih antara ini atau itu, untuk bertindak atau tidak. Kehendak sendiri harus menentukan. Segala sesuatu siap untuk bertindak atau tidak bertindak ke arah itu atau ke arah lain, namun tidak ada apa pun di luar kehendak yang menetukan, tidak ada paksaan. Maka penentuan seluruhnya berasal dari kehendak sendiri. Adelbert Snijders, Manusia Paradoks dan Seruan, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 129.
[3] Bdk. Segala usaha manusia tergerak dan menuju sesuatu yang dari semula sudah menyentuh hatinya. Kata Albert Camus “ Hatiku dari awal tersentuh dan aku membutuhkan seluruh hidupku untuk mengungkapkan dan melaksanakanya”. Segala ungkapan dan pelaksanaan gagal terhadap kebaikan yang dari semula secara intuitif kurasakan dalam hatiku. Yang eksplisit terungkap selalu gagal terhadap yang implisit diketahui dan dicita-citakan. Manusia tidak pernah tamat. Adelbert, Snijders, Manusia …, hlm. 133-134.
[4] Adelbert Snijders, Manusia …, hlm. 137.
[5] Adelbert Snijders, Manusia …, hlm. 138.
[6] William Chang, Pengantar Teologi Moral (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm.137.
[7] William Chang, Pengantar…,hlm. 138.
[8] William Chang, Pengantar…,hlm. 137.


Tidak ada komentar:

SEDEKAH MENURUT AGAMA ISLAM

1.PENGANTAR Sedekah merupakan ibadah sosial bagi umat Islam. Sedekah mempunyai kaitan yang erat dengan orang lain. Adapun alasan umat Isl...