PENGANTAR
SARANA
BANTU DAN TEKHNIK BICARA SEORANG PENGKOTBAH
Suara
Ada pepatah yang mengatakan: “Tiap burung bernyanyi sebagaimana
ia berparuh”. Artinya setiap orang berbicara menurut tabiatnya atau tingkat pendidikanya.[1]Suara
bagi seorang pengkotbah adalah suatu hal yang sangat penting. Pengkotbah adalah
seorang manusia publik dan sekaligus menjadi pemimpin. Oleh karena itu ia harus
mengatur suaranya supaya bisa didengar oleh pendengar yang paling jauh. Kualitas
suara sangat mempengaruhi inti pewartaan dari seorang pengkotbah. Kotbah harus
disampaikan dengan suara yang lantang, tegas dan terang agar gampang dimengerti
oleh pendengar. Pendengar seorang pengkotbah relatif banyak. Oleh karena itu suaranya
harus dapat menjangkau setiap pendengarnya. Kotbah adalah suatu warta atau kabar
gembira yang harus digemakan, disuarakan dan disampaikan dengan suara yang
lantang. Aspek penting dalam pewartaan adalah modulasi suara.[2]
Pernapasan
Pernapasan sangat mempengaruhi kualitas
berbicara. pernapasan yang tidak teratur akan menghasilkan suara yang bergetar.
Hal ini harus diperhatikan oleh seorang pengkotbah. Ketegangan psikologis,
takut dapat menyebakan proses pernapasan menjadi tidak teratur. Jika hal ini terjadi,
pengkotbah biasanya akan berbicara lebih cepat, tidak beraraturan dan tidak tepat.
Hal ini akan merugikan para pendengar. Untuk mengatasi hal ini pengkotbah hendaknya
menarik napas panjang dan dalam, sambil mengembangkan dan mengempiskan perut
(pernapasan perut).[3]
Dengan pernapasan perut pengkotbah menjadi lebih tenang, santai dan rileks dalam
menyampaikan kotbahnya. Pernapasan
perut akan mempengaruhi resonansi suara.[4]
Berbicara
dengan Terang (Artikulasi)
Artikulasi adalah pengucapan atau pelafalan kata-kata
dengan tepat. Pemahaman pendengar atas kotbah atau homili yang dibawakan sangat
tergantung dari ucapan yang teliti atas setiap bunyi huruf, suku kata dan kata.[5] Kotbah akan lebih
mudah diikuti bila pengkotbah mengucapkan setiap kata dengan jelas dan terang.
Barang siapa berbicara dengan terang dan memperhatikan artikulasi, ia merupakan
berkat, terutama bagi orang-orang yang kurang pendengarannya. Dengan
artikulasi yang jelas, orang dapat mengikuti gerak bibir dan lidah.[6]
Artikulasi yang tidak jelas dapat disebabkan
oleh kurangnya latihan mengucap, perasaaan gugup, takut dan cemas, atau juga tidak
merasa pasti atas pikiran dan konsep yang disampaikan.[7] Seorang
pengkotbah harus sungguh-sungguh melatih artikulasinya, agar apa yang ia sampaikan
dapat dimengerti oleh pendengar. Dalam proses pewartaan homiletik, pengkotbah dituntut
agar mengucapkan kata-kata dengan jelas terutama istilah-istilah asing dan menghindari
bunyi-bunyi aneh yang dapat mengganggu para pendengar. Barang siapa memperhatikan
artikulasi, ia berbicara di muka mulut dan tidak di belakang tenggorokan.[8]
Penekanan[9]
Penekanan dan variasi dalam memberi penekanan
harus diperhatikan karena penekanan yang tepat atas kata atau kalimat akan sangat
membantu pemahaman pendengar. Oleh sebab itu, prinsip-prinsip di bawah ini perlu
diperhatikan:
·
Di
dalam setiap satuan makna pada umumnya hanya ada satu penekanan.
·
Memberi
penekanan pada dua kata di dalam satu kalimat merupakan pengecualian. Kata yang
diulang tidak boleh diberi penekanan lagi.
·
Yang
diberi penekanan adalah kata yang baru, juga penekanan hendaknya disesuaikan dengan
arti dan makna dari kalimat.
·
Sangat
jarang diberikan penekanan pada kata sifat (adjektif) karena kata sifat hanya merupakan
keterangan tambahan dan bukan merupakan hal utama. Jika kata sifat diberi penekanan,
kalimat atau kata akan kedengaran patetis dan emosional.
·
Kata-kata
yang bermakna negasi seperti tidak, tidak satu pun, di mana pun tidak, tidak diberi
penekanan karena kata-kata itu dari sendirinya sudah kuat.
Tempo
Setiap orang mempunyai tempo berbicara masing-masing. Tempo
bicara hendaknya disesuaikan dengan kondisi dan situasi pendengar. Seorang pengkotbah
tidak boleh bicara terlalu cepat, karena hal itu akan sangat merugikan pendengar.
Seorang pengkotbah yang berbicara terlalu cepat akan membuatnya sering menyimpang
dari naskah yang telah ditulis atau alur pikiranya menjadi melompat-lompat dan tidak
logis.[10]
Jeda
atau Pause[11]
Jeda atau
pause dalam proses berbicara adalah penting. Berbicara lancar, tanpa memperhatikan
tanda-tanda baca akan mempersulit pendengar untuk mengikuti jalan pikiran kotbah
dan menangkap isinya. Oleh sebab itu demi efektifitas proses komunikasi
homiletik, pengkotbah dapat membuat jeda dalam proses membawakan homili. Ada
banyak kemungkinan untuk membuat jeda, misalnya: sesudah satu penggalan yang
penting; sesudah pesan yang penting; sesudah satu makna Kitab Suci; sesudah
ilustrasi; sebelum atau sesudah satu kutipan; sebelum masuk ke penutup kotbah
atau homili; atau karena tuntutan psikologis, yaitu untuk menarik atau menahan
napas. Jeda yang ditempatkan secara tepat di dalam kotbah atau homili, akan
berguna untuk:
·
Menunjukkan
variasi suara.
·
Membantu
pengkotbah untuk tidak berbicara terlalu cepat.
·
Mempertinggi daya
persuasif kotbah atau homili.
·
Menjaga
tingkat nada suara supaya tetap normal.
·
Menunjukkan perubahan
topik atau bahan menurut isi kotbah atau homili.
·
Memberi penekanan yang
lebih baik pada kata-kata dan frase-frase yang penting.
·
Menekankan bagian yang
berisi pikiran utama.
·
Memberi kesempatan bagi
pendengar untuk lebih memahami isi kotbah atau homili.
Penutup dan Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Hendrikus, Dori Wuwur. Berkhotbah Suatu Petunjuk Praktis. Ende: Nusa Indah, 1989.
KWI, Komisi Liturgi. Homiletik:
Panduan Berkhotbah Efektif. Yogyakarta: Kanisius, 2011.
Panitia
Kateketik Keuskupan Agung Medan. Berkotbah.
Pematangsiantar: Tanpa Penerbit, 1981.
[1] Panitia Kateketik Keuskupan Agung Medan, Berkotbah (Pematangsiantar: Tanpa Penerbit,
1981), hlm. 129.
[2] Modulasi suara adalah
perubahan ritme dari intonasi bahasa dalam hubunganya dengan naik turunnya suara:
cepat lambat, keras-lembut, dan tinggi rendah sesuai dengan nuansa kata atau kalimat
yang diucapkan. Modulasi suara yang tepat akan menjadikan kotbah atau homili
tidak monoton, tetapi menarik, mengesankan dan meyakinkan. Dengan bantuan modulasi
suara, pengkotbah memberi kepada pendengar kemungkinan untuk bisa mengenal dan membedakan,
entah suatu kalimat itu kalimat tanya, kalimat seruan atau pernyataan.Supaya modulasi
suara itu efektif, pengkotbah hendaknya memperhatikan substansi kotbah, nuansa
kata atau kalimat, volume suara dan penekanan yang tepat. Komisi Liturgi KWI, ,Homilitika: Panduan Berkotbah Efektif, (Yogyakarta:
Kanisius, 2011), hlm. 191.
[3]
Komisi Liturgi KWI, ,Homilitika: Pandua...,
hlm. 192.
[4] Suara
yang jelas dan penuh diperoleh lewat resonansi yang dimungkinkan oleh volume
suara yang ada dalam rongga perut, rongga dada dan rongga kepala.Untuk mengisi rongga
perut dan dada dengan volume udara yang besar, dibutuhkan pernapasan perut atau
pernapasan dalam.Dalam pernapasan perut, perutlah yang mengembang dan mengempis
ketika menarik dan menghembuskan napas.Rongga perut, rongga dada, rongga kepala,
terutama leher sangat berperan dalam proses resonansi, sehingga dapat menghasilkan
suara yang jelas dan penuh. Komisi Liturgi KWI, ,Homilitika: Pandua..., hlm. 192
[7]
Komisi Liturgi KWI, ,Homilitika:
Pandua..., hlm. 193.
[8] Panitia Kateketik Keuskupan
Agung Medan, Berkotbah…, hlm. 133.
[9]
Komisi Liturgi KWI, ,Homilitika:
Pandua..., hlm. 194.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar