Kamis, 17 November 2016

TEKHNIK BICARA DALAM KOTBAH

PENGANTAR     
Manusia adalah makhluk yang berbicara (animal loquens).Setiap manusia harus belajar berbicara. Berbicara merupakan suatu kekhasan manusia yang tidak ditemukan dengan cara yang sama pada makhluk-makhluk yang lain. Berbicara sama dengan berkomunikasi. Seseorang mampu berbicara berarti ia ia mampu mengkomunikasikan atau menyampaikan apa yang ada dalam pikiranya kepada orang lain. Tekhnik berbicara seseorang biasanya sesuai dengan profesinya. Seorang guru, mempunyai gaya bahasa tertentu,  demikian juga halnya dengan seorang dokter, petani, pengkotbah dan lain-lain. Di bawah ini akan dibahas tekhnik berbicara bagi seorang pengkotbah yang baik.

SARANA BANTU DAN TEKHNIK BICARA SEORANG PENGKOTBAH
Suara
            Ada pepatah yang mengatakan: “Tiap burung bernyanyi sebagaimana ia berparuh”. Artinya setiap orang berbicara menurut tabiatnya atau tingkat pendidikanya.[1]Suara bagi seorang pengkotbah adalah suatu hal yang sangat penting. Pengkotbah adalah seorang manusia publik dan sekaligus menjadi pemimpin. Oleh karena itu ia harus mengatur suaranya supaya bisa didengar oleh pendengar yang paling jauh. Kualitas suara sangat mempengaruhi inti pewartaan dari seorang pengkotbah. Kotbah harus disampaikan dengan suara yang lantang, tegas dan terang agar gampang dimengerti oleh pendengar. Pendengar seorang pengkotbah relatif banyak. Oleh karena itu suaranya harus dapat menjangkau setiap pendengarnya. Kotbah adalah suatu warta atau kabar gembira yang harus digemakan, disuarakan dan disampaikan dengan suara yang lantang. Aspek penting dalam pewartaan adalah modulasi suara.[2]
Pernapasan
            Pernapasan sangat mempengaruhi kualitas berbicara. pernapasan yang tidak teratur akan menghasilkan suara yang bergetar. Hal ini harus diperhatikan oleh seorang pengkotbah. Ketegangan psikologis, takut dapat menyebakan proses pernapasan menjadi tidak teratur. Jika hal ini terjadi, pengkotbah biasanya akan berbicara lebih cepat, tidak beraraturan dan tidak tepat. Hal ini akan merugikan para pendengar. Untuk mengatasi hal ini pengkotbah hendaknya menarik napas panjang dan dalam, sambil mengembangkan dan mengempiskan perut (pernapasan perut).[3] Dengan pernapasan perut pengkotbah menjadi lebih tenang, santai dan rileks dalam menyampaikan kotbahnya. Pernapasan perut akan mempengaruhi resonansi suara.[4]
Berbicara dengan Terang (Artikulasi)
            Artikulasi adalah pengucapan atau pelafalan kata-kata dengan tepat. Pemahaman pendengar atas kotbah atau homili yang dibawakan sangat tergantung dari ucapan yang teliti atas setiap bunyi huruf, suku kata dan kata.[5] Kotbah akan lebih mudah diikuti bila pengkotbah mengucapkan setiap kata dengan jelas dan terang. Barang siapa berbicara dengan terang dan memperhatikan artikulasi, ia merupakan berkat, terutama bagi orang-orang yang kurang pendengarannya. Dengan artikulasi yang jelas, orang dapat mengikuti gerak bibir dan lidah.[6]
            Artikulasi yang tidak jelas dapat disebabkan oleh kurangnya latihan mengucap, perasaaan gugup, takut dan cemas, atau juga tidak merasa pasti atas pikiran dan konsep yang disampaikan.[7] Seorang pengkotbah harus sungguh-sungguh melatih artikulasinya, agar apa yang ia sampaikan dapat dimengerti oleh pendengar. Dalam proses pewartaan homiletik, pengkotbah dituntut agar mengucapkan kata-kata dengan jelas terutama istilah-istilah asing dan menghindari bunyi-bunyi aneh yang dapat mengganggu para pendengar. Barang siapa memperhatikan artikulasi, ia berbicara di muka mulut dan tidak di belakang tenggorokan.[8]
Penekanan[9]
            Penekanan dan variasi dalam memberi penekanan harus diperhatikan karena penekanan yang tepat atas kata atau kalimat akan sangat membantu pemahaman pendengar. Oleh sebab itu, prinsip-prinsip di bawah ini perlu diperhatikan:
·        Di dalam setiap satuan makna pada umumnya hanya ada satu penekanan.
·        Memberi penekanan pada dua kata di dalam satu kalimat merupakan pengecualian. Kata yang diulang tidak boleh diberi penekanan lagi.
·        Yang diberi penekanan adalah kata yang baru, juga penekanan hendaknya disesuaikan dengan arti dan makna dari kalimat.
·        Sangat jarang diberikan penekanan pada kata sifat (adjektif) karena kata sifat hanya merupakan keterangan tambahan dan bukan merupakan hal utama. Jika kata sifat diberi penekanan, kalimat atau kata akan kedengaran patetis dan emosional.
·        Kata-kata yang bermakna negasi seperti tidak, tidak satu pun, di mana pun tidak, tidak diberi penekanan karena kata-kata itu dari sendirinya sudah kuat.
Tempo
            Setiap orang mempunyai tempo berbicara masing-masing. Tempo bicara hendaknya disesuaikan dengan kondisi dan situasi pendengar. Seorang pengkotbah tidak boleh bicara terlalu cepat, karena hal itu akan sangat merugikan pendengar. Seorang pengkotbah yang berbicara terlalu cepat akan membuatnya sering menyimpang dari naskah yang telah ditulis atau alur pikiranya menjadi melompat-lompat dan tidak logis.[10]

Jeda atau Pause[11]
            Jeda atau pause dalam proses berbicara adalah penting. Berbicara lancar, tanpa memperhatikan tanda-tanda baca akan mempersulit pendengar untuk mengikuti jalan pikiran kotbah dan menangkap isinya. Oleh sebab itu demi efektifitas proses komunikasi homiletik, pengkotbah dapat membuat jeda dalam proses membawakan homili. Ada banyak kemungkinan untuk membuat jeda, misalnya: sesudah satu penggalan yang penting; sesudah pesan yang penting; sesudah satu makna Kitab Suci; sesudah ilustrasi; sebelum atau sesudah satu kutipan; sebelum masuk ke penutup kotbah atau homili; atau karena tuntutan psikologis, yaitu untuk menarik atau menahan napas. Jeda yang ditempatkan secara tepat di dalam kotbah atau homili, akan berguna untuk:
·        Menunjukkan variasi suara.
·        Membantu pengkotbah untuk tidak berbicara terlalu cepat.
·        Mempertinggi daya persuasif kotbah atau homili.
·        Menjaga tingkat nada suara supaya tetap normal.
·        Menunjukkan perubahan topik atau bahan menurut isi kotbah atau homili.
·        Memberi penekanan yang lebih baik pada kata-kata dan frase-frase yang penting.
·        Menekankan bagian yang berisi pikiran utama.
·        Memberi kesempatan bagi pendengar untuk lebih memahami isi kotbah atau homili.

Penutup dan Kesimpulan
Kotbah adalah renungan yang berdasar pada Kitab Suci. Sifat kotbah adalah harus dikumandangkan, dimaklumkan dan diwartakan. Oleh karena itu seorang pengkotbah harus belajar tekhnik bicara dalam meyampaikan kotbah. Tekhnik bicara dalam kotbah sudah dijelaskan di atas. Secara singkat dapat dikatakan bahwa sebuah kotbah adalah untuk didengar. Oleh karena itu pendengar harus bisa mendengarkan kotbah dengan jelas. Agar kotbah dapat didengar denga jelas, maka pengkotbah harus mengatur suaranya supaya bisa didengar oleh pendengar yang lebih jauh. Ia harus berbicara dengan kecepatan atau tempo yang lambat. Seorang pengkotbah harus jeli memperhatikan konsonan-konsonan yang tajam. Ia harus bicara dengan volume suara yang cukup keras disertai dengan resonansi yang besar. Suku-suku akhir dan diftong hendaknya diucapkan sejelas mungkin. Seorang pengkotbah harus selalu memperhatikan dinamika dalam berbicara. Dengan demikian kotbah berhasil disampaikan dan pendengarnya pun dapat mendengar dan memahami isi kotbah.




DAFTAR PUSTAKA
Hendrikus, Dori Wuwur. Berkhotbah Suatu Petunjuk Praktis. Ende: Nusa Indah, 1989.
KWI, Komisi Liturgi. Homiletik: Panduan Berkhotbah Efektif. Yogyakarta: Kanisius, 2011.
Panitia Kateketik Keuskupan Agung Medan. Berkotbah. Pematangsiantar: Tanpa Penerbit, 1981.



[1]  Panitia Kateketik Keuskupan Agung Medan, Berkotbah (Pematangsiantar: Tanpa Penerbit, 1981), hlm. 129.
[2] Modulasi suara adalah perubahan ritme dari intonasi bahasa dalam hubunganya dengan naik turunnya suara: cepat lambat, keras-lembut, dan tinggi rendah sesuai dengan nuansa kata atau kalimat yang diucapkan. Modulasi suara yang tepat akan menjadikan kotbah atau homili tidak monoton, tetapi menarik, mengesankan dan meyakinkan. Dengan bantuan modulasi suara, pengkotbah memberi kepada pendengar kemungkinan untuk bisa mengenal dan membedakan, entah suatu kalimat itu kalimat tanya, kalimat seruan atau pernyataan.Supaya modulasi suara itu efektif, pengkotbah hendaknya memperhatikan substansi kotbah, nuansa kata atau kalimat, volume suara dan penekanan yang tepat. Komisi Liturgi KWI, ,Homilitika: Panduan Berkotbah Efektif, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 191.
[3] Komisi Liturgi KWI, ,Homilitika: Pandua..., hlm. 192.
[4] Suara yang jelas dan penuh diperoleh lewat resonansi yang dimungkinkan oleh volume suara yang ada dalam rongga perut, rongga dada dan rongga kepala.Untuk mengisi rongga perut dan dada dengan volume udara yang besar, dibutuhkan pernapasan perut atau pernapasan dalam.Dalam pernapasan perut, perutlah yang mengembang dan mengempis ketika menarik dan menghembuskan napas.Rongga perut, rongga dada, rongga kepala, terutama leher sangat berperan dalam proses resonansi, sehingga dapat menghasilkan suara yang jelas dan penuh. Komisi Liturgi KWI, ,Homilitika: Pandua..., hlm. 192
[5] Komisi Liturgi KWI, ,Homilitika: Pandua..., hlm. 193.
[6] Panitia Kateketik Keuskupan Agung Medan, Berkotbah…, hlm. 133.


[7] Komisi Liturgi KWI, ,Homilitika: Pandua..., hlm. 193.
[8] Panitia Kateketik Keuskupan Agung Medan, Berkotbah…, hlm. 133.
[9] Komisi Liturgi KWI, ,Homilitika: Pandua..., hlm. 194.
[10] Panitia Kateketik Keuskupan Agung Medan, Berkotbah…, hlm. 135.


[11] Komisi Liturgi KWI, ,Homilitika: Pandua..., hlm. 196.




Tidak ada komentar:

SEDEKAH MENURUT AGAMA ISLAM

1.PENGANTAR Sedekah merupakan ibadah sosial bagi umat Islam. Sedekah mempunyai kaitan yang erat dengan orang lain. Adapun alasan umat Isl...