Pengantar
Hati nurani merupakan
milik pribadi dan hakiki dari setiap insan. Hati nurani atau suara hati selalu
menganjurkan nasehat yang baik dan menyuarakan larangan-larangan. Setiap orang
akan dapat bertindak, mengambil keputusan secara lebih baik, bila ia sungguh-sungguh
mendengarkan suara hatinya, dan sebaliknya orang akan bertindak dengan gegabah
bila tidak mendengarkan suara hati. Setiap orang harus akrab dengan suara
hatinya, agar ia dapat mendengarkan suara batin yang selalu menggema. Setiap
orang mempunyai pengalaman tersendiri dalam mendengarkan suara hati dan
mengikuti seruanya. Hati nurani akan berfungsi terus dalam kehidupan karena
manusia setiap saat selalu bertindak dan mengambil keputusan.
Pengalaman
dan Pemahamanku tentang Hati Nurani
Menurut
saya, hati nurani merupakan anugerah yang diterima oleh setiap orang dari
Allah, tanpa terkecuali. Setiap orang mempunyai hati nurani masing-masing dan
itu menjadi milik pribadinya. Secara implisit, dalam hati nurani tertulis suatu
hukum yang hendaknya dilakukan. Hukum itu berasal dari Allah. Allah adalah baik dan Kebaikan tertinggi maka hukum itu
juga baik. Tugas manusia adalah untuk mendengarkan dan melakukan anjuran dari
suara hati itu. Allah telah menempatkan hukum pada setiap hati nurani manusia.
Hati nurani juga merupakan tempat kediaman bagi Allah. Saya setuju dengan apa
yang dikatakan oleh Gaudium et Spes;
Hati nurani adalah tempat yang paling rahasia dan suci dalam diri manusia.
Disanalah dia sendiri dapat berhadapan muka dengan Allah, yang suara-Nya
bergema dalam lubuk kalbunya. Hati nurani adalah tempat pertemuan yang lebih
langsung antara manusia dengan Allah.[1]
Setiap saat, kapan dan dimana pun suara hati itu selalu berseru, menggema,
memanggil dan mengajak manusia untuk mencintai dan melakukan yang baik serta
menjauhkan hal-hal yang jahat.Di dalam lubuk hati seseorang, bekerjalah hati
nurani (Rm 2:14-16). Hati nurani selalu menyuarakan yang benar dan memanggil
setiap orang untuk mencintai dan melakukan yang baik. Seruan yang berasal dari
hati nurani sifatnya tidak memaksa. Suara hati yang keluar dari hati lebih mengandaikan kebebasan manusia. Manusia
sebagai makhluk yang bebas mempunyai potestas untuk memilih, mana yang harus
dilakukan dan mana yang tidak dilakukan. Manusia mempunyai kehendak dan itulah
yang mengarahkan dan menentukan.[2]
Dengan hukum yang sudah tertera dalam
hatiku, saya dipanggil untuk selalu mendengarkan dan mentaatinya, tetapi dia
tidak memaksa. Menurut saya, kalau hati nurani itu sifatnya memaksa, maka saya
akan mendapat hukuman bila saya gagal dalam melaksanakan seruanya. Sementara
hati nurani tidak memberikan suatu hukuman. Hati nurani hanya tetap berseru,
menggema dan memanggil manusia untuk mengikutinya. Saya bebas untuk memilih,
tetapi juga saya tidak bisa lepas dari hati nuraniku. Hubungan antara hukum
yang dirumuskan secara eksplisit dan panggilan yang kuhayati dalam hati nurani
bagaikan hubungan jiwa dan badan. Mereka tidak dapat disamakan, tetapi juga
tidak terlepas satu sama lain.[5]
Penggunaan hati nurani seumpama
dengan penggunaan pisau. Pisau bila tidak dipakai dan tidak diasah akan menjadi
tumpul. Demikian halnya dengan hati nurani. Oleh karena itu, sebagai pemilik
hati nurani, saya harus selalu membina hati nurani agar saya tidak hanya
menyentuh sisi-sisi luar kemanusiaan saya tetapi sanggup mencapai kedalaman
batin. Pembinaan hati nurani merupakan upaya hakiki agar manusia lebih mampu
hidup dan bertindak sesuai dengan bisikan hati nurani yang bisa dipertanggungjawabkan
secara moral. Diharapkan melalui pembinaan hati nurani, manusia bisa terhindar
dari kesesatan dalam mengambil keputusan. Merupakan
kerinduan terdalam setiap manusia untuk menjalin hidup yang baik sebagai
landasan penegakan hati nuraninya.[6]
Pembinaan hati nurani tergantung pada setia pribadi manusia. Hati nuraniku
merupakan unik bagi saya dan tidak akan bisa disentuh atau didalami oleh orang
lain. Pembinaan hati nurani akan berlangsung selama saya hidup. Setiap orang
pasti mendambakan hati nuraninya terdidik agar keputusan-keputusan moral dapat
diterangi. Hati nurani yang terbina dengan baik adalah jujur dan lurus hati.[7] Hati nurani selalu kita harapkan agar selalu sesuai
dengan kebenaran. Dengan demikian hati nurani merumuskan keputusanya dengan
mengikuti akal budi, berpedoman dengan kabaikan yang benar yang dikehendaki
oleh kebijaksanaan Pencipta.[8]
Penutup
Hati
nurani atau suara hati merupakan suatu anugerah yang diberikan Allah kepada
setiap manusia. Dalam hati nurani tertulis sebuah hukum yang selalu menggema,
berseru dan memanggil setiap orang untuk selalu melakukan dan mencintai yang
baik. Hati nurani juga mendorong setiap orang untuk mengelakkan segala hal yang
jahat. Hati nurani harus selalu dibina agar setiap keputusan yang dihasilkanya
sesuai dengan keinginan Sang pemberinya. Hati
nurani juga harus selalu didengarkan agar dapat bertindak dengan labih
baik. Dengan mendengarkan hati nurani seseorang masuk ke kedalaman batinnya dan
berbicara dengan Tuhan yang berdiam disana.
Buku Referensi
Chang, William. Pengantar Teologi Moral. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Snijders, Adelbert . Manusia Paradoks dan Seruan. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Konstitusi
Pastoral Gaudium et Spes. Ende,
Flores: Percetakan Arnoldus,1967.
Seri
Dokumen Gerejawi no. 35 Veritatis Splendor. Diterjemahkan oleh J. Hardiwikarta. Jakarta: Departemen
Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1994.
[1] Bernhard Kieser, Moral Dasar: Kaitan Iman dan Perbuatan (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), hlm. 135.
[2] Bdk. Manusia adalah
makhluk yang bebas. Dalam diri manusia ada dua bobot kebebasan, yaitu kebebasan
pilihan dan kebebasan sejati. Dengan “kebebasan pilihan” dimaksud bahwa manusia
bebas untuk memilih antara ini atau itu, untuk bertindak atau tidak. Kehendak
sendiri harus menentukan. Segala sesuatu siap untuk bertindak atau tidak
bertindak ke arah itu atau ke arah lain, namun tidak ada apa pun di luar kehendak
yang menetukan, tidak ada paksaan. Maka penentuan seluruhnya berasal dari
kehendak sendiri. Adelbert Snijders, Manusia
Paradoks dan Seruan, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 129.
[3] Bdk. Segala usaha
manusia tergerak dan menuju sesuatu yang dari semula sudah menyentuh hatinya.
Kata Albert Camus “ Hatiku dari awal tersentuh dan aku membutuhkan seluruh
hidupku untuk mengungkapkan dan melaksanakanya”. Segala ungkapan dan
pelaksanaan gagal terhadap kebaikan yang dari semula secara intuitif kurasakan
dalam hatiku. Yang eksplisit terungkap selalu gagal terhadap yang implisit
diketahui dan dicita-citakan. Manusia tidak pernah tamat. Adelbert, Snijders, Manusia …, hlm. 133-134.
[4] Adelbert Snijders, Manusia …, hlm. 137.
[5] Adelbert Snijders, Manusia …, hlm. 138.
[6] William Chang, Pengantar Teologi Moral (Yogyakarta:
Kanisius, 2001), hlm.137.
[7] William Chang, Pengantar…,hlm. 138.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar